Background

Tuesday, September 11, 2012

Sehari Bersama Abdul Hadi W.M.

Memburu Kebinekaan di Tengah Krisis

         Bagi penikmat sastra, nama Abdul Hadi W.M. tentu sudah tidak asing lagi. Sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat ini dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik. Berbagai pandangannya tentang kefilsafatan itu ia tularkan dalam kuliah umumnya hari ini, Selasa (11/09) di Auditorium Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Kuliah umum yang dihadiri puluhan mahasiswa dari prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Sastra Indonesia itu bertajuk kebudayaan, kekuasaan, dan krisis. Pemilihan topik ini dilatarbelakangi fakta empiris tentang krisis kebudayaan yang telah lama melanda kehidupan bangsa kita, entah itu budaya korupsi, budaya kekerasan, budaya nyontek, budaya ngamen, dan lain sebagainya.

                                                                               perspektifbaru.com

Dalam kuliah umum yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut, Abdul Hadi merumuskan konsep dari kebudayaan. Menurutnya, hubungan manusia dengan kebudayaan adalah seperti hubungan laba-laba dengan sarang buatannya sendiri. Manusia tergantung pada kebudayaan, dan kebudayaan tergantung pula pada manusia. Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya komunitas besar manusia yang hidup dalam suasana komunikatif. Jika manusia itu lalai, krisis kebudayaan bisa saja membayangi.
“Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis kebudayaan suatu bangsa: motif ekonomi, politik, materialistik, arti kebudayaan yang dipersempit, terlepasnya budaya dari makna, serta penyeragaman budaya secara paksa,” ungkap guru besar Universitas Paramadina Jakarta ini.
Di akhir kuliah umumnya, sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan Satyalancana dari Menkudpar ini sempat mengkritik masalah kebudayaan di Indonesia. Menurutnya, bangsa Indonesia selama ini kurang membanggakan kehebatannya di berbagai bidang, terutama di bidang sastra. Padahal jika ditelisik lebih dalam, sastra akan menempati posisi terbaik di masa yang akan datang mengingat kekosongan nilai yang mungkin saja terjadi. Kedua, bangsa Indonesia belum bisa mengurai perpecahan, entah itu antara tradisi dengan modern, nasional dengan daerah, nasionalis dengan islam, Jawa dengan luar Jawa, dan lain sebagainya. Apalagi di indonesia sekarang masih terjadi kontradiktif akibat kebijakan yang primordial.
Saat ditemui usai mengisi kuliah umum, Abdul Hadi menyatakan perlunya perenggangan bagi kebudayaan Indonesia terhadap budaya asing yang mempengaruhinya. Kita tidak boleh begitu saja menerima kebudayaan baru, namun harus menyaringnya terlebih dahulu untuk membuat perbandingan baik buruknya.
Abdul Hadi sempat pula berpesan pada mahasiswa Unesa agar selalu memupuk tradisi membaca. Tidak hanya di bidangnya, namun juga perlu berkutat pada referensi lain.
       “Ilmu yang sekarang didapat dari jurusan adalah ilmu pokok dan spesialisasi incaran. Tidak ada salahnya berilmu pada bidang yang kita incar, namun jika ilmu pokok ditinggalkan kita akan sulit mendapatkan apa yang kita incar,” ujar pria kelahiran Sumenep, 24 Juni 66 tahun silam ini (Fauziah/Putri).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment