Tak Akan Menghukum Siswa
Menamatkan
semester 8-nya dari Jurusan Bimbingan
dan Konseling Universitas Negeri Surabaya, Nur
Ainy Pricillia Susanti, begitu namanya, berhasil menyelesaikan skripsinya yang
berjudul “Perbedaan antara Penerapan Penguatan Berkelanjutan, Interval, dan
Rasio dalam Meningkatkan Kebiasaan Belajar Siswa”. Perempuan kelahiran Bondowoso, 7 Juni 1991 itu berhasil meraih IPK
tertinggi se-FIP sebesar 3,75. Lia, begitu panggilannya, mengaku memilih judul tersebut karena prihatin dengan minimnya penanganan terhadap
rendahnya kebiasaan belajar siswa di sekolah negeri atau swasta.
“Saya
ingin mengatasinya dengan menerapkan sebuah treatment
berupa reinforcement (penguatan). Tidak
hanya dengan reinforcement (penguatan) saja, tetapi lebih daripada itu, saya juga berupaya membandingkan
antara ketiga jadwal pemberian penguatan, yakni continuous (berkelanjutan), interval, dan rasio. Dari ketiga jadwal
tersebut, manakah yang paling memiliki potensi keberhasilan dalam meningkatkan
kebiasaan belajar siswa. Hal itu perlu dilakukan, karena berdasarkan
literatur luar negeri, penguatan dengan jadwal rasiolah yang paling memiliki
potensi keberhasilan dalam meningkatkan kebiasaan belajar siswa, sedangkan di
Indonesia belum ditemukan penelitiannya,” papar Lia.
Nur Ainy Pricillia Susanti, wisudawan terbaik FIP |
Poin penting yang diusung Lia dalam
skripsinya adalah peningkatan perilaku ke arah positif. Menurut gadis asal Madiun
tersebut, ada beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan perilaku siswa, salah satunya adalah memilih skedul penguatan yang tepat. Walaupun
penguatan adalah cara yang biasa dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari, namun jika bisa
menerapkan skedul penguatan (penggunaan) secara tepat, maka akan terjadi
perubahan perilaku yang diharapkan. Dalam hal ini, penguatan dengan jadwal continuous (berkelanjutan)lah yang
paling memiliki potensi keberhasilan dalam meningkatkan kebiasaan belajar siswa. “Metode
yang saya gunakan dalam penelitian adalah token economy (kartu berharga). Jika
guru ingin menggunakan metode ini, reward
yang diperoleh siswa bisa ditransfer ke dalam bentuk lain sesuai perilaku
siswa,” imbuhnya.
Saat
ditanya apakah ia akan menindaklanjuti skripsinya tersebut, mahasiswa yang
tinggal di Ds. Kedungbanteng, RT/RW 12/2, Kec. Pilangkenceng, Kab. Madiun itu menjawab mantap. Ia akan
mengimplementasikan pengalaman dan hasil penelitiannya saat mengajar nanti.
“Saat ini hukuman sering menjadi alat untuk membuat siswa
jera. Namun saat mengajar nanti saya tidak akan mengedepankan hukuman sebagai alat utama dalam membentuk perilaku
yang diharapkan. Di dalam
penelitian sudah terbukti, reinforcement lebih memiliki potensi keberhasilan dalam mengubah
perilaku ke arah yang diharapkan. Selain itu, perlu juga mempublikasikan keberhasilan siswa di kelas
sebagai bentuk penghargaan sekaligus pemicu
semangat siswa lainnya,” ujar perempuan berambut panjang itu.
Saat
dikabarkan menjadi mahasiswa dengan peraih IPK tertinggi, Lia mengaku bangga dan sangat bersyukur. Akhirnya doa dan kerja keras yang ia lakukan
dari awal masuk kuliah menghasilkan sesuatu yang sebanding.
“Hal yang
paling saya ingat selama proses pembuatan skripsi adalah dukungan, semangat, masukan,
serta pujian yang sering saya dengar dari dosen pembimbing
skripsi, yaitu Dra. Retno Lukitaningsih. Ditambah pula sorakan dari teman-teman saat seminar proposal adalah bentuk dukungan batiniah yang paling bermakna,” terang mahasiswa yang gemar
membaca tersebut.
Selama menjadi mahasiswa, Lia sempat aktif di DLM dan
UKKI pada tahun ajaran pertama. Pernah pula mengajar les di daerah Rungkut,
walaupun pada akhirnya harus berhenti karena jauhnya lokasi. Setelah lulus, Lia
mengaku ingin fokus dulu untuk mengajar. Saat ini ia sudah menjadi tenaga pengajar di salah satu SMK swasta
yang bonafit di Mejayan. Baru setelah itu, ia akan menjajaki rencana hidup selanjutnya. “Tes CPNS, setelah itu PPG/PPBK,
setelah itu S2, setelah itu dosen,” ujarnya sambil tersenyum.
Sebelum meninggalkan kampus, Lia tidak lupa berpesan
kepada mahasiswa Unesa untuk terus berprestasi.
“Jangan
mudah menyerah untuk mencapai eksistensi diri kita. Apa yang kita usahakan
sekarang sangat mempengaruhi masa depan. Dari
awal, cobalah cari sesuatu yang bisa menjadi semangat positif bagi kita, jangan
sampai menyesal karena waktu yang telah kita buang sia-sia,” tegas gadis yang kukuh ingin menjadi
pendidik tersebut.
Prestasi
Nur Ainy tersebut mendapat tanggapan positif dari dekan Fakultas Ilmu
Pendidikan, Drs. I Nyoman Sudarka, M.S. Ia bersama dosen-dosen FIP yang lain
telah berjuang bersama untuk membangun ranah akademik agar kualitasnya dapat
dipertanggungjawabkan. Hasilnya, jurusan Bimbingan Konseling tempat Nur Ainy
bernaung telah mendapat akreditasi A.
“Pengakuan
itu tentu saja berpengaruh pada semangat mahasiswa sehingga akan muncul seorang
pemuncak. Dalam hal ini, Nur Ainylah pemuncaknya. Karena itu, kami telah
memberikan piagam penghargaan dan dana pembinaan sebesar Rp500.000,00 sebagai
reward,” tandas dekan kelahiran Denpasar, 2 Januari 1952 itu (San).
No comments:
Post a Comment