Background

Wednesday, March 20, 2013

FBS dan FIP Berkata tentang E-learning

Di Komputer atau di Kelas?


Pembelajaran berbasis elektronik learning atau yang biasa dikenal dengan e-learning mungkin akan menjadi inovasi baru dalam dunia pendidikan, khususnya di Universitas Negeri Surabaya. E-learning merupakan proses belajar mengajar yang menggunakan media elektronik khususnya internet sebagai sistem pembelajarannya. Lalu, apa kata mereka tentang e-learning ini?


E-learning telah menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak, khususnya dari dosen-dosen selingkung Unesa. Mereka memiliki pilihan sendiri, apakah harus memakai e-learning ataukah melangsungkan pembelajaran tatap muka seperti biasa. Julianto, M.Pd., dosen jurusan PGSD sekaligus menjabat sebagai sekretaris jurusan tersebut adalah salah satu yang memakai metode e-learning dalam pembelajarannya. Kesibukannya sebagai sekretaris jurusan memaksa ia harus memakai media perantara yang efektif. E-learning ia pakai untuk melengkapi metode mengajarnya di kelas, yaitu praktek dan penugasan.

“E-learning merupakan media yang bagus, namun perlu dipikirkan tentang BKD (Beban Kerja Dosen). Beban tersebut ditunjukkan lewat bukti fisik, yaitu seberapa sering dosen itu bertatap muka dengan mahasiswanya,” ungkap Jul, begitu sapaan akrabnya.
Julianto biasa memakai e-learning untuk kepentingan posting soal, jawaban, materi, kuis, bahkan nilai. Sebelumnya ia juga pernah memposting soal uts dan ternyata berdampak positif bagi mahasiswa. Ia mengaku tidak ada jadwal kapan harus memakai e-learning kapan harus bertatap muka. Semua tergantung pada situasi dan keadaan.
“Dengan memposting soal uts melalui e-learning, mahasiswa akan terpacu untuk mencari referensi sebanyak-banyaknya. Masalah mencontek atau tidak, itu dapat dilihat dari kepandaian mereka dalam meramu jawaban,” ujarnya.
Selain memakai e-learning, pria kelahiran Mojokerto, 19 Juni 1981 itu juga memanfaatkan blog sebagai media belajar. Blog yang beralamat di julsains.wordpress.com itu disebutnya sebagai warung kuliah sains PGSD. Itu sesuai dengan mata kuliah yang diampunya sekarang yang sebagian besar berhubungan dengan sains, yaitu Konsep Dasar IPA dan Pendidikan IPA. Dari kedua media tersebut, Jul lebih memilih memakai e-learning karena cara kerjanya otomatis.
“Blog tidak ada manajemen waktu, sementara e-learning mampu melakukannya. Artinya, tidak ada tugas yang diunggah di atas waktu yang telah ditentukan,” tambahnya.
Dosen senior tersebut mengaku tidak ingin terlalu terpaku pada e-learning. Ia tetap menjadikan tatap muka sebagai pembelajaran utama. Apalagi PR 1 belum memberi peraturan tetap untuk mendukung e-learning. Pemakaian e-learning bergantung pada masing-masing dosen. Jul juga menambahkan, tidak semua dosen atau mahasiswa mampu bere-learningan. Tedapat beberapa kendala yang menjadi penyebabnya.
Kendala pertama yaitu adanya kebijakan rektor yang menginginkan soal-soal dipublish. Ini membuat dosen-dosen berlomba untuk “mampu” memakai e-learning. Padahal bandwith di siakad belum tentu mampu menampung beban jumlah dosen, ditambah lagi beban mahasiswa pada masa-masa KRS online. Keadaan ini membuat hanya beberapa dosen saja yang memanfaatkan e-learning tersebut.
Kendala kedua adalah sarana prasarana. Subjek yang ditunjuk di sini bukanlah dosen, tapi mahasiswa Unesa secara keseluruhan. Tidak semua dari mereka adalah orang berada yang pasti memiliki laptop, modem, atau sarana penunjang lain. Untuk itu, kelemahan sekecil apapun perlu diperhatikan.
Jul tidak takut bila disebut sebagai dosen yang jarang masuk kelas karena ia mempunyai prinsip dalam mengajar. Baginya, pembelajaran yang baik itu adalah tidak monoton.
“Kuncinya terletak pada dosen itu sendiri, tidak memandang dirinya sebagai orang paling pintar. Dengan begitu, antara dosen dengan mahasiswa dapat saling mengisi sehingga tercipta suasana saling menghargai,” terang pria yang tinggal di Jalan Pahlawan 57 Sidoarjo tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan Julianto, Damajanti Kusuma Dewi, S.Psi., M.Si., dosen jurusan Psikologi Pendidikan, juga menggunakan e-learning sebagai media belajar. Ia menganggap e-learning sebagai sebuah terobosan dalam menerapkan model pembelajaran baru. Apalagi sekarang ini kemajuan teknologi sudah tidak dapat dibendung lagi sehingga mahasiswa perlu mencicipi bagian dari kemajuan itu.
“Penerapan e-learning ini adalah keinginan saya sendiri. Belajar tidak harus tatap muka saja, namun metode lain perlu dicoba. E-leaning adalah sarana yang tepat,” ujar dosen kelahiran Madiun, 27 Oktober 1970 itu.
Baginya, e-learning diperuntukkan bagi mahasiswa yang tidak paham materi. Bila aktivitas mengajarnya diganggu oleh kesibukan, perempuan berjilbab tersebut tetap berusaha untuk meluangkan waktu sejenak untuk mengunggah materi kuliah melalui e-learning. Dengan begitu, kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Dosen yang tinggal di Kalimas Baru 2 Gang Lebar, Surabaya tersebut mengaku tidak ingin main-main dalam mengunggah materi. Materi yang akan diunggah harus diperiksa, apakah layak dimasukkan ke e-learning atau tidak. Jika tidak, pembelajaran tatap muka harus dilakukan.
“E-learning hanyalah media. Yang terpenting mahasiswa dapat menyerap materi,” ungkapnya.
Dosen yang oleh mahasiswanya akrab disapa Bu Dama itu mengeluhkan jaringan internet yang tidak terlalu baik. Ini membuat penggunaan e-learning hanya bisa dibuka pada jam-jam tertentu. Terlebih lagi, dosen yang mengajar tujuh kelas tersebut pastinya membutuhkan waktu lebih lama dalam proses mengunggah sehingga biaya internet pun membludak. Kelemahan lainnya, e-learning belum menjadi satu paket dengan siakad sehingga penerapannya di lapangan cenderung hanya suka-suka belaka.
“Dana bagi saya tidak menjadi soal. Namun jika bicara masalah biaya, e-learning lebih menguras banyak dana karena bertolak belakang dengan cara mengajar saya di kelas. Di kelas, saya lebih suka memelihara budaya paperless,” pungkasnya.
Beda dosen beda pula pendapat. Ahmad Munir, M.Ed., Ph.D., dosen dari jurusan Bahasa Inggris, menyatakan bahwa ia belum menerapkan e-learning. Dosen muda tersebut menjelaskan bahwa jurusan Bahasa Inggris tidak terlalu mengutamakan e-learning dalam pembelajaran. Ditambah pula dana untuk menyelenggarakan blackbood dan moodle, sebuah aplikasi penggerak e-learning, belum cukup memadai.
“Sebenarnya jurusan bahasa Inggris sudah menerapkan e-learning dari awal, namun tidak dalam konteks Unesa. Dari dulu kami sudah menerapkan metode a-synchronized, sebuah cara belajar semacam chating karena tidak selalu real time communication. Artinya, karena kendala tertentu dosen bisa berganti dari pembelajaran langsung ke tidak langsung, atau sebaliknya,” ungkapnya. “Kami juga sudah memanfaatkan virtual classroom, dimana media elektronik menjadi bagian di dalamnya,” tambah dosen yang pernah menempuh pendidikan di Monash University, Australia tersebut.
Pernyataan Munir itu senada dengan yang diungkapkan Himawan Adi Nugroho, M.Pd., dosen bahasa Inggris yang mengampu mata kuliah listening dan speaking.
Virtual classroom memang cocok untuk pembelajaran saya di kelas, mengingat listening dan speaking adalah mata kuliah yang tidak mungkin lepas dari media. Untuk penugasannya minimal dikirimkan lewat e-mail. Jadi, konsep semacam e-learning sudah dilakukan walaupun itu tidak sesuai dengan yang saudara maksudkan,” ungkap Himawan sambil tersenyum.
Namun jika bicara tentang e-learning.unesa.ac.id, dosen muda tersebut menganggap ide e-learning sangat bagus. Manfaatnya juga dapat dirasakan oleh dosen dan mahasiswa, khususnya pengetahuan dalam bidang kemajuan teknologi. Namun tidak hanya dampak positif, e-learning juga harus dilihat dari segi negatifnya.
“Belum ada sistem yang mengatur e-learning, jadi dosen diharap tidak berlebihan dalam pemakaiannya. Perlu diingat, seorang dosen memerlukan bukti fisik saat mengajar. Dari 16 pertemuan dalam satu semester, dosen setidak-tidaknya harus memenuhi 12 kali pertemuan. Akan sangat berbahaya jika pemanfaatan e-learning dosen lebih banyak ketimbang tatap mukanya. Ia akan dikritik mahasiswa sebagai dosen yang tidak pernah mengajar,” ujarnya.
Pembelajaran yang baik menurut dosen kelahiran Rembang, 17 November 1975 tersebut adalah dengan menerapkan metode ekletik. Artinya, dosen mampu menggabungkan semua metode secara tepat untuk menyaring kelebihan dan kekurangannya. “Kita harus melihat apakah e-learning mampu mengkover itu semua,” tambah dosen yang tinggal di Babatan Indah B11 Nomor 12, Surabaya tersebut.
Berbeda dengan dosen-dosen lain, Drs. Suharmono Kasiyun, M.Pd., dosen sastra bandingan di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia secara terang-terangan mengaku bahwa ia belum pernah sekalipun memanfaatkan e-learning, entah itu e-learningnya Unesa atau hanya sekedar berkirim email dengan mahasiswa. Dosen berusia 60 tahun itu menganggap pembelajaran tatap muka lebih baik daripada belajar online.
“Saya belum pernah mengajar dengan e-learning, tapi suatu saat nanti perlu dicoba. Jika dosen berhalangan hadir, materi dapat dipersiapkan lebih matang. Namun di sisi lain, pembelajaran semacam ini tanpa ruang, jadi interaksi pun kurang,” ujar dosen yang telah menjadi wisudawan terbaik S3 tersebut (San).  

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment