Dalam Novel ini, diceritakan perjuangan Bu Suci, seorang guru sekolah dasar di Kota Purwodadi yang sudah berpengalaman mengajar selama 10 tahun. Sebenarnya sejak kecil ia bercita – cita untuk menjadi seorang sekretaris karena sering melihat gadis atau wanita muda yang mengetik dan mengurus kantor. Namun setelah dewasa, barulah ia mengetahui betapa rumit menjadi sekretaris yang baik, sehingga ia mau mengikuti nasihat orang tuanya untuk masuk ke sekolah guru. Kepindahan kerja suaminya ke Kota Semarang sebagai pengawas bengkel dan ahli mesin, membuat Bu Suci dan ketiga anaknya juga harus memulai kehidupan baru kembali.
Di kota Semarang itulah, masalah demi masalah dilewati Bu Suci. Kehidupan sehari – hari yang serba pas – pasan membuat Bu Suci dan suaminya harus menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran sebaik mungkin. Beberapa waktu kemudian, anak sulungnya tiba – tiba mengeluh panas, lalu menderita batuk dan salesma. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa ia mengidap epilepsi.
Setelah diterima mengajar sementara di sebuah sekolah, Bu Suci harus menghadapi permasalahan anak sukar di kelasnya. Anak itu bernama Waskito, murid nakal yang sering membuat keonaran dengan memukuli teman – temannya tanpa sebab yang jelas. Setelah mencari keterangan dari kepala sekolah, Bu Suci mendapat kesimpulan bahwa Waskito kekurangan perhatian dari keluarganya.
Menurut cerita nenek Waskito pada guru – guru, ketika belum berumur satu setengah tahun, adiknya lahir. Langsung saja ibunya menumpahkan perhatian pada anak kedua. Bapaknya sering pergi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Pulang sering membawa oleh – oleh bagus. Tapi bukan itu yang diinginkan Waskito. Ia menginginkan kedua orang tuanya menyisihkan waktu untuk lebih menyayanginya. Akhirnya Waskito tumbuh menjadi anak yang pemarah dan pemberontak. Untuk itulah, bapaknya menitipkan Waskito pada kakek dan neneknya. Sang nenek pun dengan senang hati mau merawat Waskito, karena menurutnya sumber masalah ada di menantunya, yaitu Ibu Waskito sendiri. Ibunya selalu memanjakan Waskito, melarangnya untuk melakukan pekerjaan berat. Sedangkan di rumah sang nenek, Waskito diberi tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan rumah yang ringan, dengan tujuan akan dapat merubah sifatnya. Dan benar saja, dengan kepercayaan yang diberikan neneknya, Waskito perlahan – lahan mulai tumbuh menjadi anak yang stabil. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ibu Waskito yang tidak menyukai mertuanya berhasil membujuk suaminya, meminta supaya anak mereka kembali ke rumah. Alasannya, kasihan anak itu bekerja keras di tempat kakeknya. Dan sejak kembali ke rumah, tabiat Waskito pun kembali ke asalnya, yaitu pemarah dan pemberontak.
Menanggapi kenakalan Waskito yang semakin menjadi - jadi, pihak kepala sekolah beserta guru - guru sudah berencana akan mengeluarkan Waskito dari sekolah. Namun sebagai pendidik, Bu Suci tidak sependapat dengan rencana tersebut. Ia malah terdorong untuk membantu Waskito keluar dari masalahnya. Bu Suci ikhlas membantu walaupun ia sendiri masih diliputi masalah tentang anak sulungnya yang belum sehat betul. Dengan berbagai pendekatan yang telah dilakukan, Bu Suci mengetahui bahwa Waskito sebenarnya adalah seorang anak yang baik dan cerdas. Kerja keras Bu Suci akhirnya membuahkan hasil. Tabiat Waskito yang pemarah dan pemberontak pun lama – lama bisa diubah.
Menurut saya, Nh. Dini memberikan jalan cerita yang meneladani. Seorang guru yang berusaha mengembalikan kepercayaan diri anak didiknya akibat didikan keluarga yang salah. Tokoh utamanya yang berprofesi sebagai guru telah memberi pengetahuan kepada saya bahwa tugas seorang guru tidak semata – mata hanya mengajar saja, tetapi juga harus peka terhadap kepribadian anak didiknya. Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda – beda, sehingga berbeda pula dalam menyelesaikan masalah. Kerja keras Bu Suci patut dijadikan teladan.
Bu Suci yang sejak kecil bercita - cita menjadi sekretaris ternyata tidak bisa mewujudkan impiannya itu karena orang tuanya menginginkan ia menjadi seorang guru. Namun Bu Suci menerimanya dengan lapang dada, bahkan hal itu memacunya untuk belajar menumbukan jiwa pendidik dalam dirinya. Kembali sebuah sikap yang patut dijadikan teladan.
Dari segi novel, saya kira sudah baik. bahasanya jelas dan mudah dimengerti. Namun Nh. Dini kurang membubuhkan dialog dalam novelnya. Dialog hanya dicantumkan seperlunya saja. Yang lain adalah berupa ulasan cerita yang panjang, sehingga membuat pembaca merasa bosan. Selain itu, akhir cerita tidak dijelaskan dengan jelas. Mengapa? Karena saya tidak mengetahui riwayat akhir dari ayah dan ibu Waskito, apakah masih tetap sebagai orang tua yang ceroboh dalam mendidik anak atau sudah menyadari kesalahan dari caranya mendidik Waskito.
Nasib Bu Suci selanjutnya juga tidak dijelaskan. Seperti cerita dalam novel, Bu Suci hanya mengajar sementara di sebuah sekolah selama 2 bulan. Tidak ada yang tahu dimana Bu Suci mengajar setelah 2 bulan tersebut.
Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Di kota Semarang itulah, masalah demi masalah dilewati Bu Suci. Kehidupan sehari – hari yang serba pas – pasan membuat Bu Suci dan suaminya harus menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran sebaik mungkin. Beberapa waktu kemudian, anak sulungnya tiba – tiba mengeluh panas, lalu menderita batuk dan salesma. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa ia mengidap epilepsi.
Setelah diterima mengajar sementara di sebuah sekolah, Bu Suci harus menghadapi permasalahan anak sukar di kelasnya. Anak itu bernama Waskito, murid nakal yang sering membuat keonaran dengan memukuli teman – temannya tanpa sebab yang jelas. Setelah mencari keterangan dari kepala sekolah, Bu Suci mendapat kesimpulan bahwa Waskito kekurangan perhatian dari keluarganya.
Menurut cerita nenek Waskito pada guru – guru, ketika belum berumur satu setengah tahun, adiknya lahir. Langsung saja ibunya menumpahkan perhatian pada anak kedua. Bapaknya sering pergi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Pulang sering membawa oleh – oleh bagus. Tapi bukan itu yang diinginkan Waskito. Ia menginginkan kedua orang tuanya menyisihkan waktu untuk lebih menyayanginya. Akhirnya Waskito tumbuh menjadi anak yang pemarah dan pemberontak. Untuk itulah, bapaknya menitipkan Waskito pada kakek dan neneknya. Sang nenek pun dengan senang hati mau merawat Waskito, karena menurutnya sumber masalah ada di menantunya, yaitu Ibu Waskito sendiri. Ibunya selalu memanjakan Waskito, melarangnya untuk melakukan pekerjaan berat. Sedangkan di rumah sang nenek, Waskito diberi tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan rumah yang ringan, dengan tujuan akan dapat merubah sifatnya. Dan benar saja, dengan kepercayaan yang diberikan neneknya, Waskito perlahan – lahan mulai tumbuh menjadi anak yang stabil. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ibu Waskito yang tidak menyukai mertuanya berhasil membujuk suaminya, meminta supaya anak mereka kembali ke rumah. Alasannya, kasihan anak itu bekerja keras di tempat kakeknya. Dan sejak kembali ke rumah, tabiat Waskito pun kembali ke asalnya, yaitu pemarah dan pemberontak.
Menanggapi kenakalan Waskito yang semakin menjadi - jadi, pihak kepala sekolah beserta guru - guru sudah berencana akan mengeluarkan Waskito dari sekolah. Namun sebagai pendidik, Bu Suci tidak sependapat dengan rencana tersebut. Ia malah terdorong untuk membantu Waskito keluar dari masalahnya. Bu Suci ikhlas membantu walaupun ia sendiri masih diliputi masalah tentang anak sulungnya yang belum sehat betul. Dengan berbagai pendekatan yang telah dilakukan, Bu Suci mengetahui bahwa Waskito sebenarnya adalah seorang anak yang baik dan cerdas. Kerja keras Bu Suci akhirnya membuahkan hasil. Tabiat Waskito yang pemarah dan pemberontak pun lama – lama bisa diubah.
Menurut saya, Nh. Dini memberikan jalan cerita yang meneladani. Seorang guru yang berusaha mengembalikan kepercayaan diri anak didiknya akibat didikan keluarga yang salah. Tokoh utamanya yang berprofesi sebagai guru telah memberi pengetahuan kepada saya bahwa tugas seorang guru tidak semata – mata hanya mengajar saja, tetapi juga harus peka terhadap kepribadian anak didiknya. Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda – beda, sehingga berbeda pula dalam menyelesaikan masalah. Kerja keras Bu Suci patut dijadikan teladan.
Bu Suci yang sejak kecil bercita - cita menjadi sekretaris ternyata tidak bisa mewujudkan impiannya itu karena orang tuanya menginginkan ia menjadi seorang guru. Namun Bu Suci menerimanya dengan lapang dada, bahkan hal itu memacunya untuk belajar menumbukan jiwa pendidik dalam dirinya. Kembali sebuah sikap yang patut dijadikan teladan.
Dari segi novel, saya kira sudah baik. bahasanya jelas dan mudah dimengerti. Namun Nh. Dini kurang membubuhkan dialog dalam novelnya. Dialog hanya dicantumkan seperlunya saja. Yang lain adalah berupa ulasan cerita yang panjang, sehingga membuat pembaca merasa bosan. Selain itu, akhir cerita tidak dijelaskan dengan jelas. Mengapa? Karena saya tidak mengetahui riwayat akhir dari ayah dan ibu Waskito, apakah masih tetap sebagai orang tua yang ceroboh dalam mendidik anak atau sudah menyadari kesalahan dari caranya mendidik Waskito.
Nasib Bu Suci selanjutnya juga tidak dijelaskan. Seperti cerita dalam novel, Bu Suci hanya mengajar sementara di sebuah sekolah selama 2 bulan. Tidak ada yang tahu dimana Bu Suci mengajar setelah 2 bulan tersebut.
Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
No comments:
Post a Comment