Background

Friday, March 1, 2013

Menengok Cerita E. Yonohudiyono, Mantan Dekan FBS Unesa

Pejuang Trikora yang Berani Menantang Maut


“Hidup seperti rel kereta api. Menyeimbangkan jalannya kereta seperti menyeimbangkan dunia dan akhirat, pun spiritual dan material”

Itulah falsafah hidup yang dipegang teguh oleh E. Yonohudiyono, mantan dekan FBS Unesa periode 1999-2002. Pria berumur 71 tahun tersebut memang sudah purnatugas, namun ia masih dipercaya untuk mengampu mata kuliah Bahasa Jawa Kuna di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hampir 50 tahun lamanya ia mengabdi di dunia pendidikan. Jalan yang ditempuhnya untuk menjadi orang besar tidaklah mudah, apalagi kisah hidupnya itu sempat dibumbui dengan cerita peperangan di Papua. Setelah melewati masa-masa pengabdian yang penuh aral, kini pria kelahiran Blitar, 10 Juni 1942 tersebut telah menikmati buah kerja kerasnya.

Sumber: surabayapost.co.id

Pria yang dari kecil bercita-cita menjadi guru sekolah rakyat itu memantapkan pendidikan di Sekolah Guru B (SGB). Lulus tahun 1955, ia diangkat menjadi menjadi guru sekolah rakyat (SR) di Desa Purworejo, Malang. Namun sayangnya, kesempatan emas tersebut belum sempat ia rasakan karena telanjur didaftarkan ke Sekolah Guru A (SGA) oleh kepala SGB. Kesempatan untuk menjadi guru sekolah rakyat akhirnya benar-benar hilang, karena setelah lulus dari SGA di tahun 1962, Yonohudiyono langsung diangkat menjadi guru SMP di Kepanjen, Malang.
“Sebagai seorang manusia, rasa kecewa pasti ada. Namun tugas tetaplah tugas, memaksa kita untuk mau bertanggungjawab,” komentarnya singkat.
Selama mengajar di SMP inilah Yonohudiyono mendapatkan pengalaman baru, mulai dari menjadi seorang penyunting sampai mendaftarkan diri sebagai relawan Trikora. Beberapa media yang sudah atau tengah ia lakoni sebagai penyunting di dalamnya antara lain Media Pendidikan, Jurnal Pelangi Ilmu, Media SEP, dan Lumen Dei. Dari keempat media tersebut, Jurnal Pelangi Ilmu, Media SEP, dan Lumen Dei masih ia geluti sampai sekarang. Sementara keinginan untuk menjadi relawan Trikora muncul karena hatinya terpanggil untuk mengabdi pada NKRI. Seperti yang tertulis dalam buku-buku sejarah, prajurit Trikora bertugas mempersiapkan rakyat Papua agar memilih masuk ke Indonesia.
“Tes untuk bergabung menjadi relawan Trikora sangatlah berat. Kami menjalani seleksi se-Indonesia. Selama lima kali berturut-turut kami di tes secara fisik. Hampir tidak ada tes akademik, yang terkuatlah yang terpilih,” ujarnya.
Rasa cinta tanah air semakin menggelora saat nama Yonohudiyono masuk dalam daftar relawan Trikora mewakili Jawa Timur. Saat itu Yono tidak sendiri. Ia bersama rekannya yang lain yang juga lolos seleksi, Wuryan Suyadi, berangkat ke Papua untuk mempertahankan Pulau Cendrawasih itu.
Dengan kapal laut Tolando, mereka berangkat dari Jakarta menuju Papua. Relawan tidak hanya berasal dari Jawa Timur, namun ada pula yang berasal dari Batak Toba, Batak Karo, Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Bali, dan Nusa Tenggara Timur. Kapal tidak lantas begitu saja sampai ke Papua, namun harus singgah dulu di pelabuhan Surabaya dan Makassar, baru setelah itu menuju ke Pulau Doom, sebelah utara kota Sorong. Setelah pulau Doom, berturut-turut menuju kota Sorong, lalu ke Fakfak, Kaimana, Kokonao Timika, Merauke, Okaba, dan yang terakhir Kimaan (sekarang pulau Yos Sudarso). Di tempat terakhir itulah, relawan mulai dibagi dua-dua. Yonohudiyono bersama E. Pudyantoro, rekan seperjuangannya dari Muntilan Yogyakarta, dikirim ke kampung Suam Barawangga yang tepat menghadap muara sungai Digul.
Perjalanan ke kampung ini cukup sulit. Waktu yang dibutuhkan adalah 10 hari lamanya dengan melewati dua kampung, yaitu Kampung Yobi dan Bamole. Di kampung inilah peran Yonohudiyono dan rekannya mulai dibutuhkan, yaitu “mencerdaskan” masyarakat akan pentingnya nasionalisme. Yono sempat takut jika masyarakat Suam tidak memberi sambutan ramah, tapi pada akhirnya masyarakat menghargai niat baik Yono sebagai relawan NKRI. Namun di balik itu semua, ancaman fisik dan psikologis tidak henti-hentinya mendera relawan. Ancaman itu seperti malaria tropika, sakit kuning, dibunuh, bunuh diri, dan stres. Namun seperti rel kereta api, Yono mencoba menyeimbangkan jasmani dan rohaninya dengan mengajar di sekolah rakyat yang ada di kampung tersebut. Walaupun mengajar dalam kondisi yang genting, namun hatinya sedikit terobati karena di titik inilah ia mendapatkan kembali kesempatannya yang dulu hilang, yaitu menjadi guru sekolah rakyat.
“Saya hanya mencoba menjalani hidup dengan sabar, gembira, dan tidak cepat marah. Dengan begitu, keadaan akan ayem,” ujarnya sambil tersenyum.
Setelah setahun mengabdi di Desa Suam Barawangga, Yono dipindahkan ke Kimaan. Di ibukota kecamatan itu, Yono beserta Koesdento dari Yogyakarta mendirikan SMP Kimaan. Sampai sekarang, sekolah itu masih berdiri dengan nama Santo Mikael II.
“Pada awal berdirinya di SMP itu hanya ada 22 siswa dan 2 guru, termasuk saya. Siswa-siswa tersebut berasal dari 21 kampung sehingga mereka terpaksa harus tinggal di asrama. Perlu diketahui, SMP yang saya dirikan merupakan SMP pertama di Irian Barat Selatan,” kenangnya bangga.
Setelah empat tahun di tanah Papua, akhirnya kebahagiaan itu datang juga. Yono dibebastugaskan sehingga bisa pulang ke Malang, tempat awalnya meniti karir sebagai guru. Profesi yang sudah mendarah daging di jiwanya itu kembali ia lakukan, pertama dengan mengajar di SMP 6 Malang. Sambil mengajar, pria yang memiliki hobi memancing itu berkuliah di IKIP sampai lulus tahun 1971. Dengan bekal ijasah sarjana mudanya, Yonohudiyono akhirnya dapat beralih mengajar SMA. Pada tahun 1976, ia melanjutkan kuliah doktor sampai lulus tahun 1978. Di tahun 1979 barulah ia masuk ke Unesa. Selama di Unesa, penganut agama Khatolik itu sempat mengisi beberapa bidang, antara lain: (1) Kuliah Kerja Nyata (1980-1983); (2) Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1984-1987); (3) Praktik Pengalaman Lapangan (1988-1995); (4) Perencanaan (1989-1994); (5) Tim Naskah UMPTN Rayon C (1989-1997),  (6) Pembantu Dekan II FBS (1996-1998); dan (7) Dekan FBS (1999-2002).
Setelah purnatugas, bapak tiga anak itu lebih sering memanfaatkan waktunya untuk kegiatan rohani. Empat tahun sebelum mengakhiri masa kerjanya, ia mengikuti semacam kegiatan untuk memperdalam ilmu agama, dan menyelesaikannya beberapa tahun kemudian. Setelah menyelesaikan kegiatan tersebut, pria yang tinggal di Jalan Sidosermo II/2 Surabaya itu mengikuti pelatihan untuk menjadi guru spiritual. Setelah berhasil lulus dari pelatihan tersebut, Yonohudiyono berupaya mendekatkan diri dengan pelayanan. Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang dia berikan kepada masyarakat, khususnya terhadap kepentingan spiritual. 
“Cita-cita saya sudah tercapai, anak-anak pun sudah besar. Sekarang saatnya saya menghabiskan sisa umur ini dengan melakukan hal-hal yang berguna bagi masyarakat,” tandas kakek dua cucu ini,” (San).


Biodata Pribadi (Dikutip dari sosok.kompasiana.com)
Nama : E. Yonohudiyono
Tempat, tanggal lahir : Blitar, 10 Juni 1942
Alamat : Jalan Sidosermo II/2 Surabaya
Riwayat Pendidikan:
a)     Sekolah Rakyat  (SR), di desa Sumberroto Malang, 1955
b)    Sekolah Guru B (SGB), di Kepanjen Malang, 1959
c)     Sekolah Guru A (SGA), di Malang, 1962
d)    Sarjana Muda IKIP Malang, 1971
e)     Sarjana IKIP Malang, 1978
f)      Akta V, Surabaya, 1984
Karya Tulis:
1.     Buku Pelajaran
a)     Pengajaran Bahasa Jawa untuk Orang Asing (1981)
b)    “Candhi Basa”  Buku Pelajaran Bahasa Jawa untuk SMP, 3 Jilid (1986)
c)     Cerita Rakyat Banyuwangi (1996)
d)    Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, Tim (1995, 2001)
e)     Bahasa Indonesia Keilmuan, Tim (2007).
f)      Bahasa Kawi Selayang Pandang (Pengantar Studi) (2008)
2.     Modul
a)     Analisis Kesalahan Berbahasa (2001)
b)    Metode Pengajaran Bahasa (2003)
3.     Penelitian
a)     Kemampuan Siswa Kelas II SMP Negeri Se-Kota  Madya  Malang Menggunakan EYD dalam Menulis (1978)
b)    Babad Demak Pasisiran (1980)
c)     Ungkapan Tradisional Jawa Timur (1982)
d)    Geografi Dialek Bahasa Daerah Kabupaten Pacitan (1983)
e)     Ungkapan Tradisional Jawa Timur yang Berkaitan dengan Sila-sila dalam Pancasila (1984)
f)      Upacara Tradisional Kerapan Sapi (1984)
g)     Naskah Kuno”Laire Wong Agung Menak” (1985)
h)    Bentuk Sapaan Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur (1986)
i)       Sastra Indonesia di Madura (1989)
j)       Bahasa yang Digunakan di Pulau Bawean  (1997)
k)    Lain-lain
4.     Makalah
a)     Korespondensi Indonesia (Bahan Penataran) (1990)
b)    Bahasa Indonesia (Sebuah Pengantar Pemahaman Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar) (1999)
c)     Perilaku ”-nya” dalam Bahasa Indonesia.(1998)
d)    Hubungan Sampiran dan Isi dalam Pantun (2003)
e)     Telaah Buku Teks Bahasa Jawa untuk SD dan SMP di Jawa Timur (1995)
f)      Lain-Lain
Penyunting:
a)     Media Pendidikan  (1986-2006)
b)    Jurnal Pelangi Ilmu (2008-sekarang)
c)     Media SEP (2008-sekarang)
d)    Lumen Dei (2009-sekarang)
Penghargaan:
a)     Penghargaan Sukwan ”Trikora” (1969),
b)    Guru teladan (1978),
c)     Dosen teladan (1984), dan
d)    Satya Lencana Karya Satya (1998).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment