Background

Friday, December 13, 2013

Benny Herawanto Soesetyo, Pembantu Dekan III FBS Unesa


Satu Hari 3 Pak Dji Sam Soe plus 1 Pak Ardath

Benar kata orang, sehat itu mahal. Kesehatan mahal harganya ketika kita mulai sakit. Saat itu kita akan merasa bahwa kesehatan adalah sesuatu yang berharga dalam hidup. Siapa yang tidak mau sehat. Dengan badan yang sehat kita bisa melakukan berbagai aktifitas dengan baik. Sebaliknya, tubuh yang sakit membuat semuanya serba dibatasi. Hal itulah yang dirasakan oleh Drs. Benny Herawanto Soesetyo, M. Psi., Pembantu Dekan III FBS, Unesa.

Pria berumur 58 tahun itu tampak terlihat sehat. Jabat tangannya pun masih terasa erat. Dengan tubuh ideal dan gerak yang masih lincah, orang awam tidak akan mengira jika ia mengidap penyakit jantung. Semua tertutup oleh keramahan dan senyum yang tersungging dari bibirnya. Tak lama, ia pun membuka riwayat akan penyakitnya.
“Sejak kecil saya tidak suka makan daging. Bagi saya, daging apa pun itu berbau sangat amis. Ditambah lagi saya suka mengonsumsi minum-minuman manis sehingga air putih jarang saya sentuh,” ungkap Benny memulai cerita.
Pola hidup Benny semasa muda memang dapat dikatakan tidak sehat. Ia tidak begitu menanggapi aspek makanan, minuman, nutrisi yang dikonsumsi dan perilaku sehari-hari. Ketidaksukaannya pada daging membuat ia mengonsumsi sayuran setiap hari. Memang sayur baik bagi tubuh, namun itu tidak diimbangi dengan asupan protein yang cukup. Ditambah lagi, Benny jarang mengonsumsi air putih. Padahal air putih merupakan bagian terbesar dan zat gizi esensial untuk hidup sehat dan aktif. Selain itu, pria kelahiran Magetan, 24 Februari 1955 itu juga hobi merokok. Dulu dalam sehari ia bisa menghabiskan 4 pak rokok. Satu pak khusus disisihkannya untuk mengajar.

RAMAH: Benny Herawanto Soesetyo saat ditemui di ruang dosen Jurusan Bahasa Jerman, FBS, Kamis (12/12/2013).

“Saya mulai merokok sejak kelas 1 SMA. Belum puas rasanya jika dalam sehari tidak menghabiskan 3 pak rokok Dji Sam Soe. Kebiasaan itu saya lakukan terus sampai mengajar. Ditambah lagi, saya selalu mengkhususkan rokok Ardath untuk menemani jam-jam mengajar saya setiap hari,” papar dosen dari Jurusan Bahasa Jerman itu.
Tidak puas dengan pola hidup demikian, Benny masih menambahnya dengan makan tidak teratur. Makan baginya adalah antara suka tidak suka, sempat tidak sempat. Kebiasaan buruk itu lama ia lakukan sehingga penyakit asam lambung pun menyerang. “Memang dulu saya begitu pilih-pilih makanan,” imbuhnya.
Akhirnya, penyakit jantung yang menakutkan itu datang. Munculnya penyakit itu tidak lepas dari gaya hidup kurang sehat yang banyak dilakukan seiring dengan berubahnya pola hidup. Penyakit jantung adalah terhentinya aliran darah menuju ke jantung, meskipun hanya sesaat, tapi mengakibatkan sebagian sel jantung menjadi mati. Awalnya, Benny tidak terlalu menghiraukan gejala-gejalanya. Ia menganggap itu hanyalah masuk angin biasa.
“Saya mulai merasakan sakit di dada sejak tahun 2003. Waktu itu, dada terasa sakit seperti orang masuk angin. Namun saya tidak menanggapinya secara serius. Lagipula, berkat bantuan rekan dosen yang mengeroki saya, rasa sakit di dada itu tidak kambuh lagi,” ujarnya.
Walaupun hanya muncul sesekali, rasa sakit di dada itu terus dirasakannya sampai tahun 2005. Di tahun itu pulalah ia baru memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Alhasil, dokter menyuruhnya untuk berhenti merokok. Ia diberi vitamin pengurang rasa sakit jika sewaktu-waktu dadanya kambuh lagi. Berkat anjuran dokter tersebut, ia total berhenti merokok di tahun 2005.
Masih di tahun yang sama, Benny juga terindikasi diabetes dan kolesterol. Pada waktu itu gula darahnya mencapai 320 mg/dl, padahal kadar gula normal adalah <140 mg/dl. Kolesterolnya mencapai 260 mg/dl, padahal normalnya hanya <200 mg/dl. Di titik inilah ia melakukan kesalahan.
“Saat divonis diabetes saya begitu stres. Obat-obat dari dokter sengaja tidak saya minum. Saya selalu mensugesti diri saya, bahwa penyakit ini pasti sembuh dengan sendirinya,” ujarnya menggebu-gebu.
Namun pemikiran Benny tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Pada waktu itu tahun 2006, Benny berangkat menunaikan ibadah haji. Saat tes medis, ternyata gula darahnya masih tinggi. Saat ditanya dokter, Benny mengaku bahwa ia sering mengonsumsi buah nangka, mangga, dan kelengkeng. Padahal, ketiga buah itu termasuk larangan bagi penderita diabetes.
“Bila dilihat dari riwayat keluarga, tidak ada yang pernah menderita diabetes. Ini murni dari pola makan saya yang salah,” ucap Benny sedih.
Tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2008, musibah kembali menderanya. Saat chek up, dokter menemukan ada penyumbatan kecil di jantung Benny. Penyumbatan itu menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah koroner, dimana pembuluh ini berfungsi untuk menyediakan darah ke otot jantung. Penyempitan disebabkan oleh tumpukan kolesterol atau protein lain yang berasal dari makanan yang masuk dalam tubuh.
“Dokter pun memberi saya Cedocard, obat pertolongan pertama pada saat serangan jantung yang berfungsi membuka pembuluh darah. Obat ini diminum saat dada terasa sakit,” ujar Benny.
Puncak dari rasa sakit itu terjadi pada Februari tahun 2013 ini. Pada waktu itu, kebetulan ada kegiatan KMMTD bidik misi di Tretes, Mojokerto. Karena ada urusan keluarga di rumah, ia mendahului pulang.
“Maghrib saya baru sampai di rumah. Saat itulah dada terasa amat sakit, namun setelah mengonsumsi Cedocard rasa sakitnya hilang. Senin keesokan harinya, saya berangkat ke kampus seperti biasa. Namun sesaat sebelum mengajar, rasa sakit itu muncul lagi sampai saya berkeringat dingin. Seperti biasa, setelah mengonsumsi Cedocard rasa sakitnya hilang. Hari Selasa, semua berjalan lancar di  kampus. Namun setelah pulang ke rumah saat Maghrib, dada saya kambuh lagi. Dengan Cedocard, hilang. Baru di malam harinya Cedocard itu tidak mempan, padahal di malam itu dada saya sakit minta ampun,”  papar dosen yang mengambil S1 Bahasa Jerman di IKIP Surabaya tersebut.
Berkat anjuran dari besannya yang juga seorang dokter di Bandung, Benny disarankan untuk masuk ke ICU. Benny pun melakukannya walaupun sempat ditolak dua kali oleh rumah sakit lantaran sudah penuh. Akhirnya, berkat bantuan saudara yang bekerja di Rumah Sakit Jemursari, Benny bisa masuk ke ICU. Di sana, ia menjalani tes ronsen dan tes darah. Alhasil, kedua bilik kanan dipastikan tersumbat, sisi satu 100 persen buntu, lainnya 85 persen. Sedangkan bilik kiri juga mengalami penyumbatan walaupun tidak sebesar bilik kanan. Karena sudah parah, Benny dirujuk ke Rumah Sakit Husada Hutama untuk menjalani kateterisasi bilik kanan. Untuk bilik kiri, Benny dirujuk ke rumah sakit Graha Merta.
Kateterisasi jantung adalah suatu tindakan untuk menegakkan diagnosis dan mengobati beberapa kondisi jantung beserta pembuluh darah. Selama kateterisasi jantung, pipa tipis berukuran panjang yang dinamakan kateter dimasukkan ke dalam pembuluh vena atau arteri yang ada di lipat paha, leher, atau lengan dan kemudian diputar melalui pembuluh darah untuk sampai ke jantung. Dengan menggunakan kateter ini, dokter kemudian dapat melakukan pemeriksaan diagnostik sebagai bagian dari kateterisasi jantung (info selengkapnya dapat dilihat di kardioipdrscm.com).
Dalam kasus Benny, kateterisasi jantung digunakan untuk angioplasti dengan pemasangan stent. Angioplasti melibatkan pemasangan balon kecil sementara pada tempat penyumbatan di jantung untuk membantu membuka pembuluh darah yang menyempit. Angioplasti dikombinasikan dengan pemasangan gulungan (coil) metal kecil yang dinamakan stent pada arteri yang tersumbat untuk membantu membuka dan menurunkan kemungkinan terjadinya penyempitan kembali (restenosis). Saat menjalani kateterisasi, Benny dilarang makan atau minum apapun selama 8-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan.
“Kateterisasi memakan waktu 18 jam. Sebelum kateterisasi, saya diminta untuk menggunakan toilet untuk mengosongkan kandung kemih. Hal itu dilakukan karena saat kateterisasi tubuh tidak boleh bergerak. Itu menjadikan saya harus menahan buang air. Buang air kecil bisa saya tahan, tapi kalau buang air besar saya tidak yakin. Karena itu, sebelum kateterisasi saya mengantisipasinya dengan sedikit makan,” terangnya.
Setelah kateterisasi bilik kiri dan bilik kanan, Benny diharuskan menjalani recovery selama tiga bulan. Selama recovery tersebut, Benny diharuskan berada di rumah, tidak boleh menyetir, dilarang menonton acara televisi yang berat, serta yang paling utama adalah menjaga pola makan. Ia harus menjaga kolesterolnya dengan menghindari makan-makanan berlemak, siap saji, dan gula. “Padahal saya sangat menyukai gorengan,” cetusnya sambil tertawa.
Setelah serangan jantung tersebut, perubahan besar memang menghampiri hidup Benny. Saat ini, ia masih aktif melakukan kontrol di Rumah Sakit Jemursari sampai April 2014. Sesuai anjuran dokter, ia dilarang pergi jauh lebih dari empat hari. Obat pun rajin ia minum: pagi empat macam, siang dua macam, malam 6 macam. Makanan dan minuman pun benar-benar diperhatikan. Beras harus khusus diabet, gula harus Tropicana Slim, kopi diperbolehkan tapi harus yang berkafein rendah. Sekarang pun Benny sudah rajin minum air putih. Setiap hari ia selalu menyempatkan jalan pagi sambil menggendong cucu tercinta.
Untuk melakukan perubahan besar tersebut, kakek dua cucu itu selalu mendapat dukungan dari keluarga. Saat menjalani kateterisasi, sang istri selalu berada di sampingnya. Anak-anak juga tidak pernah lupa untuk mengingatkan jadwal makan.
“Istri saya selalu meyakinkan bahwa saya pasti bisa melawan penyakit ini. Dia mengatakan bahwa sudah takdir saya harus hidup berdampingan dengan penyakit asam lambung, diabetes, kolesterol, dan jantung,” ujar bapak dua anak itu.
Saat ditanya tentang bagaimana seharusnya peran Unesa dalam memberikan jaminan kesehatan bagi civitas akademika, lulusan S2 Psikologi Untag itu tidak terlalu mempermasalahkan. Ia bersyukur masih punya Askes.
“Tidak ada jaminan kesehatan dari Unesa. Itu karena saya adalah pegawai negeri, jadi tidak di backup oleh Unesa. Beruntung, saya punya Askes sehingga biaya pengobatan yang tidak terkendali dapat dikontrol. Kateterisasi saja misalnya, satu stent harganya menjapai 80 juta rupiah, sementara stent yang terpasang di jantung saya ada enam. Itu belum ditambah dengan obat-obatnya. Jika tanpa Askes, total semua obat berkisar 6 juta rupiah. Namun dengan Askes saya hanya membayar 700an ribu plus biaya dokter 125 ribu,” papar dosen yang pernah menempuh pendidikan di Jerman tersebut.
Perjalanan hidup PD III FBS ini memang berat, namun ia tetap melaluinya dengan ikhlas. Baginya, kesehatan itu adalah segalanya, nomor satu, dan luar biasa. Orang sehat bisa memenuhi segala kebutuhan. Saat ditanya apakah ia menyesali perbuatannya dulu, pria berkacamata itu menjawab dengan bijak.
“Ini sudah menjadi perjalanan hidup saya, yang terjadi biarlah terjadi. Dengan begitu, saya bisa memberikan pengalaman pada orang lain. Jika waktu dapat diputar kembali, saya tidak akan mensugesti diri bahwa apa yang saya lakukan selalu benar,” pungkasnya (San).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment