Background

Monday, April 22, 2013

Kiprah Sanggar Bharada Universitas Negeri Surabaya

Tampil di TVRI Tiap Tiga Bulan Sekali

Pendidikan Bahasa Jawa Universitas Negeri Surabaya patut berbangga hati dengan prestasi yang didulang mahasiswanya. Jurusan ini mempunyai sebuah perkumpulan seni yang di dalamnya terdiri dari mahasiswa berprestasi. Ada yang menjadi penyanyi, pesinden, dalang, pemain ketoprak, ludruk, pewayangan, karawitan, dan segudang prestasi lain. Semua bakat tersebut digembleng dalam sebuah organisasi yang bernama Sanggar Bharada. Bagaimana kiprah dari organisasi yang sudah berdiri belasan tahun tersebut? Berikut perbincangan dengan Darmawan, ketua Sanggar Bharada periode 2012-2013.


Pejuang-pejuang Bharada
Sanggar Bharada kembali didirikan tahun 1994 setelah sebelumnya sempat mati. Beberapa mahasiswa yang sempat berperan dalam babad Bharada di antaranya Siswantoro, Suwono Sandiasmoro, Gunto Wibisono, Yohan Susilo yang sekarang menjadi pembimbing di sanggar, Sri Sulistyani dan Sugeng Adi Pitono yang sekarang menjadi dosen di jurusan, serta tidak ketinggalan adalah Sukarman, yang sekarang menjadi ketua jurusan di Pendidikan Bahasa Jawa Unesa. Bharada sendiri merupakan akronim dari Bahasa Sastra Daerah yang dibuat oleh mahasiswa di zamannya.
Selain nama-nama di depan, masih banyak regenerasi Bharada yang bermunculan untuk menjaga agar Bharada tetap eksis. Apalagi di awal-awal berdirinya dulu Bharada masih mengalami naik turun.

MASUK TIVI: Sanggar Bharada saat tampil di Campursari Tombone Ati TVRI.
Selengkapnya...

Friday, April 12, 2013

Yoharni Harjono, Ibu Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sempat Tidak Mau Menjadi Guru

Semua bermula dari sejarah. Tanpa sejarah kita akan sulit untuk melangkah. Tanpa sejarah tidak ada pula hal menarik yang mesti diingat. Orang yang melupakan sejarah akan tersesat di persimpangan zaman. Namun sosok kali ini berbeda. Walaupun usianya sudah 80 tahun, ia selalu bisa mengingat hal-hal detail yang berkenaan dengan perjalanan hidupnya di masa silam, entah itu nama seseorang, tanggal terjadinya peristiwa, bagaimana peristiwa itu terjadi, dan lain sebagainya. Yoharni Harjono, hadir mengalirkan kisah saat dirinya bersama rekan-rekannya yang lain merintis berdirinya Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Suasana yang akrab langsung terasa saat tim majalah Unesa memasuki halaman sebuah rumah di jajaran kompleks purnawiyata Kampus Unesa Ketintang. Sambutan yang hangat mengantarkan kami menuju sofa yang berderet di muka rumah. Si empunya rumah tak henti-hentinya menyapa kami dengan senyumnya yang menyejukkan hati. Ia adalah Yoharni Harjono, mantan dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
Tidak berapa lama, pertemuan siang itu langsung mengarah pada perbincangan yang seru. Yoharni bercerita tentang perjalanan hidupnya semasa muda sampai ia menjadi dosen senior di jurusan yang ia rintis sendiri. Yoharni lahir di Padangpanjang, 11 November 1933. Ayahnya  adalah guru SMA di Bukittinggi, sedangkan ibunya adalah seorang guru madrasah. Setelah pindah ke Malang, ayah Yoharni mengajar di IKIP Malang, menjadi pengampu mata kuliah Bahasa Belanda dan Sastra Dunia. Kepindahan Yoharni dan keluarga ke Malang tidak lain karena ayahnya yang berprestasi sehingga mendapatkan beasiswa ke tanah Jawa tersebut.
Setelah lulus SMA di Malang pada tahun 1953, Yoharni pun ingin mewujudkan cita-cita yang ia pendam sejak kecil, yaitu melanjutkan kuliah ke jurusan hukum. Padahal waktu itu Yoharni mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah sarjana muda ke PTPG (Perguruan Tinggi Sekolah Guru).
“Walaupun kedua orang tua saya adalah guru, saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia pendidikan. Hal itu ditambah pula dengan keinginan ketujuh adik saya yang juga tidak berminat untuk menjadi seorang pendidik,” ungkap Yoharni dengan gaya bicaranya yang khas.
Namun keinginan Yoharni hanya sebatas angan-angan saja. Cita-citanya untuk melanjutkan studi ilmu hukum terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ya, Yoharni adalah delapan bersaudara. Ia adalah anak tertua. Sebagai anak tertua, Yoharni sadar bahwa masa depan adik-adiknya jauh lebih penting. Biaya untuk sekolah hukum pasti tidak sedikit, sementara ketujuh adiknya juga masih memiliki cita-cita sama seperti dirinya. Yoharni pun akhirnya mengalah, mengubur dalam-dalam impiannya untuk menjadi seorang ahli hukum.

IBU: Yoharni Harjono (kanan) saat ditemui di rumahnya, Kamis (11/4/2013)
Selengkapnya...

Menengok Kiprah Alumni Unesa, Dr. Mochammad Cholik, M.Pd.

Dari Tukang Las Menjadi Doktor


Manusia memang pemimpi, mimpinya pun boleh setinggi langit. Namun sosok kali ini berbeda. Pengalamannya bergumul di dunia mesin membuat ia bercita-cita menjadi tukang las profesional, mempekerjakan puluhan karyawan di sebuah tempat kerja yang mewah. Namun Tuhan rupanya mempunyai rencana lain. Bukan sebagai tukang las, ia malah menjadi doktor di Jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Surabaya.


Cholik, begitu dulu ia disapa. Namun sekarang, ia sudah bergelar Dr. Mochammad Cholik, M.Pd. Dosen di jurusan Teknik Mesin Universitas Negeri Surabaya itu tidak mengira akan berkecimpung di dunia pendidikan seperti sekarang ini. Begitu lulus dari Sekolah Dasar Budi Dharma di Surabaya, Cholik lantas melanjutkan ke Sekolah Teknik Negeri VIII Surabaya dengan mengambil bidang studi Teknik Mesin. Waktu itu tahun 1975. 4 tahun kemudian, ia kembali mengambil Teknik Mesin di Sekolah Teknologi Menengah (STM) Negeri 1 Surabaya. Rupanya dunia permesinan sudah mendarah daging di jiwanya. Sebagai wujud kecintaannya, pria kelahiran Surabaya, 24 April 1960 itu mencoba belajar lebih dalam di perguruan tinggi IKIP Surabaya dengan mengambil jurusan Pendidikan Teknik Mesin.
Berkat kecerdasan yang dimiliki, tak heran jika Cholik mendapatkan beasiswa bakat dan prestasi (PPA) sebanyak empat kali. Sampai akhirnya tahun 1988, gelar sarjana itu berhasil ia kantongi. Setelah lulus, tekadnya sudah bulat untuk merambah dunia kerja. Namun rupanya Tuhan memberi keajaiban yang tidak ia duga sebelumnya.

UJI COBA: Cholik saat menaiki mobil listrik karya mahasiswa Teknik Mesin Unesa. Pada Juni 2013 mendatang, mobil listrik tersebut akan dipromosikan ke Sepang, Malaysia.
Selengkapnya...

Saturday, April 6, 2013

Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II FBS

Mencoba Bersuara untuk Raden Ajeng Kartini



“Kebebasan wanita hanya bisa tercapai bila ada kebebasan ekonomi”

Itulah sepenggal kutipan yang diusung oleh Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Peringatan hari Kartini yang sudah di depan mata memiliki makna tersendiri bagi perempuan kelahiran Yogyakarta, 10 Oktober 1956 tersebut. Baginya, Kartini adalah sosok perempuan yang berkemauan teguh, bercita-cita kuat, dan pemberani.
“Cita-cita Kartini adalah mencerdaskan kaum pribumi. Walaupun dilarang keras, Kartini masih saja memberi pelajaran pada mereka agar setingkat lebih cerdas. Sementara itu, keberanian Kartini tergambar saat ia menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Kumpulan surat itu berisi perjuangan, ide-ide, dan semangat Kartini dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi. Seorang temannya mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang kita kenal sekarang,” papar perempuan yang juga menjadi dosen di jurusan bahasa Jawa tersebut.

KARTINI MASA KINI: Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II FBS Unesa saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (5/4/2013).
Selengkapnya...