Novel Aus ini kental sekali dengan budaya Bali. Setting cerita yang berlokasi di Tabanan, sebuah kota dengan keindahan alamnya yang indah. Letaknya di lereng Gunung Batukau dan berbatasan dengan Laut Selatan. Banyak objek pariwisata yang masih perawan. Di situ ada sumber air panas dan Tugu Pahlawan Margarana sebagai tempat peringatan pada puputan Margarana. Ada pantai Tanah Lot. Ada seni kekawin, seni patung, barong tek – tekan di Puri Kerambitan dan Arja Bon Bali yang banyak mengambil pemain dari Tabanan. Daerah Sangeh yang banyak keranya baru tergarap, begitu juga Tanah Lot. Di Bedugul dan lain – lainnya masih perlu dimanfaatkan secara maksimal. Kota Tabanan juga memiliki sebuah Taman Makam Pahlawan yang dihuni oleh lebih dari seribu pahlawan. Mustahil jika Tabanan tidak dapat menjadi sebuah kota yang makmur.
Namun yang terjadi di Desa Sanggulan malah sebaliknya. Ya, seperti itulah menurut pendapat I Gusti Wayan Melem, seorang pensiunan bupati yang pernah memerintah Tabanan. Sanggulan yang berada di batas kota Tabanan itu telah dicap oleh penduduk sebagai desa yang melarat. Gusti Melem pun menyesal mengapa ia tidak menggarapnya dulu. Untuk itulah, sebagai penebus kelalaiannya di masa lalu, Gusti Melem iseng mengunjungi Sanggulan. Namun dalam perjalanannya ke Sanggulan, tak ada satupun orang yang menyapanya seakan – akan ia tidak pernah menjabat sebagai Bupati. Gusti Melem benar – benar sakit hati.
Setelah sampai di Sanggulan, betapa kagetnya ia. Ternyata penduduk Sanggulan tidak sepenuhnya miskin. Mereka memanfaatkan kemiskinannya untuk menarik simpati dan belas kasihan dari penduduk luar Sanggulan. Gusti Melem pun kecewa.
Semenjak itulah, Gusti Melem selalu memikirkan dua peristiwa tersebut. Ia tidak hanya menyesal, tetapi mulai membenci orang. Karena kerasnya berpikir, ia pun jatuh sakit. Kata mantri Puger, Gusti Melem terkena serangan angin duduk. Handai taulan dan para kenalan pun datang menjenguk. Ada yang membawa makanan, ada pula yang membawa uang. Karena seringnya bertemu, mereka sering bertukar pikiran dengan Gusti Melem. Istri Gusti Melem diam – diam punya maksud lain. Ia ingin memperbanyak jumlah uang tersebut untuk memperbaiki perekonomian dan disumbangkan pada saudara – saudaranya yang tidak mampu. Untuk itulah, Gusti Melem selama bertahun – tahun ”dipaksa” untuk sakit. Orang – orang akhirnya menjulukinya Nak Sungkan (dalam bahasa Bali berarti orang sakit).
Kesehatan Nak Sungkan sedikit membaik saat Pak Bupati menjenguk. Karena sering datang, Pak Bupati makin betah mengajak Nak Sungkan berembuk. Karena menurutnya segala pertimbangan Nak Sungkan adalah pertimbangan orang waras, positif, dan optimistik.
Suatu hari, seorang pegawai Kantor Bupati tiba – tiba “sakit”. Pak Bupati resah karena ia adalah pegawai kesayangannya. Pak Bupati pun menyumbang uang untuk sekedar membantu pengobatannya. Anehnya, keesokan harinya ia masuk kerja kembali.
Beberapa waktu kemudian, terdengar kabar bahwa Pak Gubernur juga “sakit”. Padahal beberapa waktu yang lalu Pak Gubernur masih menanyakan pesanan tanah yang hendak dipakainya sebagai kebun percobaan cengkeh pribadi. Seperti pengalaman sebelumnya, Pak Bupati segera membeli sebidang tanah yang bagus untuk Pak Gubernur. Alhasil, Pak Gubernur kembali sehat.
Terakhir, ada sebuah kejadian menarik. Waktu itu Pak Bupati mengundang Mantri Puger untuk main ceki di rumahnya. Tapi karena tidak tahu, banyak orang mengira kalau Pak Bupati sedang sakit. Datanglah handai taulan dan para kenalan menjenguk sambil membawa makanan dan uang. Ternyata nasib Pak Bupati tidak ada bedanya dengan Nak Sungkan. Istri Pak Bupati juga memaksanya untuk “sakit”. Kejadian itu menjadi awal dari “sakit”nya Tabanan. Semua orang menderita “sakit”, sehingga mendatangkan simpati dari kalangan lokal bahkan internasional. Tabanan, termasuk pula Sanggulan pelan – pelan tumbuh. Jumlah orang sakit semakin berkurang setelah Nak Sungkan meninggal dunia.
Walau tidak tersurat, namun menurut saya novel ini menyiratkan cerita yang lucu. Bagaimana mungkin seseorang menganggap sakit sebagai anugerah. Tentunya bukan anugerah bagi si sakit, tapi bagi orang – orang terdekatnya. Yang paling lucu lagi tersirat pada halaman 141 yang menuliskan bahwa seluruh Tabanan sakit. Bagaimana mungkin satu kota mengalami sakit yang hampir bersamaan dan tidak diketahui apa penyebabnya. Untuk itulah, pembaca seperti diajak untuk menafsirkan sendiri maksud dari jalan ceritanya.
Dari segi novel, Putu Wijaya menyajikan kalimat – kalimat yang segar dan sering mengagetkan. Di dalamnya terdapat petuah dan nasihat yang dapat kita petik hikmahnya.
☁ Rupanya pintar saja tak cukup, untuk sampai pada bijaksana, masih diperlukan banyak langkah tambahan. (halaman 40)
☁ Hidup ini seperti teka – teki silang. Ada kotak – kotak masalah dengan jawabannya masing – masing yang tak bisa diganti dengan jawaban lain. (halaman 53)
☁ Saya kira tak ada bedaya juga disiplin mulai ditegakkan dengan segelas air teh. Dengan segelas air teh, sebuah disiplin telah dimulai tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Biarlah mereka merasa itu hanya persoalan segelas teh saja. Saya sendiri yang tahu bahwa itu semuanya adalah awal sebuah disiplin. (halaman 74)
☁ Di dalam badan yang sehat terletak jiwa yang kuat. Dan dengan jiwa yang kuat segala cita – cita bisa dicapai. (halaman 104)
☁ Kebersihan lingkungan yang tidak didukung oleh kebersihan hati, sama saja dengan tempayan emas yang tidak berisi apa – apa sehingga praktis tidak berguna sama sekali, meskipun memang kelihatannya rupawan. (halaman 117)
Novel ini menurut saya tidak memiliki kekurangan yang berarti. Hanya saja Putu Wijaya tidak menjelaskan makna dari Bahasa Bali yang sering ia cantumkan dalam cerita. Hal ini membuat pembaca non Bali seperti saya, tidak mengerti.
Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Background
Saturday, June 16, 2012
Sinopsis Novel Aus
Putu Wijaya (Penulis Angkatan 1966)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment