Memburu Kebinekaan
di Tengah Krisis
Bagi penikmat sastra, nama Abdul Hadi W.M. tentu
sudah tidak asing lagi. Sastrawan, budayawan, dan ahli filsafat ini dikenal
melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik. Berbagai pandangannya tentang
kefilsafatan itu ia tularkan dalam kuliah umumnya hari ini, Selasa (11/09) di
Auditorium Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya. Kuliah umum
yang dihadiri puluhan mahasiswa dari prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
dan Sastra Indonesia itu bertajuk kebudayaan, kekuasaan, dan krisis. Pemilihan topik
ini dilatarbelakangi fakta empiris tentang krisis kebudayaan yang telah lama
melanda kehidupan bangsa kita, entah itu budaya korupsi, budaya kekerasan,
budaya nyontek, budaya ngamen, dan lain sebagainya.
perspektifbaru.com
Dalam
kuliah umum yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut, Abdul Hadi
merumuskan konsep dari kebudayaan. Menurutnya, hubungan manusia dengan
kebudayaan adalah seperti hubungan laba-laba dengan sarang buatannya sendiri.
Manusia tergantung pada kebudayaan, dan kebudayaan tergantung pula pada
manusia. Kebudayaan tidak akan ada tanpa adanya komunitas besar manusia yang
hidup dalam suasana komunikatif. Jika manusia itu lalai, krisis kebudayaan bisa
saja membayangi.
“Banyak
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya krisis kebudayaan suatu bangsa: motif
ekonomi, politik, materialistik, arti kebudayaan yang dipersempit, terlepasnya
budaya dari makna, serta penyeragaman budaya secara paksa,” ungkap guru besar
Universitas Paramadina Jakarta ini.
Di
akhir kuliah umumnya, sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan
Satyalancana dari Menkudpar ini sempat mengkritik masalah kebudayaan di
Indonesia. Menurutnya, bangsa Indonesia selama ini kurang membanggakan
kehebatannya di berbagai bidang, terutama di bidang sastra. Padahal jika
ditelisik lebih dalam, sastra akan menempati posisi terbaik di masa yang akan
datang mengingat kekosongan nilai yang mungkin saja terjadi. Kedua, bangsa
Indonesia belum bisa mengurai perpecahan, entah itu antara tradisi dengan
modern, nasional dengan daerah, nasionalis dengan islam, Jawa dengan luar Jawa,
dan lain sebagainya. Apalagi di indonesia sekarang masih terjadi kontradiktif
akibat kebijakan yang primordial.
Saat
ditemui usai mengisi kuliah umum, Abdul Hadi menyatakan perlunya perenggangan
bagi kebudayaan Indonesia terhadap budaya asing yang mempengaruhinya. Kita
tidak boleh begitu saja menerima kebudayaan baru, namun harus menyaringnya
terlebih dahulu untuk membuat perbandingan baik buruknya.
Abdul
Hadi sempat pula berpesan pada mahasiswa Unesa agar selalu memupuk tradisi
membaca. Tidak hanya di bidangnya, namun juga perlu berkutat pada referensi
lain.
“Ilmu yang sekarang didapat dari jurusan adalah
ilmu pokok dan spesialisasi incaran. Tidak ada salahnya berilmu pada bidang
yang kita incar, namun jika ilmu pokok ditinggalkan kita akan sulit mendapatkan
apa yang kita incar,” ujar pria kelahiran Sumenep, 24 Juni 66 tahun silam ini (Fauziah/Putri).
No comments:
Post a Comment