Pernah
Pergi Tanpa Pamit
Seiring waktu berlalu, kejayaan di
masa muda hanyalah menyisakan sepenggal kenangan yang rindu untuk dikenang. Di
saat kerinduan itu memuncak, apa daya usia tak lagi seperjaka dulu. Kini raga
itu hanya membujur ringkih, berbalut kulit setipis ari yang mengerat tulang.
Andaikata dapat terbang ke masa lalu, mungkin Kusumo Raharja, begitu namanya,
dapat lebih leluasa menceritakan masa-masa emasnya dulu.
Keheningan
menyeruak saat memasuki rumah kecil itu. Rumah pensiunan dosen yang terletak di
jejeran kampus Unesa Ketintang nomor 36. Hunian yang masuk di kawasan Ketintang
Pratama tersebut hanya dihuni oleh si tuan rumah, sang istri, dan seorang anak
perempuannya. Ditambah lagi seorang asisten muda dengan wajah ramahnya, datang
membukakan pintu dan berucap salam.
“Bapak
masih tidur, saya bangunkan dulu, ya,“ teriak seorang perempuan muda yang tak
lain adalah Nunik, anak si tuan rumah.
TAK SEPERTI DULU: Inilah Kusumo saat ditemui di rumhnya, Jumat (15/3/2013)
Setelah
pintu terbuka, kesan pertama yang didapat adalah rasa miris dan iba. Seorang
kakek terbaring lemah di atas ranjang yang kelihatannya tidak begitu nyaman.
Ranjang itu hamper mengisi penuh ruang tamu, mengingat rumah pensiunan tersebut
berdiri cukup sederhana. Sang kakek yang tidak lain adalah Kusumo Raharja,
terbangun antara sadar dan tidak setelah mendengar keributan kecil yang
terjadi. Tubuhnya oleng ke kanan, lalu ke kiri, dan akhirnya berhasil duduk
setelah sekian lama menopang tubuhnya yang tak seberat barbel itu. Senyum
tipisnya merekah setelah jari-jari tangannya menyalami dengan hangat. Ada sapa
yang ingin terucap, namun apa daya lidah tak segemulai dulu. Stroke telah
menggerogoti tubuhnya sejak empat tahun yang lalu.
Sapaan
itu malah datang dari seorang perempuan renta yang duduk di kursi sebelah
ranjang. Berbeda dengan suaminya, Marni, istri si tuan rumah, terlihat masih
segar bugar di usianya yang tak muda lagi. Ia masih bisa bergerak lincah,
menyimpan sejuta cerita yang tak sabar untuk diungkapkan. Di pangkuannya
terdapat sebuah kotak kardus berisi koran berlembar-lembar, menunggu tangan
Marni untuk menyobek-nyobeknya. Ya, itulah yang masih bisa dilakukan Marni
untuk mengisi waktu luangnya.
“Setiap
hari Ibu kerjaannya hanya mnyuwir-nyuwir kertas koran. Suwirannya ia masukkan
ke dalam kantong-kantong kresek. Yah, begitulah mbak kalau sudah tua, aneh-aneh
saja yang dikerjakan,” ungkap Nunik sambil tersenyum.
Sebagai
anak terakhir, Nunik mempunyai tanggungjawab untuk merawat kedua orang tuanya
di rumah. Mantan dosen kelautan Ubaya itu dibantu oleh seorang asisten pribadi
yang selalu ada dari pagi sampai sore. Tugas-tugas utama seperti menyiapkan
makan, memandikan, dan memakaikan baju, dibebankan kepadanya.
Dengan
gaya bicara yang khas, Nunik mulai menceritakan perjalanan hidup sang Ayah yang
masih terekam di memorinya.
Menghabiskan
masa kecil di kampung halaman, Kusumo Raharja yang lahir 83 tahun silam itu
menamatkan pendidikan dasarnya di kota tercinta, Blitar. Setelah tamat SMP di
Kediri, ayah empat anak tersebut lantas melanjutkan sekolah menengah atasnya di
Kota Batu, Malang. Di kota itulah Kusumo, begitu sapaan arabnya, bertemu dengan
Marni yang sekarang menjadi ibunya.
“Mereka
berteman dari kelas satu SMA, namun baru kelas tiga mereka pacaran,” ujar Nunik
sambil terus mengingat-ingat.
“Iya,
mbak. Kami dulu pacaran lama sekali,” sahut Marni dengan tawa lebar. Tangannya
tetap saja menyobek-nyobek setumpukan koran di pangkuannya. “Dulu saya juga
guru, seprofesi sama Bapak,” tambahnya.
Nunik
melanjutkan, begitu lulus dari SMA ayahnya lantas melanjutkan sekolah tinggi ke
Universitas Gajah Mada dengan mengambil jurusan teknik sipil.
“Suami
saya dari kecil punya cita-cita jadi insinyur. Tapi sayangnya Tuhan mengarahkan
dia untuk menjadi seorang pendidik,” sambung Marni dengan semangat.
Benar
saja, keteguhan Kusumo berkuliah di teknik sipil hanya sampai di ambang pintu.
Tidak sampai lulus, ia mendapatkan panggilan tugas untuk mengajar di
Kalimantan. Dengan memboyong istrinya, di Pulau Borneo tersebut Kusumo ikhlas
menjalani tugas mengajar untuk pertama kali. Tiga tahun mengabdi, Kusumo banyak
mendapatkan pengalaman baru selama berada di pulau seberang tersebut.
Pengalaman itu ia bawa kembali ke Jawa setelah masa pengabdiannya habis.
Setelah
melepas rindu pada kampung halaman, Kusumo pun memutuskan untuk melupakan
impiannya menjadi seorang insinyur. Darah seorang pendidik ternyata sudah
mengaliri urat-urat nadinya, membuat ia bertekat untuk mmpelajari dunia
pendidikan lebih dalam. Sebagai bukti keseriusannya, ia pun mengambil kuliah B1
di IKIP Malang. Sambil berkuliah tersebut, Kusumo mendapatkan kepercayaan untuk
mengajar di SMP Kepanjen Malang dan SMA Negeri 2 Malang. Setelah lulus dari
IKIP, masa-masa kejayaan itu mulai menghampiri. Kusumo diminta untuk menjadi
dosen tetap di IKIP Surabaya (sekarang Unesa), dan puncak kejayaan itu berhasil
dicapai saat pada tahun 1983 ia diangkat menjadi Pembantu Dekan 3 FMIPA selama
satu periode. Jika ditotal, mungkin sekitar 36 tahun lebih Kusumo mengabdikan
diri di Unesa, menyibukkan diri di laboratorium sebagai dosen kimia.
“Waktu
itu Bapak sedang sibuk-sibuknya. Selain menjadi dosen Unesa, Bapak juga
mengajar di Ubaya sebagai dosen farmasi,” ujar Nunik bangga.
Waktu
pun berjalan cepat, mengantarkan Kusumo ke ujung perjalanannya. Pria yang
semasa mudanya hobi membaca buku-buku Kimia itu akhirnya dipurnatugaskan pada
tahun 1990. Sebagai penghargaan atas pengabdiannya, Kusumo diperbolehkan
menempati rumah pensiunan yang ia huni sekarang. Kini kakek lima cucu tersebut
tidak bisa menikmati masa-masa tuanya dengan leluasa. Sejak empat tahun yang
lalu penyakit stroke telah menggerogoti tubuhnya. Penyakit itu telah menurunkan
fungsi kerja kaki, sehingga Kusumo membutuhkan alat bantu jalan. Karena
keterbatasan itu, setiap hari ia hanya bisa terbaring di ranjang.
“Pernah
suatu hari Bapak pergi tanpa pamit. Kami pun bingung kemana harus mencari
Bapak, apalagi mengingat kondisi Bapak yang sulit berjalan. Berkat bantuan
saudara-saudara, akhirnya Bapak bisa ditemukan. Setelah ditanya, katanya ia
hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Sebagai seorang istri, saya begitu
khawatir. Kita sudah tua, apa lagi yang mesti dicari. Begitu yang selalu saya
tanamkan kepada Bapak,” ujar Marni dengan wajah sendu.
Sebagai
pengobatan, setiap satu bulan sekali Kusumo harus melakukan kontrol ke Rumah
Sakit Islam Surabaya untuk memeriksa kolesterol. Beruntung, keempat anak Kusumo
selalu menyempatkan diri untung bertandang ke rumah orang tuanya. Anak
pertamanya sekarang menjadi dosen di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, anak
kedua menjadi kepala Bapeda di Jakarta, anak ketiga ikut suami di Jakarta, dan
terakhir adalah Nunik, pernah menjabat sebagai dosen kelautan di Ubaya (San).
No comments:
Post a Comment