Mencoba Bersuara untuk
Raden Ajeng Kartini
“Kebebasan wanita hanya bisa tercapai bila ada
kebebasan ekonomi”
Itulah sepenggal kutipan yang diusung oleh
Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Surabaya. Peringatan hari Kartini yang sudah di depan mata
memiliki makna tersendiri bagi perempuan kelahiran Yogyakarta, 10 Oktober 1956
tersebut. Baginya, Kartini adalah sosok perempuan yang berkemauan teguh,
bercita-cita kuat, dan pemberani.
“Cita-cita Kartini adalah mencerdaskan kaum
pribumi. Walaupun dilarang keras, Kartini masih saja memberi pelajaran pada mereka
agar setingkat lebih cerdas. Sementara itu, keberanian Kartini tergambar saat
ia menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Kumpulan surat itu berisi
perjuangan, ide-ide, dan semangat Kartini dalam memajukan pendidikan untuk kaum
pribumi. Seorang temannya mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya
buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang kita kenal sekarang,” papar
perempuan yang juga menjadi dosen di jurusan bahasa Jawa tersebut.
KARTINI MASA KINI: Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II FBS Unesa saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (5/4/2013).
Bagi Sri Wahyu, peringatan hari Kartini bisa
mengingatkan bangsa Indonesia tentang semangat Kartini di era global. Ia
berpendapat bahwa perempuan sekarang harus berbeda dengan yang dahulu. Jika
dahulu perempuan masih menggantungkan pilihannya di bawah laki-laki, maka
perempuan sekarang harus berani bebas dari belenggu tersebut.
“Kartini berjuang agar perempuan lebih
mandiri. Di era global seperti sekarang, kemandirian ekonomi lah yang paling
dibutuhkan. Mereka dapat berkarir di dunia publik sehingga punya kesempatan
yang sama dengan kaum laki-laki,” tutur Sri.
Menurut Sri, pergerakan kaum perempuan
sekarang ini sulit dideskripsikan. Hal itu dipengaruhi oleh latar belakang
Indonesia yang multietnis dan multikultur. Apalagi budaya patriarki masih
menjadi mayoritas dari beberapa etnik yang ada di Indonesia. “Itulah sebabnya
perempuan harus pintar memosisikan diri. Dengan bekerja, perempuan akan bisa
menentukan pilihan,” tambahnya.
Di zaman modern ini, menurut Sri, masih ada
hal-hal tertentu dari seorang perempuan yang masih tertinggal dari kaum
laki-laki. Hal yang dimaksud adalah soal pendidikan. Perempuan yang memang asli
Jogja tersebut pernah meneliti sekelompok perempuan desa di pelosok-pelosok
Jogja yang disebutnya sebagai rewang.
Rewang adalah istilah untuk menyebut
masyarakat setempat yang membantu
orang yang punya hajat (tetangga atau kerabat sendiri), yaitu dengan cara
membantu di bidang masak-memasak (meracik bumbu). Pada umumnya rewang dilakukan oleh ibu-ibu yang
biasa memasak di dapur dan ada kalanya kaum bapak juga membantu mengerjakan
hal-hal yang lebih berat seperti membantu mendirikan tenda sebagai tempat
berteduh.
“Dahulu para rewang di Jogja ikhlas tidak dibayar,
namun sekarang mereka dibayar. Kondisi itu diakibatkan adanya revolusi industri.
Revolusi industri yang memanfaatkan mesin membuat akses pekerjaan semakin
sempit. Padahal masyarakat kelas bawah adalah masyarakat yang paling banyak
menyokong ekonomi rumah tangga. Untuk itulah, ada baiknya negara kita meniru
Amerika dalam menerapakan roll set,”
komentar Sri.
Roll set adalah peralihan pekerjaan dari
perempuan ke laki-laki atau sebaliknya. Suami istri di Amerika misalnya,
memasak yang biasanya dilakukan oleh perempuan juga dikerjakan oleh laki-laki
tanpa memandang mana yang seharusnya menjadi kewajibannya. Berbeda dengan yang
ada di Indonesia, kegiatan memasak seperti sudah dikhususkan bagi perempuan,
sementara laki-laki tugasnya adalah mencari nafkah. Budaya patriarki semacam
itu akan semakin utuh bila perempuan tidak mempunyai pegangan. “Karena itu, roll set tidak ada ruginya bila
diterapkan di Indonesia. Dengan begitu antara suami dan istri dapat terbentuk
rasa saling menghargai dan tolong-menolong. KDRT yang marak terjadi pun dapat
diminimalisir,” ungkap Sri memberi jalan keluar.
Perempuan berusia 57 tahun tersebut tidak
menampik jika sosok perempuan harus menjadi seorang pemimpin. Laki-laki yang
kodratnya memakai akal dan perempuan yang memakai perasaan bukanlah sebuah
alasan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin.
“Memimpin dengan akal itu baik, tapi jika
tanpa perasaan akan kurang humanis. Karena itu antara keduanya harus imbang,” kata
perempuan yang menamatkan S1-nya di IKIP Negeri Yogyakarta jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Daerah tersebut.
Walaupun saat ini perayaan hari Kartini tidak
semeriah tahun-tahun sebelumnya, namun Sri merasa penghargaan bagi raden ajeng
tersebut sudah cukup membanggakan. Penghargaan yang paling besar adalah
diangkatnya Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Selain itu,
diadakannya berbagai lomba untuk mengisi hari Kartini pada tanggal 21 April
juga sudah menjadi penghormatan tersendiri bagi pahlawan emansipasi wanita
tersebut.
“Kartini memang sudah mendapat pengakuan,
tetapi cita-cita Kartini belum mewarnai semua perempuan Indonesia. Buktinya,
untuk mencari sepertiga perempuan untuk partai politik saja sulit. Karena itu,
sifat Kartini yang berkemauan keras, bercita-cita tinggi, dan pemberani harus
dilekatkan di jiwa perempuan Indonesia saat ini,” keluh Sri.
Dalam merayakan hari Kartini, biasanya
diadakan berbagai lomba yang berbau perempuan seperti lomba masak, lomba
merias, lomba peragaan busana, dan lain-lain. Padahal di luar sana digembar-gemborkan
bahwa perempuan harus sejajar dengan pria. Wacana itu salah satunya bisa ditunjukkan
dengan mengadakan lomba yang jauh dari kesan keperempuan-perempuanan. Sri Wahyu
mempunyai tanggapan tersendiri dalam mengomentari wacana itu.
“Saya tidak setuju dengan wacana demikian.
Lomba-lomba tersebut fungsinya hanya untuk memeriahkan saja. Seharusnya kita
tidak melihat dari lombanya, namun dari semangat Raden Ajeng Kartini dalam
mengubah dua hal: membawa perempuan dari dunia kebodohan menuju kepandaian,
serta mengajak perempuan Indonesia agar tidak terlalu bergantung pada
laki-laki,” terang ibu dua anak tersebut.
Selain dengan lomba, bentuk apresiasi terhadap
hari Kartini bisa dengan memakai baju adat. Hal itu sudah diterapkan di
beberapa sekolah di tanah air, baik itu SD, SMP, maupun SMA. Saat ditanya
apakah Unesa juga akan meniru agenda tersebut, Sri menjawab tegas.
“Pemakaian baju adat sangat bagus karena anak-anak
dapat mengingat sejarah. Lagipula, jika tidak ingat sejarah negara tidak akan
maju,” tutur perempuan yang menamatkan S2-nya di Universitas Airlangga jurusan
Ilmu Sosial tersebut.
Di akhir obrolan, dosen yang tinggal di
Gunungsari Indah D1 Surabaya tersebut berpesan kepada mahasiswa Unesa agar
mengimplementasikan perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam meraih cita-cita.
“Gunakan waktu dengan baik untuk belajar.
Belajar bukan hanya di kelas, namun belajar berorganisasi juga penting. Kedua
aspek itu akan mengantarkan mahasiswa untuk siap terjun ke segala bidang.
Laki-laki dan khususnya perempuan, harus mempunyai kebebasan ekonomi seperti
yang sudah dicita-citakan Kartini,” pungkasnya (San).
No comments:
Post a Comment