Background

Wednesday, July 25, 2012

Pengaduan Janda Enam Anak yang Mengais Rezeki dari Mahasiswa

Saya Pernah Diusir Satpam

*Fauziah Arsanti

Sosok perempuan ini tentu tidak asing lagi di kalangan civitas akademika Unesa Lidah Wetan. Bagaimana tidak, ia akan dengan mudah kita temui di saat pagi baru menjelang sampai siang telah meradang. Atau jika dagangannya belum laku, ia akan tetap bertahan sampai senja temaram. Pernahkah terbersit rasa empati jika Anda berjumpa dengannya? Saya berharap iya. Berikut sepenggal obrolan saya dengan perempuan yang telah dua tahun menapaki lorong-lorong Unesa ini.

POTRET: Karti saat ditemui di depan Gedung T4 FBS, Selasa (26/6).


“Gorengan empat berapa, Bu?” tanya seorang mahasiswi sambil menghitung gorengan yang dibelinya.
“Dua ribu saja, Nak. Mahasiswa saya kasih murah,” jawab penjualnya sambil tersenyum.
Tidak berapa lama setelah mahasiswi itu berlalu, muncul ibu-ibu berpakaian rapi. Bergaya bak detektif, ia berjongkok sambil menatap jajanan Bu Karti yang saat itu digelarnya di depan gedung T4 Fakultas Bahasa dan Seni. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan seperti sedang mencari sesuatu. Merasa yang dicarinya tidak ada, ia pun lantas pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun.
Ya, perempuan itu bernama Karti. Ibu yang berumur 68 tahun itu mengaku sudah biasa menemui pembeli dengan berbagai keunikan pribadinya. Karti sadar, dengan umur yang sudah renta ini ia hanya mampu menjajakan camilan yang tentu rasanya sudah banyak tandingannya. Lengkap pun juga tidak ia jamin, karena dengan tenaga yang tidak sekuat dulu lagi, ia sekarang hanya mampu membawa sedikit dagangan. Rumahnya yang terletak jauh di Perumahan Omah Endah Gresik sudah cukup membuatnya tertatih setiap hari. Tak ada guna menyerah, karena jika terlena sedikit saja, ia dan anak-anaknya harus sudi menahan lapar esok hari. Namun Karti masih bersyukur, di liburan semester genap yang panjang ini Unesa tidak pernah sepi. Ada saja agenda yang dilangsungkan, seperti saat berita ini diperoleh PLPG gelombang III sedang bergulir.
Di saat orang lain masih terlelap, Karti dengan dibantu anak sulungnya telah terjaga dari tidur. Mereka menyiapkan segala macam jajanan yang akan dibawa untuk berdagang. Untuk jajanan tertentu seperti gorengan, roti, nasi bungkus, kerupuk, dan bothok, Karti tidak membuatnya sendiri. Ia membeli dari warung tetangga untuk dijual kembali.
“Saya nggak kuat kalau disuruh membuat makanan sebanyak ini, Nak. Lagipula tidak ada modal juga. Yang bisa saya buat hanya peyek dan tahu goreng ini,” begitu tuturnya sambil menunjuk tumpukan peyek dan tahu goreng hasil buatannya bersama sang anak.

SETIA: Beginilah Karti setiap hari, sosoknya yang tidak mudah menyerah memang patut dijadikan teladan.


Dagangan Karti memang tidak sama setiap harinya. Jika hari ini laku banyak, tentu besok ia dapat memborong jajanan yang lebih enak. Namun jika tidak, cukup untuk makan nanti malam saja ia sudah bersyukur. Untuk membawanya ke kampus, jajanan tersebut ia masukkan ke dalam kotak dan dijinjingnya dengan sebuah tas besar. Bersama sang anak, ia kadang juga membawa satu kardus air mineral dalam gelas. Jangan ditanya seberapa beratnya, karena bagi Karti semua itu tidak ada apa-apanya dibanding mendapatkan setetes rezeki.
Dengan berbekal uang secukupnya, ia berangkat ke kampus tanpa ditemani sang anak. Selama ini, angkotlah yang selalu setia mengantarkannya pulang dan pergi. Sepuluh ribu rupiah harus ada di kantong, karena sekali perjalanan Karti harus membayar setengahnya sebagai tanda terima kasih. Perjalanan Karti tidak berhenti sampai di situ. Lokasi kampus yang terletak 1 km dari jalan raya mengharuskan Karti untuk memakai jasa ojek yang tersedia di mulut gang. Empat ribu rupiah sudah cukup membawa Karti bolak-balik kampus jalan raya, karena tidak mungkin baginya untuk berjalan jauh sambil menenteng tas dan kardus gelas mineral.
Ada alasan tersendiri mengapa Karti menjadikan Unesa sebagai tempat bersinggahnya. Ternyata sebelum ini Karti sudah terlebih dahulu menjajakan dagangannya ke beberapa sekolah di dekat tempat tinggalnya. Namun begitu miris, ia ditolak. Tak ada satupun sekolah yang mengizinkan Karti untuk berdagang secara menetap di wilayahnya. Entah karena peraturan ataukah mereka anti kemanusiaan, yang jelas bukan Karti jika menyerah pada keadaan.
Tuhan pun akhirnya menuntun Karti ke Unesa Lidah Wetan. Dengan modal nekat, Karti memberanikan diri untuk mencoba berdagang di area sekitar kampus. Langkah pertama yang dilakukan Karti adalah menitipkan dagangannya ke warung-warung makan yang berhamburan di sekitar kampus. Setiap hari satu persatu warung ia coba peruntungannya. Namun saat ia kembali untuk mengambil bagiannya, bukan uang yang sering ia dapatkan, namun makanan yang telah basi. Belum lagi jika ada warung yang menolak untuk dititipi. Kondisi ini sempat membuat Karti bingung, kemana lagi ia harus mencari sumber rezeki yang menjanjikan.
Namun sesungguhnya Tuhan tidak diam. Ia mempunyai cara tersendiri dalam menolong hambanya yang mau berusaha dalam kesulitan. Dengan kembali nekat, Karti pun mencoba menjajakan dagangannya ke kampus FBS. Sehari dua hari, Karti tidak menemui masalah. Bahkan ia senang karena mahasiswa FBS cukup antusias membeli jajanan yang ia jual dengan harga cukup murah itu. Namun setelah sekian hari berlalu, ketakutan Karti benar-benar terjadi.
“Saya tak begitu saja bisa berdagang di Unesa, Nak. Itu lho, satpam yang X itu pernah mengusir saya, katanya saya tidak boleh lagi jualan di sini,” ungkap Karti sembari mengingat kemalangannya dulu. Lalu saat ditanya apa yang membuatnya bisa bertahan di sini, Karti menjawab dengan penuh haru.
“Dosen di sini baik-baik, Nak. Satpam X itu memang telah mengusir saya, tapi ada dosen yang mengizinkan saya untuk berjualan di sini. Coba Mbak lihat, apakah ada pedagang lain yang berjualan di sini? Memang sering ada penjual kerupuk yang mondar-mandir, tapi dia hanya numpang lewat, karena cuma saya yang diperbolehkan berdagang secara menetap di dalam kampus. Tuhan memang Maha Pengasih dan Penyayang, memberikan pertolongan lewat tangan dosen-dosen itu,” imbuh Karti dengan mata berbinar.
Ya, berkat pertolongan dosen lah Karti bisa bertahan sampai sekarang. Selama dua tahun ini, Karti tidak hanya menjajakan dagangannya di FBS saja, namun sudah pernah menjajaki FIP dan FIK. Menurutnya, mahasiswa Unesa baik-baik. Ia senang jika ada mahasiswa yang mengajaknya ngobrol sebagai teman pengusir sepi. Pernah suatu ketika saat dagangannya benar-benar tidak laku, sekelompok mahasiswa dengan senang hati mau menjualkannya. Waktu itu di auditorium FBS sedang diadakan seminar besar-besaran. Nah, di situlah mereka beramai-ramai menjajakan dagangan Karti layaknya seorang SPG berpengalaman. Alhasil, dagangan Karti pun habis terjual.
Kebaikan tidak hanya datang dari mahasiswa. Setahun lalu, Karti pernah ditemui seorang perempuan yang mengaku sebagai dosen dari jurusan Bahasa Inggris. Sampai sekarang pun, Karti masih belum tahu siapa namanya.
“Saya tidak akan lupa atas kebaikan bu dosen itu, Nak. Tahun lalu saya diberi sebuah amplop, yang setelah saya buka ternyata isinya uang seratus ribu. Alhamdulillah, bisa untuk memperbaiki rumah,” ujar Karti dengan rona bahagia.
Rumah Karti memang sudah rusak. Gentengnya bocor dan dindingnya banyak yang ambrol. Sudah lama Karti berniat untuk memperbaikinya, namun keinginan itu tertunda karena masalah biaya. Rumah yang berada di kompleks perumahan Omah Endah Gresik itu dibeli 32 tahun silam, tak lama setelah suaminya meninggal dunia. Suami Karti yang telah memberinya enam anak tersebut meninggal karena serangan jantung.
“Dulu suami saya adalah pemborong yang sukses, Nak. Kami sekeluarga hidup berkecukupan. Namun takdir berkata lain, Bapak tiba-tiba pergi meninggalkan saya dan anak-anak,” ungkap Karti lirih sembari mengingat kenangan masa lalunya yang pahit.
Setelah kepergian suaminya, Karti pun tidak luput dari masalah ekonomi. Rumah peninggalan almarhum suami pun akhirnya dijual untuk menutupi kekurangan. Bertujuh, mereka pindah ke perumahan Omah Endah Gresik setelah membeli sebuah rumah yang harganya murah. Sekarang rumah itu hanya ditempati Karti, si sulung, dan kedua kakaknya. Sementara dengan ketiga anaknya yang lain, Karti mengaku tidak tahu dimana dan bagaimana keadaannya.
“Anak saya yang paling bungsu sampai nomor tiga sudah lama berkeluarga, Nak. Mereka pindah ke rumah mertua masing-masing. Di tahun-tahun awal mereka masih sering menengok kami, namun sekarang sudah hampir sepuluh tahun lebih mereka tidak pernah kembali,” ujar Karti sedih. Ya, ibu mana yang tidak berduka melihat anak yang diasuhnya dari kecil tiba-tiba melupakan jasanya begitu saja. Menanggapi hal ini, Karti hanya bisa sabar. “Biarlah, Nak. Walaupun mereka tidak lagi kembali, tapi saya tak akan berhenti mendoakan mereka agar tetap baik-baik saja,” tambah Karti pilu.
Sehari-hari, Karti hanya ditemani si sulung. Anaknya tersebut ia suruh untuk menjaga dan mengurus rumah sampai ia kembali dari berdagang. Kedua kakaknya yang bekerja tidak tetap membuat mereka kadang di rumah kadang tidak. Kini kakak perempuannya tengah bekerja sebagai sales kosmetik, sementara yang laki-laki bekerja sebagai buruh bangunan. Karti berharap semoga kedua anaknya tersebut dapat segera memperoleh pekerjaan yang mapan.
Saat ditanya sampai kapan ia akan berjualan, Karti hanya menjawab singkat, sampai raga masih mampu menopang tubuh. Luka lama atas meninggalnya sang suami tercinta telah membuat Karti bertekat untuk terus menjaga hidup sehat. Tidak hanya sehat jasmani, namun juga sehat secara rohani. Tahu kemana harus meminta, dan tahu kapan harus bersyukur. Bagi Karti, hidup tak ubahnya tentang suka dan duka yang datang silih berganti. Jika kita menyerah, hidup akan semakin senang menertawakan kita.

*Fauziah Arsanti,
Mahasiswa semester empat
di jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya.
e-mail: salam.vauziya@gmail.com.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment