Background

Thursday, July 19, 2012

Cerita di Balik Kesuksesan Mantan Rektor

Tak Gentar Bertugas
di Tengah Konflik Ambon

Oleh: Fauziah Arsanti*

Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Mungkin pepatah ini cocok ditujukan kepada Soerono Martorahardjo, rektor Universitas Negeri Surabaya periode 1988-1997. Jalan yang ditempuhnya untuk menjadi orang besar tidaklah mudah. Setelah melewati masa-masa sekolah yang penuh aral, kini pensiunan pegawai itu telah menikmati buah kerja kerasnya.

 CATATANPenulis bersama Bapak Soerono Martorahardjo saat ditemui di rumahnya, Selasa (17/07).


Suasana yang akrab langsung terasa saat tim majalah Unesa memasuki halaman sebuah rumah di jajaran komplek purnawiyata Kampus Unesa Ketintang. Sambutan yang hangat mengantarkan kami menuju sofa yang berderet di muka rumah. Si empunya rumah tak henti-hentinya menyapa kami dengan senyumnya yang menyejukkan hati. Ia adalah Drs. Soerono Martorahardjo, mantan rektor dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sukses memimpin Unesa selama dua periode.

Tidak berapa lama, pertemuan siang itu langsung mengarah pada perbincangan yang seru. Bapak Soerono bercerita tentang perjalanan hidupnya semasa muda sampai ia diangkat menjadi rektor Universitas Negeri Surabaya selama dua periode, mulai dari tahun 1988 sampai 1997. Pria yang lahir pada tanggal 01 April 1934 ini mengawali pendidikan dasar di kota kelahirannya, Brebes. Walaupun lahir di Brebes, namun ia besar di Semarang. Di kota tua ini jugalah ia melanjutkan pendidikan menengahnya yang kemudan disusul dengan program B1 selama dua tahun. Program B1 adalah sebuah kursus pendidikan yang diperuntukkan bagi guru SMA. Setelah lulus pada tahun 1957, ia ditugaskan mengajar di Ambon yang pada waktu itu sedang mengalami konflik besar-besaran. Rasa ngeri sempat dirasakan, namun ikatan dinas ini memaksa Bapak Soerono menaati perintah untuk ditempatkan dimana saja.

Akhirnya puncak konflik tak terelakkan lagi. Ambon mendapat serangan bom sehingga mengharuskan Bapak Soerono pindah tugas ke Jambi. Namun sebagai hikmahnya, Kota Jambi telah mempertemukan bapak empat anak ini dengan sang istri tercinta.

Keinginan untuk terus belajar tidak berhenti sampai di situ. S1 pun ditempuhnya di IKIP Malang dengan hasil yang tidak mengecewakan. Setelah lulus, pria yang sekarang berumur 78 tahun itu lalu bertolak ke IKIP Surabaya sampai diangkat menjadi dosen di jurusan Bahasa Indonesia. Saat itu tahun 1965, Unesa memang masih bernama IKIP. SMA dan perguruan tinggi pun masih memiliki departemen yang berbeda. Jika ingin pindah departemen, maka orang tersebut harus melalui Departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan). Jadi, dipilihnya Unesa bukan tanpa alasan.

Walaupun usia sudah berangsur senja, namun semangat Bapak Soerono dalam bercerita masih menggebu-gebu. Baginya, hidup adalah sebuah usaha. Apa yang dipercayakan dikerjakan sebaik-baiknya dengan penuh tanggungjawab agar lebih memiliki makna. Kutipan ini ia jadikan motto hidup yang akan selalu menemani perjalanannya sampai akhir. Selama mengabdi sebagai dosen, kerja bersama selalu ia upayakan dengan rekan-rekan di jurusan ataupun selingkung IKIP. Ia percaya, dengan mengadakan kegiatan yang bersinggungan dengan orang banyak maka kita akan terlatih untuk menghargai diri sendiri dan orang lain.

Dengan falsafah hidupnya itulah, maka tak heran jika rekan-rekan di jurusan Bahasa Indonesia menaruh simpati padanya. Setelah sekian lama mengajar sebagai dosen, Bapak Soerono pun naik pangkat menjadi Pembantu Dekan 1 FBS. Tak hanya itu, kekaguman rekan-rekan fakultas atas cara kerjanya mengantarkan Bapak Soerono menjadi Dekan FBS dua periode berturut-turut mulai tahun 1978 sampai 1982. Posisi tinggi ini membuat namanya semakin dikenal oleh civitas akademika di dalam maupun di luar IKIP. Tak ayal lagi, posisi Ketua PPSP Jatim (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) berhasil ia sabet pada tahun 1983. 

Puncak karir Bapak Soerono terjadi pada tahun 1984 saat ia dipanggil ke dunia kerektoran. Sebagai langkah awal, ia dipercaya menjadi Pembantu Rektor 1 bidang akademik mendampingi Dr. Budi Darma, MA. yang pada waktu itu menjabat sebagai rektor. Tentu ini bukanlah awal yang mengecewakan, mengingat perjalanan hidup Bapak Soerono dari nol tidaklah mulus. Alhasil, buah kerja kerasnya terjawab saat Budi Darma enggan memantapkan posisinya menuju periode dua. Rektor yang juga sastrawan terkenal itu memberikan kepercayaan penuh kepada Bapak Soerono untuk menggantikan posisinya sebagai rektor.

“Waktu itu saya sempat terkejut saat dipercaya menggantikan Bapak Budi Darma. Tentu saja saya menolak, namun teman-teman tak henti-hentinya mendorong saya untuk melanjutkan misi bapak rektor. Ada semacam kekuatan dari teman-teman yang mendorong saya menerima tugas baru ini. Sungguh, ini semua sudah diatur oleh Alloh,” ucap Bapak Soerono saat menyikapi tugas barunya saat itu.

Bapak Soerono memang seorang pemimpin yang patut diacungi jempol. Setelah periode pertama berakhir, rektor yang juga pendiri jurusan Bahasa Indonesia ini tidak lantas turun jabatan. Tidak disangka, nilainya di senat masih lebih tinggi dari guru-guru besar yang akan maju untuk rektor. Dengan prestasi gemilang ini, Bapak Soerono kembali dipercaya untuk memegang kendali Unesa pada periode selanjutnya. Lagipula, pemimpin yang supel ini masih betah memimpin karena keakraban yang sudah terjalin dengan rekan-rekan IKIP sehingga dapat menumbuhkan sikap saling membantu. “Saya tidak mencari uang, tapi saya ingin menciptakan keakraban,” begitu tegasnya di sela-sela obrolan. Saat ditanya tentang prestasi yang sudah ia torehkan untuk Unesa, Pak Soerono enggan menjawab. “Biarlah orang lain yang menilai,” tambahnya.

Saat IKIP Surabaya diubah namanya menjadi Unesa, jujur Bapak Soerono kaget dan jengkel. Tentu ini membuat IKIP menjadi tersingkir, ditambah pula dengan anggaran yang masih dipegang pihak universitas. Meskipun demikian, IKIP masih bisa berbangga hati karena ternyata identitas IKIP yang berjalan di dunia pendidikan tidak diubah. Melihat kenyataan ini, universitas pun menjadi “iri” sehingga dihasilkanlah dua produk, murni dan pendidikan. Dengan tidak ada yang dianaktirikan, sampai sekarang dua produk ini sama-sama diupayakan kemajuannya oleh Universitas Negeri Surabaya.

Sambil terus bercerita, Bapak Soerono memberikan komentarnya terhadap perkembangan Unesa sekarang. Waktu ia memimpin dulu, IKIP masih dipandang sebelah mata. Ini dapat dibuktikan dari jumlah peminat yang belum mencapai sepuluh ribu. Namun sekarang peminatnya berlipat ganda sampai mencapai dua puluh lima ribu pendaftar. Tidak heran jika Unesa meraih peringkat kedua pendaftar terbanyak se-Jawa Timur setelah Universitas Brawijaya. Zaman memang sudah berubah, namun pasti ada upaya untuk membuat Unesa jauh lebih baik, tanggapnya.

Dengan membludaknya peminat Unesa sekarang, Bapak Soerono mengaku bangga walaupun ini sebenarnya akan membuat kita menjauhi produk-produk kedaerahan. Calon-calon mahasiswa secara serempak mencari universitas yang dianggap unggul sampai mereka keluar dari daerah asal. Menurut Bapak Soerono, sekolah dimana pun sebenarnya sama, yang terpenting adalah kualitas orangnya. Hal kecil ini dapat menjadi benih ketidakbanggaan terhadap produk-produk Indonesia. Mengapa harus marah jika negara lain tiba-tiba mengklaim batik, reog, angklung, tari pendet, lagu sayang-sayange, dan sejumlah warisan leluhur lain. Seharusnya kita berterima kasih, karena berkat mereka kita menjadi sadar betapa cerobohnya kita sebagai bangsa Indonesia.
Berbicara tentang mencintai produk Indonesia, bapak berkacamata ini menjadi teringat akan masa lalunya saat merintis Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bersama rekan-rekan seperjuangan: Yoharni Harjono, Gatot Susilo Sumowijoyo, Murdiman Haksa Pratista, dan Moh. Hatib. Anak didik yang dibimbingnya pun sudah banyak yang menjadi guru besar. Mereka adalah Bambang Yulianto, Syamsul Sodiq, Suyatno, Mintowati, Moh. Najid, dan Jack Parmin. Syamsul Sodiq sekarang menjabat Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia menggantikan Suyatno yang sekarang menjadi Kepala Humas Unesa. Nama-nama lainnya telah menjadi dosen hebat di jurusan Bahasa Indonesia, termasuk Bambang Yulianto yang saat ini mengetuai Lembaga Penelitian. Mantan rektor yang juga berpartisipasi dalam membuka jurusan Bahasa Jepang, Bahasa Jawa, dan seni tari itu menyamakan dirinya dengan pepatah dari tanah Melayu, tak ada rotan akarpun jadi. “Saya hanyalah akar, biarlah sekarang tumbuh rotan.” Tuturnya dengan bangga.

Pembukaan jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia pada saat itu dilatarbelakangi atas rasa cinta Bapak Soerono dan kawan-kawan terhadap bahasa ibu kita, Bahasa Indonesia. Namun sekarang ini Bahasa Indonesia malah terkesan semakin terpinggirkan, dibuktikan dengan banyaknya produk-produk dalam negeri yang gemar beriklan memakai bahasa asing. Pemerintah memang terkesan diam dalam menyikapi masalah ini. Karena itu, kita sebagai generasi mudalah yang harus pandai membawa diri, jangan hanya menggembor-gemborkan “cintailah produk Indonesia,” begitu tuturnya seraya ditujukan pada kami.

Setelah purna tugas dari dunia kependidikan, kakek 11 cucu ini tidak lagi melakukan banyak kegiatan. Waktunya ia habiskan di rumah untuk berkumpul bersama anak dan istri tercinta. Untuk mengusir kebosanan, Bapak Soerono sering meluangkan waktu untuk bermain tenis bersama karyawan Unesa di lapangan tenis terdekat. Pria yang dulu sempat menyukai bulutangkis itu mengakui bahwa terus berkarya adalah hal yang baik, namun mengingat usianya yang sudah lanjut, ia takut akan mengambil hak generasi muda. “Belajar itu harus, namun tahu diri juga perlu. Dengan umur yang sudah tidak muda lagi, saya harus bisa memilah apakah porsinya lebih banyak di akademik atau agama,” begitu tuturnya pasti. Walaupun begitu, Bapak Soerono sempat heran juga. Di usianya yang sudah tua ini ia masih saja diundang oleh Unesa untuk menghadiri acara-acara tertentu, seperti Dies Natalis, reuni akbar, dan seminar-seminar yang diadakan berbagai jurusan.

Saat ditanya tentang inspirator hidup, Bapak Soerono mengaku bahwa hanya tanggungjawab lah yang menjadi inspirasinya. Jawaban ini sekaligus mengisyaratkan setitik pesan kepada mahasiswa.

“Dari kecil saya tidak pernah berpikir akan menjadi dekan apalagi rektor. Cita-cita saya hanyalah bekerja dengan baik. Jika ada tugas segeralah dikerjakan walaupun hasilnya tidak 100%. Kerja keras, tanggungjawab, dan jujur adalah tiga tameng utama yang dapat mengantarkan kita menuju puncak keberhasilan. Mumpung masih muda, teruslah berkarya. Perbanyaklah relasi, anggaplah mereka semua terhormat. Dengan begitu, saat terjatuh kita tahu harus kemana,” paparnya dengan penuh harap.

Di akhir perbincangan, Bapak Soerono mengharapkan Unesa semakin hebat. Tidak peduli siapa yang memimpin, semoga ia bisa membawa nama Unesa sampai tingkat nasional bahkan internasional. Dari tahun ke tahun, semua rektor pasti menghadapi situasi yang berbeda. Strategi yang dipakai pun tidaklah sama. Apapun dan bagaimanapun itu, tujuan yang ingin dicapai tetaplah sama, yaitu Unesa lebih baik. Bapak Soerono berbagi sedikit tips untuk rektor Unesa periode selanjutnya, “komandan yang baik adalah ia yang menghormati semua orang”.

Soerono Martorahardjo di Mata Rekan Terdekat

Sosok Soerono Martorahardjo tentu tidak asing lagi di mata Yoharni Harjono, mantan dosen dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang juga telah purna tugas setahun lalu. Kini ibu kelahiran 15 November 1933 itu menghuni komplek purnawiyata yang berada persis di depan plakat nama gedung Gema kampus Ketintang. Ia bersama Bapak Soerono adalah perintis berdirinya Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia bersama tiga rekannya yang lain.

“Saya bangga melihat tiga nama dari fakultas kita bisa maju ke rektor. Mereka adalah Budi Darma, Soerono Martorahardjo, dan Haris Supratno. Ini menandakan bahwa fakultas kita dapat diperhitungkan dari fakultas lain,” terang ketua pertama Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia itu.

Di mata Ibu Yoharni, Bapak Soerono adalah seorang yang penuh prestasi. Berkat torehan gemilang ini tidak mengherankan jika ia berkali-kali dipercaya sebagai rektor. Walaupun intensitasnya jarang, Bapak Soerono tetap berusaha meluangkan waktu untuk mengajar di tengah-tengah kesibukannya sebagai rektor. Sastra Indonesia lama adalah mata kuliah yang ampunya saat itu. Semua dosen yang sekarang mengajar di jurusan adalah murid hasil gemblengannya bersama Ibu Yoharni. “Setidaknya mereka telah menjadi guru besar,” tambah ibu yang gemar membaca tersebut.

Tidak berbeda dengan Bapak Soerono, Ibu Yoharni terkejut saat ditanya tentang perkembangan Unesa sekarang. Bagaimana tidak, calon mahasiswa yang mendaftar sudah bisa mengalahkan ITS bahkan Unair.

“Memang zaman sekarang guru merupakan profesi yang dapat diperhitungkan. Jika ingin menjadi guru, jadilah guru yang tertinggi yaitu dosen. Tidak perlu ragu untuk melanjutkan ke jenjang S2 atau S3. Jika kita berprestasi, beasiswa menunggu,” ujar ibu satu anak itu.

Untuk mengisi kekosongan di hari tua, Ibu Yoharni lebih banyak tinggal di rumah untuk beribadah dan meluapkan hobinya, yaitu membaca. Tidak mengherankan jika di dalam rumahnya terdapat tumpukan-tumpukan buku berbagai jenis. Sesekali ada mahasiswa datang berkunjung untuk sekedar bersilaturahmi atau meminta pendapat tentang skripsi yang sedang dibuat. Di akhir perbincangan, Ibu Yoharni juga turut berharap agar Unesa tidak dipandang sebelah mata lagi, tapi benar-benar dipandang. Jangan sampai Unesa menjadi tempat pelarian karena biaya kuliahnya yang murah. Sesungguhnya ini bukan tanpa alasan, karena Unesa lebih berprioritas mencari bakal guru yang tangguh daripada mencari materi.

“Prestasi Unesa jangan dilihat dari banyaknya peminat, namun dari hasil lulusannya. Unesa harus number one,” ujar Ibu Yoharni dengan penuh harap.



*Fauziah Arsanti,
Mahasiswa semester empat
di jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia,
Universitas Negeri Surabaya.
e-mail: salam.vauziya@gmail.com.





Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment