Background

Friday, June 21, 2013

Zainul Mujahid, Wisudawan Terbaik S3

Belajar Sastra ke Luar Negeri

Setelah menyelesaikan disertasi dan menempuh ujian kelayakan pada semester IV, Dr. Zainul Mujahid, S.S., M.Hum., begitu namanya, akhirnya berhasil memperoleh gelar doktor dari Jurusan Pendidikan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Pria kelahiran Lombok-Timur, Nusa Tenggara Barat itu baru dinyatakan lulus pada semester lima lalu. Walaupun lulus pada semester lima, Zainul, begitu panggilannya, tetap dinyatakan lulus tercepat – lima semester kurang tiga bulan –  dan cumlaude. Disertasinya yang berjudul “Langston Hughes’ Harlem and Lorraine Hansberry’s A Raisin in the Sun: An Intertextual Analysis”, mengantarkannya ke puncak IPK sebesar 3,86.
Saya sebenarnya telah menyelesaikan disertasi dan menempuh ujian kelayakan pada semester IV, akan tetapi guna memperdalam pemahaman ontologis, epistimologis dan aksiologis kajian bahasa dan sastra, saya disarankan oleh promotor – Prof. Abbas A. Badib, M.A., Ph.D. – untuk mengikuti seleksi beasiswa luar negeri sandwich-like program ke Amerika. Alhamdulillah, saya bisa belajar, melakukan kajian pustaka dan mendapat bimbingan langsung selama tiga bulan (Oktober – Desember 2012) dari pakar African American Literature – Simone C. Drake & Martin Ponce  -  di African American Studies Center dan  Department of Human Ecology, The Ohio State University, USA,” ujarnya senang.

Cumlaude: Zainul Mujahid bersama ibu dan istri tercinta.


Pria 44 tahun itu mengaku memilih judul tersebut karena tertarik pada sastra Amerika, khususnya sastra Afrika Amerika (African American Literature) yang pada umumnya menyuarakan perjuangan persamaan hak (equality of rights), protes terhadap diskriminasi ras (racial discrimination), dan sejenisnya. Kajian itu bisa menjadi media untuk menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi dan kewajiban dalam menghargai hak-hak individu,” imbuhnya.
Unifikasi intertektualitas, lanjutnya, adalah poin penting pada tataran teoritis yang dipakai sebagai teori dan metode pembacaan disamping Discourse Historical Analysis (DHA). Intertektualitas memungkinkan peneliti untuk mengkaji keterkaitan antarteks sastra pada elemen intertitularitas (judul dan ide), intetektualitas wacana sosio-historis, dan intertekstualitas pemahaman dan pengungkapan the American Dream. Sementara, DHA sebagai sub-studi kajian wacana kritis digunakan untuk mengungkap dan menganalisa latar sejarah, relasi kekuasaan, kursi, hegemoni dan sejenisnya pada naskah sastra.
Pada tataran praktis, kajian itu dapat diaplikasikan dalam pengajaran kecakapan menulis atau penulisan kreatif untuk berbagai jenjang kecuali Taman Kanak-kanak (TK). Cara kerjanya adalah dengan memberikan naskah atau meminta peserta didik mencari naskah sastra sesuai dengan tingkatan mereka, kemudian dibantu untuk mengenalkan piranti sastra dan memahami cerita, gagasan, kiasan dan lain-lain. Setelah itu, mereka diminta mendeskripsikan pemahaman mereka dalam satu naskah ke dalam genre yang berbeda. Misalnya saja puisi dikembangkan ke dalam drama atau prosa, prosa ditransformasi ke dalam drama atau puisi, dan seterusnya.
Pada tataran genre, umumnya kajian intertektualitas sastra itu dilakukan pada genre yang sama. Zainul dalam hal ini berhasil membuktikan bahwa pada genre yang berbeda (puisi dan drama) dapat ditemukan keterkaitan (interconnectedness), dimana judul, ide, dan filosofi dari puisi “Harlem” dikembangkan pada drama “A Raisin in the Sun”. Ini bukan termasuk plagiasi atau imitasi. Namun kalaupun dikatakan imitasi, maka imitasi dalam makna kreativitas (creativity). Inilah yang dikatakan oleh para ahli intertektualitas – Kristeva, Allen, Bloom – sebagai text talks to another texts. Bahwa sesungguhnya ketika seseorang memulai proses kreatif, dalam hal ini menulis atau mengarang, maka dia sedang berkomunikasi dengan naskah terdahulu baik itu tulis maupun lisan.
Saat ditanya apakah ia akan menindaklanjuti disertasinya tersebut, pria yang tinggal di Jalan Danau Limboto Barat, A4 B4, Sawojajar, Malang itu menjawab mantap. Ia memiliki rencana sederhana untuk mengajak masyarakat, khususnya masyarakat akademis untuk gemar membaca dan mengaji karya sastra dengan berbagai genre. “Karena dengan demikian kita akan memahami bagaimana proses kreatif itu bekerja,” tegasnya.
Saat dikabarkan menjadi mahasiswa dengan peraih IPK tertinggi, pria yang sempat menempuh S2 di UGM itu mengaku gembira dan terharu. Gembira karena telah selesai dengan predikat terbaik (cumlaude), dan terharu karena mengingat perjuangan yang tentunya tidak mudah untuk mencapai keberhasilan. “Intinya saya hanya bisa mengucap syukur Alhamdulillah kepada Zat Yang Maha Agung,” imbuhnya haru.
Selama menjadi mahasiswa, pria yang gemar membaca buku autobiografi dan buku-buku critical thinking itu masih tetap aktif mengajar walaupun aturannya tidak boleh bagi penerima BPPS (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Per Semester). Menurut hematnya, mengajar membuat kerja otak semakin bagus dan daya ingat semakin kuat. Yang terpenting baginya adalah bisa mengatur waktu dengan baik. Setelah lulus, pria yang juga suka menulis itu bertekad untuk memburu beasiswa ke luar negeri.
Saya akan berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dengan berjuang mencari beasiswa luar negeri dalam bentuk short course, kerjasama penelitian, pertukaran pakar dan kegitan ilmiah lainnya,” ungkapnya.
Di akhir, pria yang mempersembahkan disertasi untuk keluarga besarnya itu turut berpesan pada mahasiswa Unesa.
Jangan pernah merasa puas dengan apa yang Anda ketahui atau peroleh saat ini. Teruslah bekerja keras dan hauslah akan ilmu. Dan yang terakhir, milikilah dream (impian, cita-cita). Yakinlah, bahwa dengan kerja keras dan doa dream anda akan menjadi kenyataan,” tandas bapak tiga anak itu (San).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment