Sempat Tidak Mau Menjadi Guru
Semua bermula dari sejarah. Tanpa sejarah kita akan
sulit untuk melangkah. Tanpa sejarah tidak ada pula hal menarik yang mesti
diingat. Orang yang melupakan sejarah akan tersesat di persimpangan zaman.
Namun sosok kali ini berbeda. Walaupun usianya sudah 80 tahun, ia selalu bisa
mengingat hal-hal detail yang berkenaan dengan perjalanan hidupnya di masa
silam, entah itu nama seseorang, tanggal terjadinya peristiwa, bagaimana
peristiwa itu terjadi, dan lain sebagainya. Yoharni Harjono, hadir mengalirkan
kisah saat dirinya bersama rekan-rekannya yang lain merintis berdirinya Jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Surabaya.
Suasana yang akrab langsung terasa saat tim majalah Unesa
memasuki halaman sebuah rumah di jajaran kompleks
purnawiyata Kampus Unesa Ketintang. Sambutan yang hangat mengantarkan kami menuju sofa
yang berderet di muka rumah. Si empunya rumah tak henti-hentinya menyapa kami
dengan senyumnya yang menyejukkan hati. Ia adalah Yoharni Harjono, mantan dosen dari jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya.
Tidak berapa lama, pertemuan siang itu langsung mengarah
pada perbincangan yang seru. Yoharni bercerita tentang
perjalanan hidupnya semasa muda sampai ia
menjadi dosen senior di jurusan yang ia rintis sendiri. Yoharni lahir di
Padangpanjang, 11 November 1933. Ayahnya
adalah guru SMA di Bukittinggi, sedangkan ibunya adalah seorang guru
madrasah. Setelah pindah ke Malang, ayah Yoharni mengajar di IKIP Malang,
menjadi pengampu mata kuliah Bahasa Belanda dan Sastra Dunia. Kepindahan Yoharni
dan keluarga ke Malang tidak lain karena ayahnya yang berprestasi sehingga
mendapatkan beasiswa ke tanah Jawa tersebut.
Setelah
lulus SMA di Malang pada tahun 1953, Yoharni pun ingin mewujudkan cita-cita
yang ia pendam sejak kecil, yaitu melanjutkan kuliah ke jurusan hukum. Padahal
waktu itu Yoharni mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah sarjana muda
ke PTPG (Perguruan Tinggi Sekolah Guru).
“Walaupun
kedua orang tua saya adalah guru, saya sama sekali tidak tertarik dengan dunia
pendidikan. Hal itu ditambah pula dengan keinginan ketujuh adik saya yang juga
tidak berminat untuk menjadi seorang pendidik,” ungkap Yoharni dengan gaya
bicaranya yang khas.
Namun
keinginan Yoharni hanya sebatas angan-angan saja. Cita-citanya untuk
melanjutkan studi ilmu hukum terhalang oleh keadaan yang tidak memungkinkan.
Ya, Yoharni adalah delapan bersaudara. Ia adalah anak tertua. Sebagai anak
tertua, Yoharni sadar bahwa masa depan adik-adiknya jauh lebih penting. Biaya
untuk sekolah hukum pasti tidak sedikit, sementara ketujuh adiknya juga masih
memiliki cita-cita sama seperti dirinya. Yoharni pun akhirnya mengalah,
mengubur dalam-dalam impiannya untuk menjadi seorang ahli hukum.
IBU: Yoharni Harjono (kanan) saat ditemui di rumahnya, Kamis (11/4/2013)
“Walaupun
cita-cita tidak tercapai, saya harus tetap semangat. Mau tidak mau, beasiswa
PTPG harus saya ambil. Bagi saya, yang penting sekolah,” tutur Yoharni sembari
mengingat masa lalunya.
Akhirnya
pada tahun 1958, ijazah sarjana muda berhasil ia kantongi. Walaupun dulunya ia
tak respect dengan profesi pendidik,
namun gemblengan yang ia dapatkan dari PTPG membuat ia sedikit lebih mengenal
profesi tersebut. Setelah dari PTPG, tanpa diduga Yoharni diangkat menjadi guru
di daerah Curut Bengkulu. Sebagai anak perempuan, tentu Yoharni menolak untuk
ditempatkan di daerah yang sebelumnya tidak ia kenal tersebut. Maka dari itu,
ayah Yoharni pun tidak tinggal diam. Beruntung, sang ayah mempunyai rekan yang
bekerja di kementerian pendidikan Jakarta. Ia memohon kepada rekannya tersebut
untuk mencarikan tempat mengajar selain di Bengkulu. Alhasil, permohonan itu
terkabul. Yoharni ditempatkan di Kota Malang sebagai pengajar di SGA Malang.
Tidak
beberapa lama setelah itu, Woyo Wasito, sahabatnya dari IKIP Malang mengabarkan
bahwa IKIP baru membuka jurusan kedokteran. Ia menganjurkan Yoharni untuk
mengambil gelar sarjana di jurusan tersebut. Woyo terus meyakinkan Yoharni,
bahwa dengan title sarjana ia dapat
mengajar di perguruan tinggi.
“Zaman
dulu sarjana muda sudah dianggap paling tinggi. Orang berijazah sarjana muda
bisa menjadi guru, dan jika ingin mengajar perguruan tinggi maka harus sekolah
sarjana,” ucap Yoharni menggebu-gebu.
Yoharni
akhirnya menuruti nasehat sahabatnya tersebut. Ia mengambil sarjana di IKIP
Malang, namun tidak di jurusan kedokteran. Rupanya darah seorang pendidik telah
mengalir di jiwanya. Maka dari itu, ia memilih untuk mengambil jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia sembari memperdalam pengetahuan di bidang keguruan.
“Kelulusan
saya tahun 1960, merupakan kelulusan pertama dari IKIP Malang. Pada waktu itu,
IKIP Surabaya masih menjadi cabang dari IKIP Malang. Pak Marsusi, sahabat saya
di IKIP Surabaya menawari apakah mau membuka jurusan Pendidikan Bahasa
Indonesia. Akhirnya di tahun 1962, saya dan kawan-kawan menjadi orang pertama
yang membuka jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri
Surabaya,” tuturnya bangga.
Yoharni
begitu menggebu-gebu saat menceritakan masa lalunya
merintis
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bersama rekan-rekan seperjuangan: Soerono Martorahardjo, Gatot Susilo Sumowijoyo,
Murdiman Haksa Pratista, dan Moh. Hatib. Anak didik yang dibimbingnya pun sudah
banyak yang menjadi guru besar. Mereka adalah Bambang Yulianto, Syamsul Sodiq,
Suyatno, Mintowati, Moh. Najid, dan Jack Parmin. Syamsul Sodiq sekarang
menjabat Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia menggantikan Suyatno yang
sekarang menjadi Kepala Humas Unesa. Nama-nama lainnya telah menjadi dosen
hebat di jurusan Bahasa Indonesia, termasuk Bambang Yulianto yang sempat mengetuai Lembaga Penelitian. Mantan dosen yang juga berpartisipasi dalam membuka jurusan Bahasa
Jepang itu merasa bangga
karena semua
dosen yang sekarang mengajar di jurusan adalah murid hasil gemblengannya
bersama ketiga rekannya yang
lain.
“Setidaknya mereka telah menjadi guru besar,” tambah ibu yang gemar membaca
tersebut.
Di
awal berdirinya, jumlah mahasiswa yang menempuh pendidikan di jurusan
Pendidikan Bahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari. Waktu itu hanya ada
sekitar 12 murid saja, yang paling banyak adalah perempuan. Mereka sebagian
besar datang dari luar pulau, berbekal semangat untuk menggapai satu tujuan,
yakni sekolah.
“Waktu
itu PTPG hanya ada lima di seluruh Indonesia: Bandung, Manado, Makassar,
Sumatra Barat, dan yang terakhir adalah Malang. IKIP Surabaya adalah cabang
dari IKIP Malang tersebut. Kelima perguruan tinggi itu dibangun oleh Muhammad
Yamin, seorang tokoh pujangga baru yang terkenal di masanya,” ujar Yoharni
sambil terus bercerita.
Jika
dihitung, ada sekitar 30 tahun lebih Yoharni mengajar di jurusan Bahasa
Indonesia, mulai dari awal berdirinya dulu sampai ia dipurnatugaskan pada tahun
1998. Namun karena jasanya yang begitu besar terhadap berdirinya jurusan, maka Yoharni
masih boleh mengajar di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai tahun 2010.
“Hengkangnya
saya dari jurusan adalah keinginan saya sendiri. Biarlah yang muda yang
melanjutkan,” terang Yoharni sambil tersenyum.
Untuk mengisi kekosongan di hari tua, Yoharni lebih
banyak tinggal di rumah untuk beribadah,
menonton TV, dan meluapkan hobinya dengan membaca. Tidak
mengherankan jika di dalam rumahnya terdapat tumpukan-tumpukan buku berbagai
jenis. Sesekali ada mahasiswa datang berkunjung untuk sekedar bersilaturahmi
atau meminta pendapat tentang skripsi yang sedang dibuat.
“Tumpukan
skripsi, tesis, dan disertasi itu bukan karya saya, itu adalah milik Bu Minto,
Bu Heni, Pak Harmono, Pak Yatno, dan mahasiswa-mahasiswa lain. Saat ujian
doktor pun saya diminta datang,” ucap ibu satu anak itu.
Setelah
berhenti mengajar, Yoharni lantas membeli rumah pensiunan yang ada di Kampus
Ketintang, persis di depan plakat nama gedung Gema
kampus Unesa Ketintang. Ia tinggal bersama sang suami dan anak perempuan
satu-satunya. Suaminya adalah seorang pegawai swasta, sedangkan anaknya, Nadia
Asandimitra Haryono, S.E., M.M., adalah dosen di Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Surabaya. Sebelum menikah Yoharni tinggal di sebuah asrama yang ada di
Surabaya. Baru setelah menikah ia dan sang suami pindah ke sebuah rumah
kontrakan. Ketujuh saudaranya yang dulu ia khawatirkan masa depannya juga sudah
hidup mapan. Adik pertamanya adalah seorang apoteker, adik kedua dokter, adik
ketiga dokter gigi, adik keempat sempat menjadi pilot, adik kelima sarjana
hukum, adik keenam lulusan SMA yang memutuskan untuk berwiraswasta, dan yang
terakhir sudah menjadi doktor Bahasa Inggris di Universitas Muhammadiyah
Jakarta.
Yoharni
tidak menyesal terlahir sebagai seorang pendidik. Ia justru bangga menjadi
dosen bahasa Indonesia karena bisa melahirkan doktor-doktor yang hebat. Dari
bahasa Jepang pun sudah terlahir lima doktor hasil gemblengannya dulu. Di akhir
perbincangan, Yoharni berpesan kepada mahasiswa Unesa agar mau melanjutkan S2.
“Jika ingin menjadi
guru, jadilah guru yang tertinggi yaitu dosen. Tidak perlu ragu untuk
melanjutkan ke jenjang S2 atau S3. Jika kita berprestasi, beasiswa menunggu,”
ujar ibu yang menyukai kucing
itu (San).
No comments:
Post a Comment