Background

Friday, April 12, 2013

Yoharni Harjono, Ibu Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Sempat Tidak Mau Menjadi Guru

Semua bermula dari sejarah. Tanpa sejarah kita akan sulit untuk melangkah. Tanpa sejarah tidak ada pula hal menarik yang mesti diingat. Orang yang melupakan sejarah akan tersesat di persimpangan zaman. Namun sosok kali ini berbeda. Walaupun usianya sudah 80 tahun, ia selalu bisa mengingat hal-hal detail yang berkenaan dengan perjalanan hidupnya di masa silam, entah itu nama seseorang, tanggal terjadinya peristiwa, bagaimana peristiwa itu terjadi, dan lain sebagainya. Yoharni Harjono, hadir mengalirkan kisah saat dirinya bersama rekan-rekannya yang lain merintis berdirinya Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Surabaya.

Suasana yang akrab langsung terasa saat tim majalah Unesa memasuki halaman sebuah rumah di jajaran kompleks purnawiyata Kampus Unesa Ketintang. Sambutan yang hangat mengantarkan kami menuju sofa yang berderet di muka rumah. Si empunya rumah tak henti-hentinya menyapa kami dengan senyumnya yang menyejukkan hati. Ia adalah Yoharni Harjono, mantan dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
Tidak berapa lama, pertemuan siang itu langsung mengarah pada perbincangan yang seru. Yoharni bercerita tentang perjalanan hidupnya semasa muda sampai ia menjadi dosen senior di jurusan yang ia rintis sendiri. Yoharni lahir di Padangpanjang, 11 November 1933. Ayahnya  adalah guru SMA di Bukittinggi, sedangkan ibunya adalah seorang guru madrasah. Setelah pindah ke Malang, ayah Yoharni mengajar di IKIP Malang, menjadi pengampu mata kuliah Bahasa Belanda dan Sastra Dunia. Kepindahan Yoharni dan keluarga ke Malang tidak lain karena ayahnya yang berprestasi sehingga mendapatkan beasiswa ke tanah Jawa tersebut.
Setelah lulus SMA di Malang pada tahun 1953, Yoharni pun ingin mewujudkan cita-cita yang ia pendam sejak kecil, yaitu melanjutkan kuliah ke jurusan hukum. Padahal waktu itu Yoharni mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah sarjana muda ke PTPG (Perguruan Tinggi Sekolah Guru).
“Walaupun kedua orang tua saya adalah guru, saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia pendidikan. Hal itu ditambah pula dengan keinginan ketujuh adik saya yang juga tidak berminat untuk menjadi seorang pendidik,” ungkap Yoharni dengan gaya bicaranya yang khas.
Namun keinginan Yoharni hanya sebatas angan-angan saja. Cita-citanya untuk melanjutkan studi ilmu hukum terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan. Ya, Yoharni adalah delapan bersaudara. Ia adalah anak tertua. Sebagai anak tertua, Yoharni sadar bahwa masa depan adik-adiknya jauh lebih penting. Biaya untuk sekolah hukum pasti tidak sedikit, sementara ketujuh adiknya juga masih memiliki cita-cita sama seperti dirinya. Yoharni pun akhirnya mengalah, mengubur dalam-dalam impiannya untuk menjadi seorang ahli hukum.

IBU: Yoharni Harjono (kanan) saat ditemui di rumahnya, Kamis (11/4/2013)

“Walaupun cita-cita tidak tercapai, saya harus tetap semangat. Mau tidak mau, beasiswa PTPG harus saya ambil. Bagi saya, yang penting sekolah,” tutur Yoharni sembari mengingat masa lalunya.
Akhirnya pada tahun 1958, ijazah sarjana muda berhasil ia kantongi. Walaupun dulunya ia tak respect dengan profesi pendidik, namun gemblengan yang ia dapatkan dari PTPG membuat ia sedikit lebih mengenal profesi tersebut. Setelah dari PTPG, tanpa diduga Yoharni diangkat menjadi guru di daerah Curut Bengkulu. Sebagai anak perempuan, tentu Yoharni menolak untuk ditempatkan di daerah yang sebelumnya tidak ia kenal tersebut. Maka dari itu, ayah Yoharni pun tidak tinggal diam. Beruntung, sang ayah mempunyai rekan yang bekerja di kementerian pendidikan Jakarta. Ia memohon kepada rekannya tersebut untuk mencarikan tempat mengajar selain di Bengkulu. Alhasil, permohonan itu terkabul. Yoharni ditempatkan di Kota Malang sebagai pengajar di SGA Malang.
Tidak beberapa lama setelah itu, Woyo Wasito, sahabatnya dari IKIP Malang mengabarkan bahwa IKIP baru membuka jurusan kedokteran. Ia menganjurkan Yoharni untuk mengambil gelar sarjana di jurusan tersebut. Woyo terus meyakinkan Yoharni, bahwa dengan title sarjana ia dapat mengajar di perguruan tinggi.
“Zaman dulu sarjana muda sudah dianggap paling tinggi. Orang berijazah sarjana muda bisa menjadi guru, dan jika ingin mengajar perguruan tinggi maka harus sekolah sarjana,” ucap Yoharni menggebu-gebu.
Yoharni akhirnya menuruti nasehat sahabatnya tersebut. Ia mengambil sarjana di IKIP Malang, namun tidak di jurusan kedokteran. Rupanya darah seorang pendidik telah mengalir di jiwanya. Maka dari itu, ia memilih untuk mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia sembari memperdalam pengetahuan di bidang keguruan.
“Kelulusan saya tahun 1960, merupakan kelulusan pertama dari IKIP Malang. Pada waktu itu, IKIP Surabaya masih menjadi cabang dari IKIP Malang. Pak Marsusi, sahabat saya di IKIP Surabaya menawari apakah mau membuka jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Akhirnya di tahun 1962, saya dan kawan-kawan menjadi orang pertama yang membuka jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Surabaya,” tuturnya bangga.
Yoharni begitu menggebu-gebu saat menceritakan masa lalunya merintis Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bersama rekan-rekan seperjuangan: Soerono Martorahardjo, Gatot Susilo Sumowijoyo, Murdiman Haksa Pratista, dan Moh. Hatib. Anak didik yang dibimbingnya pun sudah banyak yang menjadi guru besar. Mereka adalah Bambang Yulianto, Syamsul Sodiq, Suyatno, Mintowati, Moh. Najid, dan Jack Parmin. Syamsul Sodiq sekarang menjabat Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia menggantikan Suyatno yang sekarang menjadi Kepala Humas Unesa. Nama-nama lainnya telah menjadi dosen hebat di jurusan Bahasa Indonesia, termasuk Bambang Yulianto yang sempat mengetuai Lembaga Penelitian. Mantan dosen yang juga berpartisipasi dalam membuka jurusan Bahasa Jepang itu merasa bangga karena semua dosen yang sekarang mengajar di jurusan adalah murid hasil gemblengannya bersama ketiga rekannya yang lain. “Setidaknya mereka telah menjadi guru besar,” tambah ibu yang gemar membaca tersebut.
Di awal berdirinya, jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Waktu itu hanya ada sekitar 12 murid saja, yang paling banyak adalah perempuan. Mereka sebagian besar datang dari luar pulau, berbekal semangat untuk menggapai satu tujuan, yakni sekolah.
“Waktu itu PTPG hanya ada lima di seluruh Indonesia: Bandung, Manado, Makassar, Sumatra Barat, dan yang terakhir adalah Malang. IKIP Surabaya adalah cabang dari IKIP Malang tersebut. Kelima perguruan tinggi itu dibangun oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh pujangga baru yang terkenal di masanya,” ujar Yoharni sambil terus bercerita.
Jika dihitung, ada sekitar 30 tahun lebih Yoharni mengajar di jurusan Bahasa Indonesia, mulai dari awal berdirinya dulu sampai ia dipurnatugaskan pada tahun 1998. Namun karena jasanya yang begitu besar terhadap berdirinya jurusan, maka Yoharni masih boleh mengajar di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai tahun 2010.
“Hengkangnya saya dari jurusan adalah keinginan saya sendiri. Biarlah yang muda yang melanjutkan,” terang Yoharni sambil tersenyum.
Untuk mengisi kekosongan di hari tua, Yoharni lebih banyak tinggal di rumah untuk beribadah, menonton TV, dan meluapkan hobinya dengan membaca. Tidak mengherankan jika di dalam rumahnya terdapat tumpukan-tumpukan buku berbagai jenis. Sesekali ada mahasiswa datang berkunjung untuk sekedar bersilaturahmi atau meminta pendapat tentang skripsi yang sedang dibuat.
“Tumpukan skripsi, tesis, dan disertasi itu bukan karya saya, itu adalah milik Bu Minto, Bu Heni, Pak Harmono, Pak Yatno, dan mahasiswa-mahasiswa lain. Saat ujian doktor pun saya diminta datang,” ucap ibu satu anak itu.
Setelah berhenti mengajar, Yoharni lantas membeli rumah pensiunan yang ada di Kampus Ketintang, persis di depan plakat nama gedung Gema kampus Unesa Ketintang. Ia tinggal bersama sang suami dan anak perempuan satu-satunya. Suaminya adalah seorang pegawai swasta, sedangkan anaknya, Nadia Asandimitra Haryono, S.E., M.M., adalah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya. Sebelum menikah Yoharni tinggal di sebuah asrama yang ada di Surabaya. Baru setelah menikah ia dan sang suami pindah ke sebuah rumah kontrakan. Ketujuh saudaranya yang dulu ia khawatirkan masa depannya juga sudah hidup mapan. Adik pertamanya adalah seorang apoteker, adik kedua dokter, adik ketiga dokter gigi, adik keempat sempat menjadi pilot, adik kelima sarjana hukum, adik keenam lulusan SMA yang memutuskan untuk berwiraswasta, dan yang terakhir sudah menjadi doktor Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Yoharni tidak menyesal terlahir sebagai seorang pendidik. Ia justru bangga menjadi dosen bahasa Indonesia karena bisa melahirkan doktor-doktor yang hebat. Dari bahasa Jepang pun sudah terlahir lima doktor hasil gemblengannya dulu. Di akhir perbincangan, Yoharni berpesan kepada mahasiswa Unesa agar mau melanjutkan S2.
Jika ingin menjadi guru, jadilah guru yang tertinggi yaitu dosen. Tidak perlu ragu untuk melanjutkan ke jenjang S2 atau S3. Jika kita berprestasi, beasiswa menunggu,” ujar ibu yang menyukai kucing itu (San)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment