Sastrawan
muda Indonesia layaknya sebuah pohon yang rindang, namun karena tertutup sinar
matahari mereka mengalami kesulitan untuk tumbuh.
Pendapat tersebut
dilontarkan oleh Prof. Dr. Budi Darma, M.A.,
guru besar bidang satra Universitas Negeri
Surabaya. Novelis dan kritikus sastra ternama di Indonesia itu mencoba menyoroti
kondisi sastrawan muda Indonesia saat ini. Pria kelahiran Rembang, 25 April 1937
itu melihat istilah muda dari dua segi, yaitu dari usia dan kedudukannya.
“Jika
melihat dari usia tentu sudah jelas maknanya, sementara bila dari kedudukan
adalah terkait dengan tingkat kemapanannya. Namun jika bicara masalah sastrawan
muda lebih baik melihat dari usianya,” ujar Budi Darma.
Sumber: areamagz.com |
Mantan
rektor IKIP Surabaya itu berasumsi bahwa pengarang muda Indonesia banyak sekali
jumlahnya. Contoh kecil misalnya, banyak sastrawan muda yang berasal dari
pesantren namun tidak pernah muncul. Di luar pesantren pun sebenarnya juga
tidak kalah banyak. Sayangnya, mereka kurang dikenal publik karena jarang
muncul ke permukaan. Mereka jarang muncul antara lain karena faktor kepopuleran
pengarang yang sudah mapan, misalnya saja Putu Wijaya, Gunawan Muhammad,
Sapardi Djoko Damono, Mardi Luhung, dan lain sebagainya. Para pengarang yang
sudah mapan itu rata-rata sampai sekarang masih berkarya sehingga kedudukan
para sastrawan muda menjadi semacam dibonsai.
Bertolak
dari itu semua, kita bisa becermin dari masa lalu saat negara Singapura baru
pertama kali terpisah dari Malaysia. Pada waktu itu, menteri-menteri Singapura
tergolong masih muda, rata-rata usianya berkisar 25—30 tahun. Akan tetapi,
untuk sekarang ini sudah tidak mungkin karena para pemangku pemerintahan sebagian
besar sudah berumur. Begitu juga dengan Indonesia tahun 1985 silam. Sastrawan
Indonesia pada masa itu yang umurnya masih sekitar 20an seperti Ajib Rosidi,
W.S. Rendra, dan N.H. Dini, mereka kenal baik dengan para menteri Indonesia.
Namun situasinya sekarang berbeda, para menteri sekaligus sastrawan cenderung
sudah tua. Andaikata sastrawan muda kita sekarang hidup pada masa itu, mungkin
mereka akan beruntung. Misalnya saja Chairil Anwar, andaikata dia panjang umur
dan hidup di masa kini bisa jadi ia tidak akan punya nama sebesar sekarang.
Budi Darma berasumsi bahwa
posisi sastrawan muda sekarang terlibat dalam persaingan. Cerpen misalnya,
salah satu standar baik buruk atau bagus tidaknya dapat dilihat melalui
terbitan Kompas. Kompas setiap minggunya rata-rata menerima 65—70 cerpen yang
harus dipilih satu. Ketentuan itu harus tetap dilakukan, padahal belum tentu
cerpen yang tidak terpilih itu jelek. Itulah mengapa masyarakat memanfaatkan blog
sebagai media untuk menyebarluaskan gagasan dan pikiran.
Budi Darma tidak
menampik bahwa kendala sastrawan muda untuk booming
adalah senior-senior di atasnya yang masih terus berkarya. Memang, seniman
tidak mengenal masa pensiun. Selama dia bisa berkarya dia akan terus berkarya
tanpa terikat oleh umur, meskipun dulu sempat ada pendapat bahwa sastrawan yang
mencapai umur 40 tahun sudah tidak dapat berkembang lagi. Namun sekarang
situasinya berbeda. Mereka yang tua-tua tetap dapat menelurkan karya dengan
baik. Ditambah lagi bila melihat daftar pemenang nobel-nobel bidang sastra,
rata-rata mereka berumur jauh di atas 50 tahun. Karena itu, umur sekarang ini
boleh dikatakan sudah luntur.
Menurut riset yang dilakukan
negara-negara maju, suatu saat nanti Indonesia akan dipenuhi banyak manula.
Karena itulah di Indonesia sempat ada anggapan bahwa tiga anak sudah cukup,
lalu menurun menjadi dua anak cukup, dan sekarang ada anggapan bahwa satu anak
cukup, bahkan ada negara-negara maju yang pertumbuhannya mencapai zero growth (0%). Artinya, orang-orang
satu generasi diharapkan dapat menahan diri untuk punya anak sehingga mereka
bisa terus tumbuh. Masalah lain, di Indonesia terdapat penggerombolan sastrawan
di Pulau Jawa, Sumatra, beberapa di Sulawesi dan Kalimantan, namun untuk
Indonesia bagian timur seperti Papua, Pulau Rote, Pulau Sumbawa, dan lain-lain tidak
pernah terdengar gaungnya. Dulu sebenarnya sempat ada, namun media komunikasi
semakin tidak memberi tempat untuk berkiprah keluar.
“Saya pernah
berkenalan dengan seseorang dari Sumbawa yang sudah menulis banyak karya, namun
tidak ada yang membaca. Penerbit di sana masih memperhitungkan untung rugi,
takut jika karya yang diterbitkan tidak laku di pasaran. Itu artinya, minat
baca di sana dapat dikatakan lebih rendah dibandingkan di sini,” ungkap budayawan
yang mendapatkan hadiah pertama sayembara mengarang
roman DKJ tahun 1980 itu.
Para sastrawan dari
Indonesia timur itu bisa saja “lari” ke penerbit Jawa seperti Gramedia atau
Grasindo, namun mereka akan kalah bersaing karena orang-orang Jawa memiliki
pergaulan yang luas. Karena itulah timbul keragu-raguan dari para sastrawan
muda, apakah karya mereka akan diterima atau tidak. Di samping itu, penerbit
kadang juga melihat-lihat kualitas dari karya yang dikirim. Contoh kecil
misalnya Penerbit Gramedia yang memiliki satu bagian bernama GPU (Gramedia
Pustaka Utama). GPU dibagi menjadi dua bagian, bagian pertama untuk buku-buku
yang dapat dikatakan bermutu, dan bagian lainnya untuk buku yang laris namun
mutunya tidak begitu penting. Dalam situasi demikian, anak-anak muda itu ada
kemungkinan kurang diperhatikan atau mereka takut untuk menerbitkan karyanya.
Itulah mengapa mereka beralih outlet
ke blog.
Saat ditanya tentang
benih-benih sastrawan muda dari Unesa, Budi Darma mengenal beberapa sosok,
seperti Soim Anwar, Mustaqim (penyair dari Gresik), Fauzi (penggagas Majalah
Kalimas), dan masih banyak lagi. Untuk maju, sastrawan yang tidak sedikit
jumlahnya itu sama sekali tidak bergantung pada lembaganya, dalam hal ini
adalah Unesa. Mereka benar-benar berangkat dari diri sendiri berdasarkan minat
dan keinginan masing-masing.
Budi Darma
membenarkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa kebobrokan negara akan
semakin terlihat jika sastra negara itu ditinggikan. Menurutnya sastra itu
seperti televisi. Di dalamnya banyak berita buruk seperti banjir, tanah
longsor, kelaparan, pembunuhan, korupsi, dan lain sebagainya. Dengan versi
lain, sastra pun dapat dikatakan demikian.
“Kita bisa melihat di
negara-negara yang bobrok namun tradisi sastranya mengakar kuat, juga
sastrawannya yang hebat-hebat. Amerika Latin misalnya, banyak bentrokan sering
terjadi, pembunuhan merajalela, kartel-kartel narkoba sering bertempur sesama
mereka, utang negara bukan main banyaknya, permainan partai politik kotor, namun
selebihnya mereka memiliki tradisi sastra yang kuat,” tegas pengarang novel Olenka tersebut.
Budi Darma
menambahkan, kondisi di depan bukan tanpa sebab. Orang Amerika Latin kebanyakan
datang dari Spanyol di mana negara tersebut memiliki seorang pengarang hebat
bernama Servantes Della Cortez. Novelnya tentang perlawanan terhadap kincir
angin membuatnya dianggap gila oleh banyak orang, padahal sebenarnya
orang-orang itulah yang gila. Berdasarkan survei dan riset, tulisan Servantez
itu pernah dipilih oleh BBC London sebagai novel paling baik sepanjang masa. Keturunan-keturunan
bangsa Spanyol yang hidup pada masa itu kemudian hijrah ke Amerika Latin
seperti Honduras, Panama, Argentina, dan daerah-daerah sekitarnya. Walaupun
Amerika Latin dipenuhi kriminalisme, namun sastrawan telah menjadikannya aset
untuk menulis karya sastra dengan cara mengungkapkan kebobrokan negara.
“Seandainya keadaan
Indonesia pada masa penjajahan Belanda dulu tenteram dan bahagia, tidak akan
ada orang seperti Pramudya Ananta Toer. Bumi
Manusia karangan Pramudya melukiskan keburukan masa penjajahan Belanda,
termasuk antek-antek Belanda yang notabene adalah para priyayi. Lalu ada pula Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis
yang menggambarkan masa transisi Indonesia menuju kemerdekaan. Masa transisi
memang banyak acuannya,” terang Budi Darma.
Tak apa jika ada yang
beranggapan bahwa Indonesia adalah negara bobrok. Namun tidak ada salahnya jika
Indonesia meniru Amerika Latin yang hebat bersastra walaupun negaranya tinggi
kriminalisme. Para sastrawan, khususnya sastrawan muda tanah air dapat
menjadikannya sumber tulisan yang menginspirasi, atau bahkan malah mengkritik (San/Put).
No comments:
Post a Comment