Saya Pernah Diusir Satpam
*Fauziah Arsanti
Sosok
perempuan ini tentu tidak asing lagi di kalangan civitas akademika Unesa Lidah Wetan. Bagaimana tidak, ia akan dengan mudah
kita temui di saat pagi baru menjelang sampai siang telah meradang. Atau jika
dagangannya belum laku, ia akan tetap bertahan sampai senja temaram. Pernahkah
terbersit rasa empati jika Anda berjumpa dengannya? Saya berharap iya. Berikut
sepenggal obrolan saya dengan perempuan yang telah dua tahun menapaki
lorong-lorong Unesa ini.
POTRET: Karti saat ditemui di
depan Gedung T4 FBS, Selasa (26/6).
“Gorengan
empat berapa, Bu?” tanya seorang mahasiswi sambil menghitung gorengan yang
dibelinya.
“Dua ribu saja, Nak. Mahasiswa saya kasih murah,” jawab
penjualnya sambil tersenyum.
Tidak berapa lama setelah mahasiswi itu berlalu, muncul
ibu-ibu berpakaian rapi. Bergaya bak detektif, ia berjongkok sambil menatap
jajanan Bu Karti yang saat itu digelarnya di depan gedung T4 Fakultas Bahasa
dan Seni. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari sesuatu.
Merasa yang dicarinya tidak ada, ia pun lantas pergi begitu saja tanpa mengucap
sepatah kata pun.
Ya, perempuan itu bernama Karti. Ibu yang berumur 68
tahun itu mengaku sudah biasa menemui pembeli dengan berbagai keunikan
pribadinya. Karti sadar, dengan umur yang sudah renta ini ia hanya mampu
menjajakan camilan yang tentu rasanya sudah banyak tandingannya. Lengkap pun
juga tidak ia jamin, karena dengan tenaga yang tidak sekuat dulu lagi, ia
sekarang hanya mampu membawa sedikit dagangan. Rumahnya yang terletak jauh di
Perumahan Omah Endah Gresik sudah cukup membuatnya tertatih setiap hari. Tak
ada guna menyerah, karena jika terlena sedikit saja, ia dan anak-anaknya harus
sudi menahan lapar esok hari. Namun Karti masih bersyukur, di liburan semester
genap yang panjang ini Unesa tidak pernah sepi. Ada saja agenda yang
dilangsungkan, seperti saat berita ini diperoleh PLPG gelombang III sedang
bergulir.
Di saat orang lain masih terlelap, Karti dengan dibantu
anak sulungnya telah terjaga dari tidur. Mereka menyiapkan segala macam jajanan
yang akan dibawa untuk berdagang. Untuk jajanan tertentu seperti gorengan,
roti, nasi bungkus, kerupuk, dan bothok,
Karti tidak membuatnya sendiri. Ia membeli dari warung tetangga untuk dijual
kembali.
“Saya nggak
kuat kalau disuruh membuat makanan sebanyak ini, Nak. Lagipula tidak ada modal
juga. Yang bisa saya buat hanya peyek
dan tahu goreng ini,” begitu tuturnya sambil menunjuk tumpukan peyek dan tahu goreng hasil buatannya
bersama sang anak.
SETIA:
Beginilah Karti setiap hari, sosoknya yang tidak mudah menyerah memang patut
dijadikan teladan.
Dagangan Karti memang tidak sama setiap harinya. Jika
hari ini laku banyak, tentu besok ia dapat memborong jajanan yang lebih enak.
Namun jika tidak, cukup untuk makan nanti malam saja ia sudah bersyukur. Untuk
membawanya ke kampus, jajanan tersebut ia masukkan ke dalam kotak dan
dijinjingnya dengan sebuah tas besar. Bersama sang anak, ia kadang juga membawa
satu kardus air mineral dalam gelas. Jangan ditanya seberapa beratnya, karena bagi
Karti semua itu tidak ada apa-apanya dibanding mendapatkan setetes rezeki.
Dengan berbekal uang secukupnya, ia berangkat ke kampus
tanpa ditemani sang anak. Selama ini, angkotlah yang selalu setia
mengantarkannya pulang dan pergi. Sepuluh ribu rupiah harus ada di kantong,
karena sekali perjalanan Karti harus membayar setengahnya sebagai tanda terima
kasih. Perjalanan Karti tidak berhenti sampai di situ. Lokasi kampus yang
terletak 1 km dari jalan raya mengharuskan Karti untuk memakai jasa ojek yang
tersedia di mulut gang. Empat ribu rupiah sudah cukup membawa Karti bolak-balik
kampus jalan raya, karena tidak mungkin baginya untuk berjalan jauh sambil
menenteng tas dan kardus gelas mineral.
Ada alasan tersendiri mengapa Karti menjadikan Unesa
sebagai tempat bersinggahnya. Ternyata sebelum ini Karti sudah terlebih dahulu menjajakan
dagangannya ke beberapa sekolah di dekat tempat tinggalnya. Namun begitu miris,
ia ditolak. Tak ada satupun sekolah yang mengizinkan Karti untuk berdagang
secara menetap di wilayahnya. Entah karena peraturan ataukah mereka anti
kemanusiaan, yang jelas bukan Karti jika menyerah pada keadaan.
Tuhan pun akhirnya menuntun Karti ke Unesa Lidah Wetan.
Dengan modal nekat, Karti memberanikan diri untuk mencoba berdagang di area
sekitar kampus. Langkah pertama yang dilakukan Karti adalah menitipkan
dagangannya ke warung-warung makan yang berhamburan di sekitar kampus. Setiap
hari satu persatu warung ia coba peruntungannya. Namun saat ia kembali untuk
mengambil bagiannya, bukan uang yang sering ia dapatkan, namun makanan yang
telah basi. Belum lagi jika ada warung yang menolak untuk dititipi. Kondisi ini
sempat membuat Karti bingung, kemana lagi ia harus mencari sumber rezeki yang
menjanjikan.
Namun sesungguhnya Tuhan tidak diam. Ia mempunyai cara
tersendiri dalam menolong hambanya yang mau berusaha dalam kesulitan. Dengan
kembali nekat, Karti pun mencoba menjajakan dagangannya ke kampus FBS. Sehari
dua hari, Karti tidak menemui masalah. Bahkan ia senang karena mahasiswa FBS
cukup antusias membeli jajanan yang ia jual dengan harga cukup murah itu. Namun
setelah sekian hari berlalu, ketakutan Karti benar-benar terjadi.
“Saya tak begitu saja bisa berdagang di Unesa, Nak. Itu lho, satpam yang X itu pernah mengusir
saya, katanya saya tidak boleh lagi jualan di sini,” ungkap Karti sembari
mengingat kemalangannya dulu. Lalu saat ditanya apa yang membuatnya bisa
bertahan di sini, Karti menjawab dengan penuh haru.
“Dosen di sini baik-baik, Nak. Satpam X itu memang telah
mengusir saya, tapi ada dosen yang mengizinkan saya untuk berjualan di sini.
Coba Mbak lihat, apakah ada pedagang lain yang berjualan di sini? Memang sering
ada penjual kerupuk yang mondar-mandir, tapi dia hanya numpang lewat, karena
cuma saya yang diperbolehkan berdagang secara menetap di dalam kampus. Tuhan memang
Maha Pengasih dan Penyayang, memberikan pertolongan lewat tangan dosen-dosen
itu,” imbuh Karti dengan mata berbinar.
Ya, berkat pertolongan dosen lah Karti bisa bertahan
sampai sekarang. Selama dua tahun ini, Karti tidak hanya menjajakan dagangannya
di FBS saja, namun sudah pernah menjajaki FIP dan FIK. Menurutnya, mahasiswa
Unesa baik-baik. Ia senang jika ada mahasiswa yang mengajaknya ngobrol sebagai
teman pengusir sepi. Pernah suatu ketika saat dagangannya benar-benar tidak
laku, sekelompok mahasiswa dengan senang hati mau menjualkannya. Waktu itu di
auditorium FBS sedang diadakan seminar besar-besaran. Nah, di situlah mereka
beramai-ramai menjajakan dagangan Karti layaknya seorang SPG berpengalaman.
Alhasil, dagangan Karti pun habis terjual.
Kebaikan tidak hanya datang dari mahasiswa. Setahun lalu,
Karti pernah ditemui seorang perempuan yang mengaku sebagai dosen dari jurusan
Bahasa Inggris. Sampai sekarang pun, Karti masih belum tahu siapa namanya.
“Saya tidak akan lupa atas kebaikan bu dosen itu, Nak.
Tahun lalu saya diberi sebuah amplop, yang setelah saya buka ternyata isinya
uang seratus ribu. Alhamdulillah, bisa untuk memperbaiki rumah,” ujar Karti dengan
rona bahagia.
Rumah Karti memang sudah rusak. Gentengnya bocor dan
dindingnya banyak yang ambrol. Sudah lama Karti berniat untuk memperbaikinya,
namun keinginan itu tertunda karena masalah biaya. Rumah yang berada di
kompleks perumahan Omah Endah Gresik itu dibeli 32 tahun silam, tak lama
setelah suaminya meninggal dunia. Suami Karti yang telah memberinya enam anak
tersebut meninggal karena serangan jantung.
“Dulu suami saya adalah pemborong yang sukses, Nak. Kami
sekeluarga hidup berkecukupan. Namun takdir berkata lain, Bapak tiba-tiba pergi
meninggalkan saya dan anak-anak,” ungkap Karti lirih sembari mengingat kenangan
masa lalunya yang pahit.
Setelah kepergian suaminya, Karti pun tidak luput dari masalah ekonomi.
Rumah peninggalan almarhum suami pun akhirnya dijual untuk menutupi kekurangan.
Bertujuh, mereka pindah ke perumahan Omah Endah Gresik setelah membeli sebuah
rumah yang harganya murah. Sekarang rumah itu hanya ditempati Karti, si sulung,
dan kedua kakaknya. Sementara dengan ketiga anaknya yang lain, Karti mengaku
tidak tahu dimana dan bagaimana keadaannya.
“Anak saya yang paling bungsu sampai nomor tiga sudah lama berkeluarga,
Nak. Mereka pindah ke rumah mertua masing-masing. Di tahun-tahun awal mereka
masih sering menengok kami, namun sekarang sudah hampir sepuluh tahun lebih
mereka tidak pernah kembali,” ujar Karti sedih. Ya, ibu mana yang tidak berduka
melihat anak yang diasuhnya dari kecil tiba-tiba melupakan jasanya begitu saja.
Menanggapi hal ini, Karti hanya bisa sabar. “Biarlah, Nak. Walaupun mereka
tidak lagi kembali, tapi saya tak akan berhenti mendoakan mereka agar tetap
baik-baik saja,” tambah Karti pilu.
Sehari-hari, Karti hanya ditemani si sulung. Anaknya tersebut ia suruh
untuk menjaga dan mengurus rumah sampai ia kembali dari berdagang. Kedua
kakaknya yang bekerja tidak tetap membuat mereka kadang di rumah kadang tidak.
Kini kakak perempuannya tengah bekerja sebagai sales kosmetik, sementara yang
laki-laki bekerja sebagai buruh bangunan. Karti berharap semoga kedua anaknya
tersebut dapat segera memperoleh pekerjaan yang mapan.
Saat ditanya sampai kapan ia akan berjualan, Karti hanya menjawab singkat,
sampai raga masih mampu menopang tubuh. Luka lama atas meninggalnya sang suami
tercinta telah membuat Karti bertekat untuk terus menjaga hidup sehat. Tidak
hanya sehat jasmani, namun juga sehat secara rohani. Tahu kemana harus meminta,
dan tahu kapan harus bersyukur. Bagi Karti, hidup tak ubahnya tentang suka dan
duka yang datang silih berganti. Jika kita menyerah, hidup akan semakin senang menertawakan
kita.
*Fauziah Arsanti,
Mahasiswa
semester empat
di jurusan
Pendidikan Bahasa
dan Sastra
Indonesia,
Universitas
Negeri Surabaya.
e-mail: salam.vauziya@gmail.com.
No comments:
Post a Comment