Background

Saturday, April 6, 2013

Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II FBS

Mencoba Bersuara untuk Raden Ajeng Kartini



“Kebebasan wanita hanya bisa tercapai bila ada kebebasan ekonomi”

Itulah sepenggal kutipan yang diusung oleh Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Peringatan hari Kartini yang sudah di depan mata memiliki makna tersendiri bagi perempuan kelahiran Yogyakarta, 10 Oktober 1956 tersebut. Baginya, Kartini adalah sosok perempuan yang berkemauan teguh, bercita-cita kuat, dan pemberani.
“Cita-cita Kartini adalah mencerdaskan kaum pribumi. Walaupun dilarang keras, Kartini masih saja memberi pelajaran pada mereka agar setingkat lebih cerdas. Sementara itu, keberanian Kartini tergambar saat ia menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Kumpulan surat itu berisi perjuangan, ide-ide, dan semangat Kartini dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi. Seorang temannya mengumpulkan surat-surat Kartini dan menjadikannya buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang kita kenal sekarang,” papar perempuan yang juga menjadi dosen di jurusan bahasa Jawa tersebut.

KARTINI MASA KINI: Dra. Sri Wahyu Widayati, M.Si., Pembantu Dekan II FBS Unesa saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (5/4/2013).

Bagi Sri Wahyu, peringatan hari Kartini bisa mengingatkan bangsa Indonesia tentang semangat Kartini di era global. Ia berpendapat bahwa perempuan sekarang harus berbeda dengan yang dahulu. Jika dahulu perempuan masih menggantungkan pilihannya di bawah laki-laki, maka perempuan sekarang harus berani bebas dari belenggu tersebut.
“Kartini berjuang agar perempuan lebih mandiri. Di era global seperti sekarang, kemandirian ekonomi lah yang paling dibutuhkan. Mereka dapat berkarir di dunia publik sehingga punya kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki,” tutur Sri.
Menurut Sri, pergerakan kaum perempuan sekarang ini sulit dideskripsikan. Hal itu dipengaruhi oleh latar belakang Indonesia yang multietnis dan multikultur. Apalagi budaya patriarki masih menjadi mayoritas dari beberapa etnik yang ada di Indonesia. “Itulah sebabnya perempuan harus pintar memosisikan diri. Dengan bekerja, perempuan akan bisa menentukan pilihan,” tambahnya.
Di zaman modern ini, menurut Sri, masih ada hal-hal tertentu dari seorang perempuan yang masih tertinggal dari kaum laki-laki. Hal yang dimaksud adalah soal pendidikan. Perempuan yang memang asli Jogja tersebut pernah meneliti sekelompok perempuan desa di pelosok-pelosok Jogja yang disebutnya sebagai rewang. Rewang adalah istilah untuk menyebut masyarakat setempat yang membantu orang yang punya hajat (tetangga atau kerabat sendiri), yaitu dengan cara membantu di bidang masak-memasak (meracik bumbu). Pada umumnya rewang dilakukan oleh ibu-ibu yang biasa memasak di dapur dan ada kalanya kaum bapak juga membantu mengerjakan hal-hal yang lebih berat seperti membantu mendirikan tenda sebagai tempat berteduh.
“Dahulu para rewang di Jogja ikhlas tidak dibayar, namun sekarang mereka dibayar. Kondisi itu diakibatkan adanya revolusi industri. Revolusi industri yang memanfaatkan mesin membuat akses pekerjaan semakin sempit. Padahal masyarakat kelas bawah adalah masyarakat yang paling banyak menyokong ekonomi rumah tangga. Untuk itulah, ada baiknya negara kita meniru Amerika dalam menerapakan roll set,” komentar Sri.
Roll set adalah peralihan pekerjaan dari perempuan ke laki-laki atau sebaliknya. Suami istri di Amerika misalnya, memasak yang biasanya dilakukan oleh perempuan juga dikerjakan oleh laki-laki tanpa memandang mana yang seharusnya menjadi kewajibannya. Berbeda dengan yang ada di Indonesia, kegiatan memasak seperti sudah dikhususkan bagi perempuan, sementara laki-laki tugasnya adalah mencari nafkah. Budaya patriarki semacam itu akan semakin utuh bila perempuan tidak mempunyai pegangan. “Karena itu, roll set tidak ada ruginya bila diterapkan di Indonesia. Dengan begitu antara suami dan istri dapat terbentuk rasa saling menghargai dan tolong-menolong. KDRT yang marak terjadi pun dapat diminimalisir,” ungkap Sri memberi jalan keluar.
Perempuan berusia 57 tahun tersebut tidak menampik jika sosok perempuan harus menjadi seorang pemimpin. Laki-laki yang kodratnya memakai akal dan perempuan yang memakai perasaan bukanlah sebuah alasan untuk melarang perempuan menjadi pemimpin.
“Memimpin dengan akal itu baik, tapi jika tanpa perasaan akan kurang humanis. Karena itu antara keduanya harus imbang,” kata perempuan yang menamatkan S1-nya di IKIP Negeri Yogyakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah tersebut.
Walaupun saat ini perayaan hari Kartini tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, namun Sri merasa penghargaan bagi raden ajeng tersebut sudah cukup membanggakan. Penghargaan yang paling besar adalah diangkatnya Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Selain itu, diadakannya berbagai lomba untuk mengisi hari Kartini pada tanggal 21 April juga sudah menjadi penghormatan tersendiri bagi pahlawan emansipasi wanita tersebut.
“Kartini memang sudah mendapat pengakuan, tetapi cita-cita Kartini belum mewarnai semua perempuan Indonesia. Buktinya, untuk mencari sepertiga perempuan untuk partai politik saja sulit. Karena itu, sifat Kartini yang berkemauan keras, bercita-cita tinggi, dan pemberani harus dilekatkan di jiwa perempuan Indonesia saat ini,” keluh Sri.
Dalam merayakan hari Kartini, biasanya diadakan berbagai lomba yang berbau perempuan seperti lomba masak, lomba merias, lomba peragaan busana, dan lain-lain. Padahal di luar sana digembar-gemborkan bahwa perempuan harus sejajar dengan pria. Wacana itu salah satunya bisa ditunjukkan dengan mengadakan lomba yang jauh dari kesan keperempuan-perempuanan. Sri Wahyu mempunyai tanggapan tersendiri dalam mengomentari wacana itu.
“Saya tidak setuju dengan wacana demikian. Lomba-lomba tersebut fungsinya hanya untuk memeriahkan saja. Seharusnya kita tidak melihat dari lombanya, namun dari semangat Raden Ajeng Kartini dalam mengubah dua hal: membawa perempuan dari dunia kebodohan menuju kepandaian, serta mengajak perempuan Indonesia agar tidak terlalu bergantung pada laki-laki,” terang ibu dua anak tersebut.
Selain dengan lomba, bentuk apresiasi terhadap hari Kartini bisa dengan memakai baju adat. Hal itu sudah diterapkan di beberapa sekolah di tanah air, baik itu SD, SMP, maupun SMA. Saat ditanya apakah Unesa juga akan meniru agenda tersebut, Sri menjawab tegas.
“Pemakaian baju adat sangat bagus karena anak-anak dapat mengingat sejarah. Lagipula, jika tidak ingat sejarah negara tidak akan maju,” tutur perempuan yang menamatkan S2-nya di Universitas Airlangga jurusan Ilmu Sosial tersebut.
Di akhir obrolan, dosen yang tinggal di Gunungsari Indah D1 Surabaya tersebut berpesan kepada mahasiswa Unesa agar mengimplementasikan perjuangan Raden Ajeng Kartini dalam meraih cita-cita.
“Gunakan waktu dengan baik untuk belajar. Belajar bukan hanya di kelas, namun belajar berorganisasi juga penting. Kedua aspek itu akan mengantarkan mahasiswa untuk siap terjun ke segala bidang. Laki-laki dan khususnya perempuan, harus mempunyai kebebasan ekonomi seperti yang sudah dicita-citakan Kartini,” pungkasnya (San)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment