Background

Wednesday, March 20, 2013

Mengulang Kenangan Kusumo Raharja, Mantan PD-3 FMIPA

Pernah Pergi Tanpa Pamit


Seiring waktu berlalu, kejayaan di masa muda hanyalah menyisakan sepenggal kenangan yang rindu untuk dikenang. Di saat kerinduan itu memuncak, apa daya usia tak lagi seperjaka dulu. Kini raga itu hanya membujur ringkih, berbalut kulit setipis ari yang mengerat tulang. Andaikata dapat terbang ke masa lalu, mungkin Kusumo Raharja, begitu namanya, dapat lebih leluasa menceritakan masa-masa emasnya dulu.


Keheningan menyeruak saat memasuki rumah kecil itu. Rumah pensiunan dosen yang terletak di jejeran kampus Unesa Ketintang nomor 36. Hunian yang masuk di kawasan Ketintang Pratama tersebut hanya dihuni oleh si tuan rumah, sang istri, dan seorang anak perempuannya. Ditambah lagi seorang asisten muda dengan wajah ramahnya, datang membukakan pintu dan berucap salam.
“Bapak masih tidur, saya bangunkan dulu, ya,“ teriak seorang perempuan muda yang tak lain adalah Nunik, anak si tuan rumah.

TAK SEPERTI DULU: Inilah Kusumo saat ditemui di rumhnya, Jumat (15/3/2013)

Setelah pintu terbuka, kesan pertama yang didapat adalah rasa miris dan iba. Seorang kakek terbaring lemah di atas ranjang yang kelihatannya tidak begitu nyaman. Ranjang itu hamper mengisi penuh ruang tamu, mengingat rumah pensiunan tersebut berdiri cukup sederhana. Sang kakek yang tidak lain adalah Kusumo Raharja, terbangun antara sadar dan tidak setelah mendengar keributan kecil yang terjadi. Tubuhnya oleng ke kanan, lalu ke kiri, dan akhirnya berhasil duduk setelah sekian lama menopang tubuhnya yang tak seberat barbel itu. Senyum tipisnya merekah setelah jari-jari tangannya menyalami dengan hangat. Ada sapa yang ingin terucap, namun apa daya lidah tak segemulai dulu. Stroke telah menggerogoti tubuhnya sejak empat tahun yang lalu.
Sapaan itu malah datang dari seorang perempuan renta yang duduk di kursi sebelah ranjang. Berbeda dengan suaminya, Marni, istri si tuan rumah, terlihat masih segar bugar di usianya yang tak muda lagi. Ia masih bisa bergerak lincah, menyimpan sejuta cerita yang tak sabar untuk diungkapkan. Di pangkuannya terdapat sebuah kotak kardus berisi koran berlembar-lembar, menunggu tangan Marni untuk menyobek-nyobeknya. Ya, itulah yang masih bisa dilakukan Marni untuk mengisi waktu luangnya.
“Setiap hari Ibu kerjaannya hanya mnyuwir-nyuwir kertas koran. Suwirannya ia masukkan ke dalam kantong-kantong kresek. Yah, begitulah mbak kalau sudah tua, aneh-aneh saja yang dikerjakan,” ungkap Nunik sambil tersenyum.
Sebagai anak terakhir, Nunik mempunyai tanggungjawab untuk merawat kedua orang tuanya di rumah. Mantan dosen kelautan Ubaya itu dibantu oleh seorang asisten pribadi yang selalu ada dari pagi sampai sore. Tugas-tugas utama seperti menyiapkan makan, memandikan, dan memakaikan baju, dibebankan kepadanya.
Dengan gaya bicara yang khas, Nunik mulai menceritakan perjalanan hidup sang Ayah yang masih terekam di memorinya.
Menghabiskan masa kecil di kampung halaman, Kusumo Raharja yang lahir 83 tahun silam itu menamatkan pendidikan dasarnya di kota tercinta, Blitar. Setelah tamat SMP di Kediri, ayah empat anak tersebut lantas melanjutkan sekolah menengah atasnya di Kota Batu, Malang. Di kota itulah Kusumo, begitu sapaan arabnya, bertemu dengan Marni yang sekarang menjadi ibunya.
“Mereka berteman dari kelas satu SMA, namun baru kelas tiga mereka pacaran,” ujar Nunik sambil terus mengingat-ingat.
“Iya, mbak. Kami dulu pacaran lama sekali,” sahut Marni dengan tawa lebar. Tangannya tetap saja menyobek-nyobek setumpukan koran di pangkuannya. “Dulu saya juga guru, seprofesi sama Bapak,” tambahnya.
Nunik melanjutkan, begitu lulus dari SMA ayahnya lantas melanjutkan sekolah tinggi ke Universitas Gajah Mada dengan mengambil jurusan teknik sipil.
“Suami saya dari kecil punya cita-cita jadi insinyur. Tapi sayangnya Tuhan mengarahkan dia untuk menjadi seorang pendidik,” sambung Marni dengan semangat.
Benar saja, keteguhan Kusumo berkuliah di teknik sipil hanya sampai di ambang pintu. Tidak sampai lulus, ia mendapatkan panggilan tugas untuk mengajar di Kalimantan. Dengan memboyong istrinya, di Pulau Borneo tersebut Kusumo ikhlas menjalani tugas mengajar untuk pertama kali. Tiga tahun mengabdi, Kusumo banyak mendapatkan pengalaman baru selama berada di pulau seberang tersebut. Pengalaman itu ia bawa kembali ke Jawa setelah masa pengabdiannya habis.
Setelah melepas rindu pada kampung halaman, Kusumo pun memutuskan untuk melupakan impiannya menjadi seorang insinyur. Darah seorang pendidik ternyata sudah mengaliri urat-urat nadinya, membuat ia bertekat untuk mmpelajari dunia pendidikan lebih dalam. Sebagai bukti keseriusannya, ia pun mengambil kuliah B1 di IKIP Malang. Sambil berkuliah tersebut, Kusumo mendapatkan kepercayaan untuk mengajar di SMP Kepanjen Malang dan SMA Negeri 2 Malang. Setelah lulus dari IKIP, masa-masa kejayaan itu mulai menghampiri. Kusumo diminta untuk menjadi dosen tetap di IKIP Surabaya (sekarang Unesa), dan puncak kejayaan itu berhasil dicapai saat pada tahun 1983 ia diangkat menjadi Pembantu Dekan 3 FMIPA selama satu periode. Jika ditotal, mungkin sekitar 36 tahun lebih Kusumo mengabdikan diri di Unesa, menyibukkan diri di laboratorium sebagai dosen kimia.
“Waktu itu Bapak sedang sibuk-sibuknya. Selain menjadi dosen Unesa, Bapak juga mengajar di Ubaya sebagai dosen farmasi,” ujar Nunik bangga.
Waktu pun berjalan cepat, mengantarkan Kusumo ke ujung perjalanannya. Pria yang semasa mudanya hobi membaca buku-buku Kimia itu akhirnya dipurnatugaskan pada tahun 1990. Sebagai penghargaan atas pengabdiannya, Kusumo diperbolehkan menempati rumah pensiunan yang ia huni sekarang. Kini kakek lima cucu tersebut tidak bisa menikmati masa-masa tuanya dengan leluasa. Sejak empat tahun yang lalu penyakit stroke telah menggerogoti tubuhnya. Penyakit itu telah menurunkan fungsi kerja kaki, sehingga Kusumo membutuhkan alat bantu jalan. Karena keterbatasan itu, setiap hari ia hanya bisa terbaring di ranjang.
“Pernah suatu hari Bapak pergi tanpa pamit. Kami pun bingung kemana harus mencari Bapak, apalagi mengingat kondisi Bapak yang sulit berjalan. Berkat bantuan saudara-saudara, akhirnya Bapak bisa ditemukan. Setelah ditanya, katanya ia hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Sebagai seorang istri, saya begitu khawatir. Kita sudah tua, apa lagi yang mesti dicari. Begitu yang selalu saya tanamkan kepada Bapak,” ujar Marni dengan wajah sendu.
Sebagai pengobatan, setiap satu bulan sekali Kusumo harus melakukan kontrol ke Rumah Sakit Islam Surabaya untuk memeriksa kolesterol. Beruntung, keempat anak Kusumo selalu menyempatkan diri untung bertandang ke rumah orang tuanya. Anak pertamanya sekarang menjadi dosen di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, anak kedua menjadi kepala Bapeda di Jakarta, anak ketiga ikut suami di Jakarta, dan terakhir adalah Nunik, pernah menjabat sebagai dosen kelautan di Ubaya (San)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment