Satu Hari 3 Pak Dji Sam
Soe plus 1 Pak Ardath
Benar kata orang, sehat itu mahal. Kesehatan mahal
harganya ketika kita mulai sakit. Saat itu kita akan merasa bahwa kesehatan
adalah sesuatu yang berharga dalam hidup. Siapa yang tidak mau sehat. Dengan
badan yang sehat kita bisa
melakukan berbagai aktifitas dengan baik. Sebaliknya,
tubuh yang sakit membuat semuanya serba dibatasi. Hal itulah yang dirasakan
oleh Drs. Benny Herawanto Soesetyo, M. Psi., Pembantu Dekan III FBS, Unesa.
Pria
berumur 58 tahun itu tampak terlihat sehat. Jabat tangannya pun masih terasa
erat. Dengan tubuh ideal dan gerak yang masih lincah, orang awam tidak akan
mengira jika ia mengidap penyakit jantung. Semua tertutup oleh keramahan dan
senyum yang tersungging dari bibirnya. Tak lama, ia pun membuka riwayat akan
penyakitnya.
“Sejak
kecil saya tidak suka makan daging. Bagi saya, daging apa pun itu berbau sangat
amis. Ditambah lagi saya suka mengonsumsi minum-minuman manis sehingga air
putih jarang saya sentuh,” ungkap Benny memulai cerita.
Pola
hidup Benny semasa muda memang dapat dikatakan tidak sehat. Ia tidak begitu
menanggapi aspek makanan, minuman, nutrisi yang dikonsumsi dan perilaku
sehari-hari. Ketidaksukaannya pada daging membuat ia mengonsumsi sayuran setiap
hari. Memang sayur baik bagi tubuh, namun itu tidak diimbangi dengan asupan
protein yang cukup. Ditambah lagi, Benny jarang mengonsumsi air putih. Padahal
air putih merupakan bagian terbesar dan zat gizi esensial untuk hidup sehat dan
aktif. Selain itu, pria kelahiran Magetan, 24 Februari 1955 itu juga hobi
merokok. Dulu dalam sehari ia bisa menghabiskan 4 pak rokok. Satu pak khusus
disisihkannya untuk mengajar.
RAMAH: Benny Herawanto Soesetyo saat ditemui di ruang dosen Jurusan Bahasa Jerman, FBS, Kamis (12/12/2013). |
“Saya
mulai merokok sejak kelas 1 SMA. Belum puas rasanya jika dalam sehari tidak
menghabiskan 3 pak rokok Dji Sam Soe.
Kebiasaan itu saya lakukan terus sampai mengajar. Ditambah lagi, saya selalu
mengkhususkan rokok Ardath untuk
menemani jam-jam mengajar saya setiap hari,” papar dosen dari Jurusan Bahasa Jerman
itu.
Tidak
puas dengan pola hidup demikian, Benny masih menambahnya dengan makan tidak
teratur. Makan baginya adalah antara suka tidak suka, sempat tidak sempat.
Kebiasaan buruk itu lama ia lakukan sehingga penyakit asam lambung pun
menyerang. “Memang dulu saya begitu pilih-pilih makanan,” imbuhnya.
Akhirnya,
penyakit jantung yang menakutkan itu datang. Munculnya penyakit itu tidak lepas
dari gaya hidup kurang sehat yang banyak dilakukan seiring dengan berubahnya
pola hidup. Penyakit jantung adalah terhentinya aliran darah menuju ke jantung,
meskipun hanya sesaat, tapi mengakibatkan sebagian sel jantung menjadi mati.
Awalnya, Benny tidak terlalu menghiraukan gejala-gejalanya. Ia menganggap itu
hanyalah masuk angin biasa.
“Saya
mulai merasakan sakit di dada sejak tahun 2003. Waktu itu, dada terasa sakit
seperti orang masuk angin. Namun saya tidak menanggapinya secara serius.
Lagipula, berkat bantuan rekan dosen yang mengeroki
saya, rasa sakit di dada itu tidak kambuh lagi,” ujarnya.
Walaupun
hanya muncul sesekali, rasa sakit di dada itu terus dirasakannya sampai tahun
2005. Di tahun itu pulalah ia baru memutuskan untuk memeriksakan diri ke
dokter. Alhasil, dokter menyuruhnya untuk berhenti merokok. Ia diberi vitamin
pengurang rasa sakit jika sewaktu-waktu dadanya kambuh lagi. Berkat anjuran
dokter tersebut, ia total berhenti merokok di tahun 2005.
Masih
di tahun yang sama, Benny juga terindikasi diabetes dan kolesterol. Pada waktu
itu gula darahnya mencapai 320 mg/dl, padahal kadar gula normal adalah <140
mg/dl. Kolesterolnya mencapai 260 mg/dl, padahal normalnya hanya <200 mg/dl.
Di titik inilah ia melakukan kesalahan.
“Saat
divonis diabetes saya begitu stres. Obat-obat dari dokter sengaja tidak saya
minum. Saya selalu mensugesti diri saya, bahwa penyakit ini pasti sembuh dengan
sendirinya,” ujarnya menggebu-gebu.
Namun
pemikiran Benny tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Pada waktu itu tahun
2006, Benny berangkat menunaikan ibadah haji. Saat tes medis, ternyata gula
darahnya masih tinggi. Saat ditanya dokter, Benny mengaku bahwa ia sering
mengonsumsi buah nangka, mangga, dan kelengkeng. Padahal, ketiga buah itu
termasuk larangan bagi penderita diabetes.
“Bila
dilihat dari riwayat keluarga, tidak ada yang pernah menderita diabetes. Ini
murni dari pola makan saya yang salah,” ucap Benny sedih.
Tidak
berhenti sampai di situ. Pada tahun 2008, musibah kembali menderanya. Saat chek up, dokter menemukan ada
penyumbatan kecil di jantung Benny. Penyumbatan itu menyebabkan penyempitan
pada pembuluh darah koroner, dimana pembuluh ini berfungsi untuk menyediakan
darah ke otot jantung. Penyempitan disebabkan oleh tumpukan kolesterol atau
protein lain yang berasal dari makanan yang masuk dalam tubuh.
“Dokter
pun memberi saya Cedocard, obat
pertolongan pertama pada saat serangan jantung yang berfungsi membuka pembuluh
darah. Obat ini diminum saat dada terasa sakit,” ujar Benny.
Puncak
dari rasa sakit itu terjadi pada Februari tahun 2013 ini. Pada waktu itu,
kebetulan ada kegiatan KMMTD bidik misi di Tretes, Mojokerto. Karena ada urusan
keluarga di rumah, ia mendahului pulang.
“Maghrib
saya baru sampai di rumah. Saat itulah dada terasa amat sakit, namun setelah
mengonsumsi Cedocard rasa sakitnya
hilang. Senin keesokan harinya, saya berangkat ke kampus seperti biasa. Namun
sesaat sebelum mengajar, rasa sakit itu muncul lagi sampai saya berkeringat
dingin. Seperti biasa, setelah mengonsumsi Cedocard
rasa sakitnya hilang. Hari Selasa, semua berjalan lancar di kampus. Namun setelah pulang ke rumah saat
Maghrib, dada saya kambuh lagi. Dengan Cedocard, hilang. Baru di malam harinya
Cedocard itu tidak mempan, padahal di malam itu dada saya sakit minta ampun,” papar dosen yang
mengambil S1 Bahasa Jerman di IKIP Surabaya tersebut.
Berkat
anjuran dari besannya yang juga seorang dokter di Bandung, Benny disarankan
untuk masuk ke ICU. Benny pun melakukannya walaupun sempat ditolak dua kali
oleh rumah sakit lantaran sudah penuh. Akhirnya, berkat bantuan saudara yang
bekerja di Rumah Sakit Jemursari, Benny bisa masuk ke ICU. Di sana, ia
menjalani tes ronsen dan tes darah. Alhasil, kedua bilik kanan dipastikan
tersumbat, sisi satu 100 persen buntu, lainnya 85 persen. Sedangkan bilik kiri
juga mengalami penyumbatan walaupun tidak sebesar bilik kanan. Karena sudah
parah, Benny dirujuk ke Rumah Sakit Husada Hutama untuk menjalani kateterisasi
bilik kanan. Untuk bilik kiri, Benny dirujuk ke rumah sakit Graha Merta.
Kateterisasi
jantung adalah suatu tindakan untuk menegakkan diagnosis dan mengobati beberapa
kondisi jantung beserta pembuluh darah. Selama kateterisasi jantung, pipa tipis
berukuran panjang yang dinamakan kateter dimasukkan ke dalam pembuluh vena atau
arteri yang ada di lipat paha, leher, atau lengan dan kemudian diputar melalui
pembuluh darah untuk sampai ke jantung. Dengan menggunakan kateter ini, dokter
kemudian dapat melakukan pemeriksaan diagnostik sebagai bagian dari kateterisasi
jantung (info selengkapnya dapat dilihat di kardioipdrscm.com).
Dalam kasus
Benny, kateterisasi jantung
digunakan untuk angioplasti dengan pemasangan
stent. Angioplasti melibatkan
pemasangan balon kecil sementara pada tempat penyumbatan di jantung untuk
membantu membuka pembuluh darah yang menyempit. Angioplasti dikombinasikan
dengan pemasangan gulungan (coil) metal kecil yang dinamakan stent
pada arteri yang tersumbat untuk membantu membuka dan menurunkan kemungkinan
terjadinya penyempitan kembali (restenosis).
Saat menjalani kateterisasi, Benny dilarang makan atau
minum apapun selama 8-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan.
“Kateterisasi
memakan waktu 18 jam. Sebelum kateterisasi, saya diminta untuk menggunakan
toilet untuk mengosongkan kandung kemih. Hal itu dilakukan karena saat
kateterisasi tubuh tidak boleh bergerak. Itu menjadikan saya harus menahan
buang air. Buang air kecil bisa saya tahan, tapi kalau buang air besar saya
tidak yakin. Karena itu, sebelum kateterisasi saya mengantisipasinya dengan
sedikit makan,” terangnya.
Setelah
kateterisasi bilik kiri dan bilik kanan, Benny diharuskan menjalani recovery selama tiga bulan. Selama recovery tersebut, Benny diharuskan
berada di rumah, tidak boleh menyetir, dilarang menonton acara televisi yang
berat, serta yang paling utama adalah menjaga pola makan. Ia harus menjaga
kolesterolnya dengan menghindari makan-makanan berlemak, siap saji, dan gula.
“Padahal saya sangat menyukai gorengan,” cetusnya sambil tertawa.
Setelah
serangan jantung tersebut, perubahan besar memang menghampiri hidup Benny. Saat
ini, ia masih aktif melakukan kontrol di Rumah Sakit Jemursari sampai April
2014. Sesuai anjuran dokter, ia dilarang pergi jauh lebih dari empat hari. Obat
pun rajin ia minum: pagi empat macam, siang dua macam, malam 6 macam. Makanan
dan minuman pun benar-benar diperhatikan. Beras harus khusus diabet, gula harus
Tropicana Slim, kopi diperbolehkan
tapi harus yang berkafein rendah. Sekarang pun Benny sudah rajin minum air
putih. Setiap hari ia selalu menyempatkan jalan pagi sambil menggendong cucu
tercinta.
Untuk melakukan
perubahan besar tersebut, kakek dua cucu itu selalu mendapat dukungan dari keluarga.
Saat menjalani kateterisasi, sang istri selalu berada di sampingnya. Anak-anak
juga tidak pernah lupa untuk mengingatkan jadwal makan.
“Istri saya selalu
meyakinkan bahwa saya pasti bisa melawan penyakit ini. Dia mengatakan bahwa
sudah takdir saya harus hidup berdampingan dengan penyakit asam lambung,
diabetes, kolesterol, dan jantung,” ujar bapak dua anak itu.
Saat
ditanya tentang bagaimana seharusnya peran Unesa dalam memberikan jaminan
kesehatan bagi civitas akademika, lulusan S2 Psikologi Untag itu tidak terlalu
mempermasalahkan. Ia bersyukur masih punya Askes.
“Tidak
ada jaminan kesehatan dari Unesa. Itu karena saya adalah pegawai negeri, jadi
tidak di backup oleh Unesa.
Beruntung, saya punya Askes sehingga biaya pengobatan yang tidak terkendali
dapat dikontrol. Kateterisasi saja misalnya, satu stent harganya menjapai 80 juta rupiah, sementara stent yang terpasang di jantung saya ada
enam. Itu belum ditambah dengan obat-obatnya. Jika tanpa Askes, total semua
obat berkisar 6 juta rupiah. Namun dengan Askes saya hanya membayar 700an ribu plus biaya dokter 125 ribu,” papar dosen
yang pernah menempuh pendidikan di Jerman tersebut.
Perjalanan
hidup PD III FBS ini memang berat, namun ia tetap melaluinya dengan ikhlas.
Baginya, kesehatan itu adalah segalanya, nomor satu, dan luar biasa. Orang
sehat bisa memenuhi segala kebutuhan. Saat ditanya apakah ia menyesali
perbuatannya dulu, pria berkacamata itu menjawab dengan bijak.
“Ini sudah
menjadi perjalanan hidup saya, yang terjadi biarlah terjadi. Dengan begitu,
saya bisa memberikan pengalaman pada orang lain. Jika waktu dapat diputar
kembali, saya tidak akan mensugesti diri bahwa apa yang saya lakukan selalu
benar,” pungkasnya (San).
No comments:
Post a Comment