Belajar Sastra ke Luar Negeri
Setelah menyelesaikan disertasi dan menempuh
ujian kelayakan pada semester IV, Dr. Zainul Mujahid, S.S., M.Hum., begitu namanya, akhirnya berhasil memperoleh
gelar doktor dari Jurusan Pendidikan Sastra Inggris Universitas Negeri
Surabaya. Pria kelahiran Lombok-Timur, Nusa Tenggara Barat itu baru dinyatakan lulus pada
semester lima lalu. Walaupun lulus pada semester lima, Zainul, begitu
panggilannya, tetap dinyatakan
lulus tercepat – lima semester kurang tiga bulan – dan cumlaude. Disertasinya yang berjudul “Langston Hughes’ Harlem and Lorraine Hansberry’s A
Raisin in the Sun: An Intertextual Analysis”, mengantarkannya ke puncak IPK sebesar 3,86.
“Saya sebenarnya telah menyelesaikan disertasi dan menempuh ujian
kelayakan pada semester IV, akan tetapi guna memperdalam pemahaman ontologis,
epistimologis dan aksiologis kajian bahasa dan sastra, saya disarankan oleh
promotor – Prof. Abbas A. Badib, M.A., Ph.D. – untuk mengikuti seleksi beasiswa luar negeri sandwich-like program ke Amerika.
Alhamdulillah, saya bisa belajar, melakukan kajian pustaka dan mendapat
bimbingan langsung selama tiga bulan (Oktober – Desember 2012) dari pakar African American Literature – Simone C.
Drake & Martin Ponce - di African
American Studies Center dan Department of Human Ecology, The Ohio
State University, USA,” ujarnya senang.
Cumlaude: Zainul Mujahid bersama ibu dan istri tercinta. |
Pria 44 tahun itu mengaku memilih judul tersebut karena tertarik pada sastra Amerika,
khususnya sastra Afrika Amerika (African American
Literature) yang pada umumnya menyuarakan perjuangan persamaan hak (equality of rights), protes terhadap
diskriminasi ras (racial discrimination), dan sejenisnya. “Kajian itu bisa menjadi media untuk
menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi dan kewajiban dalam
menghargai hak-hak individu,” imbuhnya.
Unifikasi intertektualitas, lanjutnya,
adalah poin
penting pada tataran teoritis yang dipakai sebagai teori dan metode pembacaan disamping Discourse
Historical Analysis (DHA). Intertektualitas memungkinkan peneliti untuk mengkaji
keterkaitan antarteks sastra pada elemen intertitularitas (judul dan ide),
intetektualitas wacana sosio-historis, dan intertekstualitas pemahaman dan pengungkapan the American Dream. Sementara, DHA
sebagai sub-studi kajian wacana kritis digunakan untuk mengungkap dan
menganalisa latar sejarah, relasi kekuasaan, kursi, hegemoni dan sejenisnya
pada naskah sastra.
Pada tataran praktis, kajian itu dapat diaplikasikan dalam pengajaran kecakapan menulis atau
penulisan kreatif untuk berbagai jenjang kecuali Taman Kanak-kanak (TK). Cara
kerjanya adalah dengan memberikan naskah atau meminta peserta didik mencari
naskah sastra sesuai dengan tingkatan mereka, kemudian dibantu untuk
mengenalkan piranti sastra dan memahami cerita, gagasan, kiasan dan lain-lain.
Setelah itu, mereka diminta mendeskripsikan pemahaman mereka dalam satu naskah ke dalam genre yang berbeda. Misalnya saja puisi dikembangkan ke
dalam drama atau prosa, prosa ditransformasi ke dalam drama atau puisi, dan seterusnya.
Pada tataran genre, umumnya kajian
intertektualitas sastra itu dilakukan pada genre
yang sama. Zainul dalam hal ini berhasil membuktikan bahwa pada genre yang berbeda (puisi dan drama)
dapat ditemukan keterkaitan (interconnectedness), dimana judul, ide, dan filosofi dari puisi
“Harlem” dikembangkan pada drama “A Raisin in the Sun”. Ini bukan termasuk plagiasi
atau imitasi. Namun kalaupun dikatakan imitasi, maka imitasi dalam makna
kreativitas (creativity). Inilah yang
dikatakan oleh para ahli intertektualitas – Kristeva, Allen, Bloom – sebagai text talks to another texts. Bahwa
sesungguhnya ketika seseorang memulai proses kreatif, dalam hal ini menulis
atau mengarang, maka dia sedang berkomunikasi dengan naskah terdahulu baik itu
tulis maupun lisan.
Saat ditanya apakah ia akan menindaklanjuti disertasinya tersebut, pria yang tinggal di Jalan Danau Limboto Barat, A4 B4, Sawojajar, Malang itu menjawab
mantap. Ia memiliki rencana sederhana untuk mengajak masyarakat, khususnya
masyarakat akademis untuk gemar membaca dan mengaji karya sastra dengan berbagai genre. “Karena dengan demikian kita
akan memahami bagaimana proses kreatif itu bekerja,” tegasnya.
Saat dikabarkan menjadi mahasiswa dengan peraih IPK tertinggi, pria yang sempat
menempuh S2 di UGM itu mengaku gembira dan terharu. Gembira karena telah selesai dengan predikat
terbaik (cumlaude), dan terharu karena mengingat perjuangan yang tentunya tidak mudah untuk mencapai
keberhasilan. “Intinya saya hanya bisa mengucap syukur Alhamdulillah kepada Zat
Yang Maha Agung,” imbuhnya haru.
Selama menjadi mahasiswa, pria yang gemar membaca buku autobiografi dan buku-buku critical thinking itu masih tetap aktif mengajar
walaupun aturannya tidak boleh bagi penerima BPPS (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Per
Semester). Menurut hematnya, mengajar membuat kerja otak semakin bagus dan daya ingat semakin
kuat. Yang terpenting baginya adalah bisa mengatur waktu dengan baik. Setelah lulus, pria yang juga suka menulis
itu bertekad untuk memburu beasiswa ke luar negeri.
“Saya akan berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dengan
berjuang mencari beasiswa luar negeri dalam bentuk short course, kerjasama penelitian, pertukaran pakar dan kegitan
ilmiah lainnya,” ungkapnya.
Di akhir, pria yang mempersembahkan
disertasi untuk keluarga besarnya itu turut berpesan pada mahasiswa Unesa.
“Jangan pernah merasa puas dengan apa yang Anda ketahui atau peroleh
saat ini. Teruslah bekerja keras dan hauslah akan ilmu. Dan yang terakhir,
milikilah dream (impian, cita-cita). Yakinlah, bahwa dengan kerja keras dan doa
dream anda akan menjadi kenyataan,” tandas bapak
tiga anak itu (San).
No comments:
Post a Comment