Di Komputer atau di
Kelas?
Pembelajaran
berbasis elektronik learning atau yang biasa dikenal dengan e-learning mungkin
akan menjadi inovasi baru dalam dunia pendidikan, khususnya di Universitas
Negeri Surabaya. E-learning merupakan proses belajar mengajar yang menggunakan
media elektronik khususnya internet sebagai sistem pembelajarannya. Lalu, apa
kata mereka tentang e-learning ini?
E-learning telah menuai
beragam tanggapan dari berbagai pihak, khususnya dari dosen-dosen selingkung
Unesa. Mereka memiliki pilihan sendiri, apakah harus memakai e-learning ataukah
melangsungkan pembelajaran tatap muka seperti biasa. Julianto, M.Pd., dosen
jurusan PGSD sekaligus menjabat sebagai sekretaris jurusan tersebut adalah
salah satu yang memakai metode e-learning dalam pembelajarannya. Kesibukannya
sebagai sekretaris jurusan memaksa ia harus memakai media perantara yang
efektif. E-learning ia pakai untuk melengkapi metode mengajarnya di kelas,
yaitu praktek dan penugasan.
“E-learning merupakan
media yang bagus, namun perlu dipikirkan tentang BKD (Beban Kerja Dosen). Beban
tersebut ditunjukkan lewat bukti fisik, yaitu seberapa sering dosen itu
bertatap muka dengan mahasiswanya,” ungkap Jul, begitu sapaan akrabnya.
Julianto biasa memakai
e-learning untuk kepentingan posting soal, jawaban, materi, kuis, bahkan nilai.
Sebelumnya ia juga pernah memposting soal uts dan ternyata berdampak positif bagi
mahasiswa. Ia mengaku tidak ada jadwal kapan harus memakai e-learning kapan
harus bertatap muka. Semua tergantung pada situasi dan keadaan.
“Dengan memposting soal
uts melalui e-learning, mahasiswa akan terpacu untuk mencari referensi
sebanyak-banyaknya. Masalah mencontek atau tidak, itu dapat dilihat dari
kepandaian mereka dalam meramu jawaban,” ujarnya.
Selain memakai
e-learning, pria kelahiran Mojokerto, 19 Juni 1981 itu juga memanfaatkan blog
sebagai media belajar. Blog yang beralamat di julsains.wordpress.com itu
disebutnya sebagai warung kuliah sains PGSD. Itu sesuai dengan mata kuliah yang
diampunya sekarang yang sebagian besar berhubungan dengan sains, yaitu Konsep
Dasar IPA dan Pendidikan IPA. Dari kedua media tersebut, Jul lebih memilih
memakai e-learning karena cara kerjanya otomatis.
“Blog tidak ada
manajemen waktu, sementara e-learning mampu melakukannya. Artinya, tidak ada
tugas yang diunggah di atas waktu yang telah ditentukan,” tambahnya.
Dosen senior tersebut mengaku
tidak ingin terlalu terpaku pada e-learning. Ia tetap menjadikan tatap muka
sebagai pembelajaran utama. Apalagi PR 1 belum memberi peraturan tetap untuk
mendukung e-learning. Pemakaian e-learning bergantung pada masing-masing dosen.
Jul juga menambahkan, tidak semua dosen atau mahasiswa mampu bere-learningan. Tedapat beberapa
kendala yang menjadi penyebabnya.
Kendala pertama yaitu
adanya kebijakan rektor yang menginginkan soal-soal dipublish. Ini membuat dosen-dosen berlomba untuk “mampu” memakai
e-learning. Padahal bandwith di
siakad belum tentu mampu menampung beban jumlah dosen, ditambah lagi beban
mahasiswa pada masa-masa KRS online. Keadaan ini membuat hanya beberapa dosen
saja yang memanfaatkan e-learning tersebut.
Kendala kedua adalah
sarana prasarana. Subjek yang ditunjuk di sini bukanlah dosen, tapi mahasiswa
Unesa secara keseluruhan. Tidak semua dari mereka adalah orang berada yang
pasti memiliki laptop, modem, atau sarana penunjang lain. Untuk itu, kelemahan
sekecil apapun perlu diperhatikan.
Jul tidak takut bila
disebut sebagai dosen yang jarang masuk kelas karena ia mempunyai prinsip dalam
mengajar. Baginya, pembelajaran yang baik itu adalah tidak monoton.
“Kuncinya terletak pada
dosen itu sendiri, tidak memandang dirinya sebagai orang paling pintar. Dengan
begitu, antara dosen dengan mahasiswa dapat saling mengisi sehingga tercipta
suasana saling menghargai,” terang pria yang tinggal di Jalan Pahlawan 57
Sidoarjo tersebut.
Tidak jauh berbeda
dengan Julianto, Damajanti Kusuma Dewi, S.Psi., M.Si., dosen jurusan Psikologi
Pendidikan, juga menggunakan e-learning sebagai media belajar. Ia menganggap
e-learning sebagai sebuah terobosan dalam menerapkan model pembelajaran baru.
Apalagi sekarang ini kemajuan teknologi sudah tidak dapat dibendung lagi
sehingga mahasiswa perlu mencicipi bagian dari kemajuan itu.
“Penerapan e-learning
ini adalah keinginan saya sendiri. Belajar tidak harus tatap muka saja, namun
metode lain perlu dicoba. E-leaning adalah sarana yang tepat,” ujar dosen
kelahiran Madiun, 27 Oktober 1970 itu.
Baginya, e-learning
diperuntukkan bagi mahasiswa yang tidak paham materi. Bila aktivitas mengajarnya
diganggu oleh kesibukan, perempuan berjilbab tersebut tetap berusaha untuk
meluangkan waktu sejenak untuk mengunggah materi kuliah melalui e-learning.
Dengan begitu, kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.
Dosen yang tinggal di
Kalimas Baru 2 Gang Lebar, Surabaya tersebut mengaku tidak ingin main-main
dalam mengunggah materi. Materi yang akan diunggah harus diperiksa, apakah
layak dimasukkan ke e-learning atau tidak. Jika tidak, pembelajaran tatap muka
harus dilakukan.
“E-learning hanyalah
media. Yang terpenting mahasiswa dapat menyerap materi,” ungkapnya.
Dosen yang oleh
mahasiswanya akrab disapa Bu Dama itu mengeluhkan jaringan internet yang tidak
terlalu baik. Ini membuat penggunaan e-learning hanya bisa dibuka pada jam-jam
tertentu. Terlebih lagi, dosen yang mengajar tujuh kelas tersebut pastinya
membutuhkan waktu lebih lama dalam proses mengunggah sehingga biaya internet
pun membludak. Kelemahan lainnya, e-learning belum menjadi satu paket dengan
siakad sehingga penerapannya di lapangan cenderung hanya suka-suka belaka.
“Dana bagi saya tidak
menjadi soal. Namun jika bicara masalah biaya, e-learning lebih menguras banyak
dana karena bertolak belakang dengan cara mengajar saya di kelas. Di kelas,
saya lebih suka memelihara budaya paperless,”
pungkasnya.
Beda dosen beda pula
pendapat. Ahmad Munir, M.Ed., Ph.D., dosen
dari jurusan Bahasa Inggris, menyatakan bahwa ia belum menerapkan e-learning. Dosen
muda tersebut menjelaskan bahwa jurusan Bahasa Inggris tidak terlalu
mengutamakan e-learning dalam pembelajaran. Ditambah pula dana untuk
menyelenggarakan blackbood dan moodle, sebuah aplikasi penggerak
e-learning, belum cukup memadai.
“Sebenarnya jurusan
bahasa Inggris sudah menerapkan e-learning dari awal, namun tidak dalam konteks
Unesa. Dari dulu kami sudah menerapkan metode a-synchronized, sebuah cara belajar semacam
chating karena tidak selalu real time communication. Artinya, karena
kendala tertentu dosen bisa berganti dari pembelajaran langsung ke tidak
langsung, atau sebaliknya,” ungkapnya. “Kami juga sudah memanfaatkan virtual classroom, dimana media
elektronik menjadi bagian di dalamnya,” tambah dosen yang pernah menempuh
pendidikan di Monash University, Australia tersebut.
Pernyataan Munir itu
senada dengan yang diungkapkan Himawan Adi Nugroho, M.Pd., dosen bahasa Inggris
yang mengampu mata kuliah listening
dan speaking.
“Virtual classroom memang cocok untuk pembelajaran saya di kelas,
mengingat listening dan speaking adalah mata kuliah yang tidak
mungkin lepas dari media. Untuk penugasannya minimal dikirimkan lewat e-mail. Jadi,
konsep semacam e-learning sudah dilakukan walaupun itu tidak sesuai dengan yang
saudara maksudkan,” ungkap Himawan sambil tersenyum.
Namun jika bicara
tentang e-learning.unesa.ac.id, dosen muda tersebut menganggap ide e-learning
sangat bagus. Manfaatnya juga dapat dirasakan oleh dosen dan mahasiswa,
khususnya pengetahuan dalam bidang kemajuan teknologi. Namun tidak hanya dampak
positif, e-learning juga harus dilihat dari segi negatifnya.
“Belum ada sistem yang
mengatur e-learning, jadi dosen diharap tidak berlebihan dalam pemakaiannya.
Perlu diingat, seorang dosen memerlukan bukti fisik saat mengajar. Dari 16
pertemuan dalam satu semester, dosen setidak-tidaknya harus memenuhi 12 kali
pertemuan. Akan sangat berbahaya jika pemanfaatan e-learning dosen lebih banyak
ketimbang tatap mukanya. Ia akan dikritik mahasiswa sebagai dosen yang tidak
pernah mengajar,” ujarnya.
Pembelajaran yang baik
menurut dosen kelahiran Rembang, 17 November 1975 tersebut adalah dengan
menerapkan metode ekletik. Artinya, dosen mampu menggabungkan semua metode
secara tepat untuk menyaring kelebihan dan kekurangannya. “Kita harus melihat
apakah e-learning mampu mengkover itu semua,” tambah dosen yang tinggal di
Babatan Indah B11 Nomor 12, Surabaya tersebut.
Berbeda dengan
dosen-dosen lain, Drs. Suharmono Kasiyun, M.Pd., dosen sastra bandingan di
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia secara terang-terangan mengaku bahwa ia
belum pernah sekalipun memanfaatkan e-learning, entah itu e-learningnya Unesa
atau hanya sekedar berkirim email dengan mahasiswa. Dosen berusia 60 tahun itu
menganggap pembelajaran tatap muka lebih baik daripada belajar online.
“Saya belum pernah
mengajar dengan e-learning, tapi suatu saat nanti perlu dicoba. Jika dosen
berhalangan hadir, materi dapat dipersiapkan lebih matang. Namun di sisi lain,
pembelajaran semacam ini tanpa ruang, jadi interaksi pun kurang,” ujar dosen
yang telah menjadi wisudawan terbaik S3 tersebut (San).
No comments:
Post a Comment