Pejuang Trikora yang Berani Menantang Maut
“Hidup seperti rel kereta api. Menyeimbangkan jalannya kereta seperti
menyeimbangkan dunia dan akhirat, pun spiritual dan material”
Itulah
falsafah hidup yang dipegang teguh oleh E. Yonohudiyono, mantan dekan FBS Unesa
periode 1999-2002. Pria berumur 71 tahun tersebut memang sudah purnatugas,
namun ia masih dipercaya untuk mengampu mata kuliah Bahasa Jawa Kuna di Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Hampir 50 tahun lamanya ia mengabdi di dunia
pendidikan. Jalan yang ditempuhnya untuk menjadi orang besar tidaklah mudah,
apalagi kisah hidupnya itu sempat dibumbui dengan cerita peperangan di Papua.
Setelah melewati masa-masa pengabdian yang penuh aral, kini pria kelahiran
Blitar, 10 Juni 1942 tersebut telah menikmati buah kerja kerasnya.
Sumber: surabayapost.co.id
Pria
yang dari kecil bercita-cita menjadi guru sekolah rakyat itu memantapkan
pendidikan di Sekolah Guru B (SGB). Lulus tahun 1955, ia diangkat menjadi
menjadi guru sekolah rakyat (SR) di Desa Purworejo, Malang. Namun sayangnya,
kesempatan emas tersebut belum sempat ia rasakan karena telanjur didaftarkan ke
Sekolah Guru A (SGA) oleh kepala SGB. Kesempatan untuk menjadi guru sekolah
rakyat akhirnya benar-benar hilang, karena setelah lulus dari SGA di tahun
1962, Yonohudiyono langsung diangkat menjadi guru SMP di Kepanjen, Malang.
“Sebagai
seorang manusia, rasa kecewa pasti ada. Namun tugas tetaplah tugas, memaksa
kita untuk mau bertanggungjawab,” komentarnya singkat.
Selama
mengajar di SMP inilah Yonohudiyono mendapatkan pengalaman baru, mulai dari
menjadi seorang penyunting sampai mendaftarkan diri sebagai relawan Trikora.
Beberapa media yang sudah atau tengah ia lakoni sebagai penyunting di dalamnya
antara lain Media Pendidikan, Jurnal Pelangi Ilmu, Media SEP, dan Lumen Dei.
Dari keempat media tersebut, Jurnal Pelangi Ilmu, Media SEP, dan Lumen Dei
masih ia geluti sampai sekarang. Sementara keinginan untuk menjadi relawan
Trikora muncul karena hatinya terpanggil untuk mengabdi pada NKRI. Seperti yang
tertulis dalam buku-buku sejarah, prajurit Trikora bertugas mempersiapkan
rakyat Papua agar memilih masuk ke Indonesia.
“Tes
untuk bergabung menjadi relawan Trikora sangatlah berat. Kami menjalani seleksi
se-Indonesia. Selama lima kali berturut-turut kami di tes secara fisik. Hampir
tidak ada tes akademik, yang terkuatlah yang terpilih,” ujarnya.
Rasa
cinta tanah air semakin menggelora saat nama Yonohudiyono masuk dalam daftar
relawan Trikora mewakili Jawa Timur. Saat itu Yono tidak sendiri. Ia bersama
rekannya yang lain yang juga lolos seleksi, Wuryan Suyadi, berangkat ke Papua
untuk mempertahankan Pulau Cendrawasih itu.
Dengan
kapal laut Tolando, mereka berangkat dari Jakarta menuju Papua. Relawan tidak
hanya berasal dari Jawa Timur, namun ada pula yang berasal dari Batak Toba,
Batak Karo, Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Bali, dan Nusa
Tenggara Timur. Kapal tidak lantas begitu saja sampai ke Papua, namun harus
singgah dulu di pelabuhan Surabaya dan Makassar, baru setelah itu menuju ke
Pulau Doom, sebelah utara kota Sorong. Setelah pulau Doom, berturut-turut
menuju kota Sorong, lalu ke Fakfak, Kaimana, Kokonao Timika, Merauke, Okaba,
dan yang terakhir Kimaan (sekarang pulau Yos Sudarso). Di tempat terakhir
itulah, relawan mulai dibagi dua-dua. Yonohudiyono bersama E. Pudyantoro, rekan
seperjuangannya dari Muntilan Yogyakarta, dikirim ke kampung Suam Barawangga
yang tepat menghadap muara sungai Digul.
Perjalanan
ke kampung ini cukup sulit. Waktu yang dibutuhkan adalah 10 hari lamanya dengan
melewati dua kampung, yaitu Kampung Yobi dan Bamole. Di kampung inilah peran Yonohudiyono
dan rekannya mulai dibutuhkan, yaitu “mencerdaskan” masyarakat akan pentingnya
nasionalisme. Yono sempat takut jika masyarakat Suam tidak memberi sambutan ramah,
tapi pada akhirnya masyarakat menghargai niat baik Yono sebagai relawan NKRI.
Namun di balik itu semua, ancaman fisik dan psikologis tidak henti-hentinya
mendera relawan. Ancaman itu seperti malaria tropika, sakit kuning, dibunuh,
bunuh diri, dan stres. Namun seperti rel kereta api, Yono mencoba
menyeimbangkan jasmani dan rohaninya dengan mengajar di sekolah rakyat yang ada
di kampung tersebut. Walaupun mengajar dalam kondisi yang genting, namun
hatinya sedikit terobati karena di titik inilah ia mendapatkan kembali
kesempatannya yang dulu hilang, yaitu menjadi guru sekolah rakyat.
“Saya
hanya mencoba menjalani hidup dengan sabar, gembira, dan tidak cepat marah.
Dengan begitu, keadaan akan ayem,”
ujarnya sambil tersenyum.
Setelah
setahun mengabdi di Desa Suam Barawangga, Yono dipindahkan ke Kimaan. Di
ibukota kecamatan itu, Yono beserta Koesdento dari Yogyakarta mendirikan SMP
Kimaan. Sampai sekarang, sekolah itu masih berdiri dengan nama Santo Mikael II.
“Pada
awal berdirinya di SMP itu hanya ada 22 siswa dan 2 guru, termasuk saya.
Siswa-siswa tersebut berasal dari 21 kampung sehingga mereka terpaksa harus
tinggal di asrama. Perlu diketahui, SMP yang saya dirikan merupakan SMP pertama
di Irian Barat Selatan,” kenangnya bangga.
Setelah
empat tahun di tanah Papua, akhirnya kebahagiaan itu datang juga. Yono
dibebastugaskan sehingga bisa pulang ke Malang, tempat awalnya meniti karir
sebagai guru. Profesi yang sudah mendarah daging di jiwanya itu kembali ia
lakukan, pertama dengan mengajar di SMP 6 Malang. Sambil mengajar, pria yang
memiliki hobi memancing itu berkuliah di IKIP sampai lulus tahun 1971. Dengan
bekal ijasah sarjana mudanya, Yonohudiyono akhirnya dapat beralih mengajar SMA.
Pada tahun 1976, ia melanjutkan kuliah doktor sampai lulus tahun 1978. Di tahun
1979 barulah ia masuk ke Unesa. Selama di
Unesa, penganut agama Khatolik itu sempat mengisi beberapa bidang, antara lain:
(1) Kuliah Kerja Nyata (1980-1983); (2) Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia (1984-1987); (3) Praktik Pengalaman Lapangan (1988-1995);
(4) Perencanaan (1989-1994); (5) Tim Naskah UMPTN Rayon C (1989-1997),
(6) Pembantu Dekan II FBS (1996-1998); dan (7) Dekan FBS (1999-2002).
Setelah
purnatugas, bapak tiga anak itu lebih sering memanfaatkan waktunya untuk kegiatan
rohani. Empat tahun sebelum mengakhiri masa kerjanya,
ia mengikuti semacam kegiatan untuk memperdalam ilmu agama, dan
menyelesaikannya beberapa tahun kemudian. Setelah menyelesaikan kegiatan
tersebut, pria yang tinggal di Jalan Sidosermo
II/2 Surabaya itu mengikuti pelatihan untuk menjadi guru
spiritual. Setelah berhasil lulus dari pelatihan tersebut, Yonohudiyono
berupaya mendekatkan diri dengan pelayanan. Pelayanan yang dimaksud adalah
pelayanan yang dia berikan kepada masyarakat, khususnya terhadap kepentingan
spiritual.
“Cita-cita saya sudah
tercapai, anak-anak pun sudah besar. Sekarang saatnya saya menghabiskan sisa
umur ini dengan melakukan hal-hal yang berguna bagi masyarakat,” tandas kakek
dua cucu ini,” (San).
Biodata
Pribadi (Dikutip dari sosok.kompasiana.com)
Nama : E. Yonohudiyono
|
Tempat, tanggal lahir : Blitar, 10 Juni 1942
|
Alamat : Jalan Sidosermo II/2 Surabaya
|
Riwayat Pendidikan:
a) Sekolah Rakyat (SR), di desa Sumberroto Malang, 1955
b) Sekolah Guru B (SGB), di Kepanjen Malang, 1959
c) Sekolah Guru A (SGA), di Malang, 1962
d) Sarjana Muda IKIP Malang, 1971
e) Sarjana IKIP Malang, 1978
f) Akta V, Surabaya, 1984
|
Karya Tulis:
1. Buku
Pelajaran
a)
Pengajaran
Bahasa Jawa untuk Orang Asing (1981)
b)
“Candhi
Basa” Buku Pelajaran Bahasa Jawa untuk SMP, 3 Jilid (1986)
c)
Cerita Rakyat
Banyuwangi (1996)
d)
Bahasa
Indonesia untuk Perguruan Tinggi, Tim (1995, 2001)
e)
Bahasa Indonesia
Keilmuan, Tim (2007).
f)
Bahasa Kawi
Selayang Pandang (Pengantar Studi) (2008)
2. Modul
a)
Analisis
Kesalahan Berbahasa (2001)
b)
Metode
Pengajaran Bahasa (2003)
3. Penelitian
a)
Kemampuan
Siswa Kelas II SMP Negeri Se-Kota Madya Malang Menggunakan EYD
dalam Menulis (1978)
b)
Babad Demak
Pasisiran (1980)
c)
Ungkapan
Tradisional Jawa Timur (1982)
d)
Geografi
Dialek Bahasa Daerah Kabupaten Pacitan (1983)
e)
Ungkapan
Tradisional Jawa Timur yang Berkaitan dengan Sila-sila dalam Pancasila (1984)
f)
Upacara Tradisional
Kerapan Sapi (1984)
g)
Naskah Kuno”Laire
Wong Agung Menak” (1985)
h)
Bentuk Sapaan
Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur (1986)
i)
Sastra
Indonesia di Madura (1989)
j)
Bahasa yang
Digunakan di Pulau Bawean (1997)
k)
Lain-lain
4. Makalah
a)
Korespondensi
Indonesia (Bahan Penataran) (1990)
b)
Bahasa
Indonesia (Sebuah Pengantar Pemahaman Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar)
(1999)
c)
Perilaku
”-nya” dalam Bahasa Indonesia.(1998)
d)
Hubungan
Sampiran dan Isi dalam Pantun (2003)
e)
Telaah Buku
Teks Bahasa Jawa untuk SD dan SMP di Jawa Timur (1995)
f)
Lain-Lain
|
Penyunting:
a)
Media
Pendidikan (1986-2006)
b)
Jurnal
Pelangi Ilmu (2008-sekarang)
c)
Media SEP
(2008-sekarang)
d)
Lumen Dei
(2009-sekarang)
|
Penghargaan:
a)
Penghargaan
Sukwan ”Trikora” (1969),
b)
Guru teladan
(1978),
c)
Dosen teladan
(1984), dan
d)
Satya Lencana
Karya Satya (1998).
|
No comments:
Post a Comment