Saya Ingin Istiqomah di Unesa Sebagai Wujud Terima Kasih
Dunia
anak-anak memang menyenangkan. Penuh canda, tawa, cepat melupakan tangis dan
kesedihan. Mereka cepat sekali belajar sehingga potensi dahsyat bermunculan
pada masa itu. Bagi sosok satu ini, hobinya bermain dengan anak-anak membuat ia
dapat mengembangkan cita-cita masa lalunya. Saking cintanya dengan anak-anak,
pria kelahiran Kediri, 13 Februari 1966 itu telah sukses mengembangkan TPQ dan
Taman Kanak-kanak di lingkungan tempat tinggalnya. Walaupun sibuk di tiga
organisasi sekaligus, hal itu sama sekali tak membuatnya lengah akan tugas
masing-masing. Siapakah sosok teladan itu?
Saat ditemui di ruangannya Senin
(4/11/2013), ia tampak serius membaca sebuah majalah. Di sampulnya tertulis
“merk” dari majalah itu, Widyawara. Majalah yang menyajikan berita utama
tentang kurikulum 2013 itu lekas ia tutup setelah mengetahui kehadiran saya.
Setelah saya dipersilakan duduk, tak berapa lama datanglah seorang rekan dosen
yang rupanya ingin menawarkan sesuatu.
“Pak Syamsul, istri saya punya
bola-bola kecil dan kolam air dari plastik. Mungkin Bapak mau menambah koleksi
TK. Nanti kalau bawa mobil saya akan langsung angkut ke TK,” ujarnya.
“Boleh, boleh. Tapi tidak terlalu
besar, ya? Soalnya ruangannya sempit,” sahut orang yang dipanggil Syamsul itu.
“Tidak, tidak terlalu besar.
Plastiknya bisa ditiup. Jadi kalau misalnya diisi air ya bisa, nanti akan seperti
kolam renang. Kalau diisi bola-bola saja ya bisa. Atau kalau airnya dicampur
bola juga bisa.”
MAJALAH JBSI: Dr. Syamsul Sodiq, M.Pd. saat ditemui di ruang kajur Bahasa dan Sastra Indonesia, Senin (4/11/2013) |
Tak berselang lama, keduanya sudah
menemukan kata sepakat. Percakapan singkat itu lantas mengantarkan si empunya
cerita kembali ke masa lalu, masa di mana ia masih berada di bangku kelas III
SPG. Di masa itu, ia adalah seorang siswa yang tidak pernah mendambakan akan
bisa melanjutkan kuliah. Di masa itu, ia tidak pernah berpikir akan bisa meraih
mimpinya untuk mengelola TPQ dan TK-nya sendiri. Di masa itu pulalah ia tidak pernah
menyangka akan menjadi ketua di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Namun kenyataannya, ruang kajur
di lantai 2 Gedung T4 Unesa itu telah diperuntukkan khusus baginya. Ya, dialah
Dr. Syamsul Sodiq, M. Pd.
Dari
Kampung ke Kota
Besar di kediri, ia adalah siswa SPG
yang tinggal di sebuah pesantren bernama Aksa’adah. Selama tiga tahun, yaitu
tahun 1983—1986, ia melewati masa-masa sekolah menengahnya sambil mendalami
ilmu agama di pesantren. Karena termasuk santri yang unggul, di pesantren
tersebut Syamsul juga dipercaya menjadi guru ngaji bagi anak-anak asuhannya.
“Di awal-awal menjadi guru ngaji,
membaca Quran diadakan setiap habis Maghrib. Namun mulai tahun 1985 jadwal
mengaji diubah setelah sholat Ashar layaknya model TPQ. Mengetahui hal itu saya
bertambah semangat. Pulang dari SPG, saya bergegas menuju pesantren untuk
bertemu anak-anak. Nah, pada waktu mengajari anak-anak, saya selalu mengiringi pembelajaran
dengan lagu. Anak-anak senang sekali,” kenangnya bangga.
Namun profesinya sebagai guru ngaji
tidak bertahan lama. Itu setelah ia bersama 11 temannya yang lain dipanggil
oleh kepala sekolah di SPG.
“Waktu itu kami benar-benar tidak
menyangka. Ternyata alasan kepala sekolah memanggil kami adalah ingin memberi
tahu bahwa kami telah mendapatkan beasiswa Supersemar sebanyak Rp150.000,00
perorang. Kepala sekolahpun menyarankan agar kami menggunakan beasiswa tersebut
untuk melanjutkan kuliah,” ujar Syamsul melanjutkan cerita.
Berasal dari keluarga sederhana, tak
pernah sedikitpun terbersit keinginan Syamsul untuk melanjutkan kuliah. Apalagi
setelah lulus SPG ia sudah berkesempatan mengajar di sebuah sekolah dasar.
Baginya itu sudah cukup, belum lagi tanggungannya untuk mengajar anak-anak di
pesantren. Namun berkat dukungan kepala sekolah, teman, dan keluarga, ia pun
menjalani hari-harinya dengan mengajar sambil mengumpulkan informasi tentang
perguruan tinggi. Waktupun berjalan, sampai pada akhirnya ia optimis untuk
menuntun langkahnya menuju IKIP Surabaya. Sempat sedih rasanya meninggalkan
anak-anak, terutama anak-anak di Pesantren Aksa’adah. Sebelum berangkat ke
Surabaya, hal yang paling diingat Syamsul adalah saat ia berpamitan pada sang
kakek.
“Waktu itu Mbah mengatakan bahwa saya adalah guru ngaji yang paling sabar
dibanding guru-guru yang lain. Mbah
mengkhawatirkan keberlangsungan pesantren ketika saya sudah tidak ada.
Mendengar itu saya begitu terharu. Dari situlah saya berjanji pada diri
sendiri, akan kembali mendidik anak-anak suatu saat nanti,” kenangnya penuh
harap.
Dari kecil Syamsul memang sudah
termotivasi menjadi guru, khususnya guru bahasa. Itulah sebabnya mengapa di SPG
ia masuk jurusan bahasa. Di IKIP Surabaya Syamsul sempat bingung untuk
menentukan jurusan. Namun kemudian ia teringat pada sosok guru SMPnya dulu yang
mengantarkannya pada jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia.
“SMP saya dulu adalah di MTs Negeri
Kunir, Srengat, Blitar. Selama kelas III, pelajaran Bahasa Indonesia diajar
oleh seorang guru baru. Beliau adalah Bapak Muhammad Tamrin. Bagi saya, Bapak
Tamrin adalah guru Bahasa Indonesia yang luas pengetahuannya. Walaupun sekolah
di kampung, beliau begitu aktif mengajari praktek-praktek berbahasa seperti
menulis, baca puisi, drama, bahkan belajar sampai ke luar kelas. Berkat sosok
beliaulah saya akhirnya memilih jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia,” tuturnya
senang.
Hampir
Putus Kuliah
Sejak awal masuk kuliah, Syamsul sudah
menunjukkan keaktifannya di kampus. Pada semester I ia langsung aktif di
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) untuk seksi kerohanian. Lantas pada semester
III ia menjadi ketua bidang penalaran. Akhirnya pada semester V, ia berhasil
menjabat sebagai ketua HMJ. Namun di semester V itu pulalah badai kemudian
datang menerpanya.
“Di semester V saya hampir putus
kuliah. Ini mengingat beasiswa Supersemar yang saya dapatkan dulu tidak cukup
lagi menutup biaya SPP, sementara kondisi ekonomi keluarga juga tidak
memungkinkan. Waktu itu SPP saya Rp30.000,00 persemester, sementara beasiswa
Supersemar yang sebesar Rp150.000,00 hanya cukup untuk lima semester,” kata
Syamsul sedih.
Saat berada di puncak keputusasaan, Syamsul
pun menemui dosen pembimbing akademik (DPA) untuk membicarakan masalah
tersebut. Ia berniat untuk menghentikan program sarjananya dan memilih jenjang
D2. Waktu itu DPA adalah Ibu Yoharni Harjono yang sekarang sudah purna. Tak
disangka-sangka, dosen purna yang sekarang tinggal di kompleks purnawiyata
Kampus Unesa Ketintang itu tidak mengizinkan Syamsul untuk putus kuliah. Ia
berharap Syamsul dapat bersabar dan bertahan dalam melewati kondisi tersebut.
Akhirnya Tuhan menjawab doa-doa
Syamsul. Keteguhannya untuk terus belajar memberinya jalan untuk bertahan.
Berkat keaktifannya di berbagai organisasi, Syamsul mempunyai banyak teman yang
sudi menolong. Pada waktu itu Syamsul aktif di tiga organisasi: UKKI, Pramuka,
dan senat. Tak disangka, UKKI membutuhkan anak mahasiswa yang bisa tinggal di
masjid. Syamsul pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu sehingga dapat terbebas
dari biaya kos-kosan. Karena tinggal di lingkungan masjid, Syamsul pun aktif di
bidang dakwah. Tidak hanya itu, Syamsul juga mendapat bantuan lain. Ia ditawari
kakak kelasnya untuk mengajar di SMP Bina Taruna, Jetis Kulon. Upahnya mengajar
ia tabung sedikit demi sedikit untuk membayar biaya kuliah yang tinggal tiga
semester lagi.
Saat badai sudah mampu ia lewati, di
semester tujuh Syamsul kembali mencapai kejayaannya. Ia dinobatkan menjadi
ketua SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) pertama di Indonesia (sekarang
BEM-U). Pada saat itu ia juga dimantapkan menjadi mahasiswa berprestasi ke-2
tingkat universitas. “Akhirnya saya bisa membuka rekening di bank untuk pertama
kali,” cetusnya sambil tertawa.
Sibuk sebagai ketua SMPT tak membuat
Syamsul melupakan tanggungjawabnya sebagai mahasiswa. Apalagi pada waktu itu ia
sudah tercatat sebagai mahasiswa yang memrogram skripsi. Dulu kelulusan
ditentukan dengan dua jalan, dengan skripsi atau tanpa skripsi. Mahasiswa yang
menulis skripsi adalah mereka yang berminat menjadi dosen, sementara mahasiswa
yang lulus tanpa skripsi langsung bisa mengantongi gelar sarjana, namun tidak
bisa menjadi dosen.
Untuk dua pilihan itu, Syamsul
memutuskan untuk lulus dengan skripsi. Berkat prestasinya yang menonjol,
Syamsul akhirnya mendapatkan beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) dari Dikti.
Konsep dari beasiswa TID adalah, jika mahasiswa yang bersangkutan direkomendasikan
menjadi dosen, maka setelah lulus ia berkewajiban mengembalikan sejumlah berkas
kepada Dikti. Pada waktu itu ada sekitar 50 orang yang mengembalikan berkas ke
Dikti, termasuk Syamsul. Itu artinya, Syamsul telah berhasil direkomendasikan
menjadi dosen.
“Saya lulus S1 pada 13 Februari 1961. Alhamdulillah, setahun menunggu saya
diterima sebagai dosen tetap di IKIP Surabaya. Tak berselang lama, saya
dipanggil oleh PD II. Beliau memberi selamat kepada saya karena sudah berhasil
menjadi dosen tetap, namun syaratnya harus bersiap-siap jika suatu saat wacana
berganti. Wacana yang dimaksud adalah keharusan S2 bagi dosen,” terang Syamsul.
Menanggapi penjelasan PD II tersebut,
Syamsul mulai berpikir tentang masa depan. Pada tahun 1995, ia pun memutuskan
untuk mengambil kuliah S2 di IKIP Malang dengan jurusan yang sama, Pendidikan
Bahasa Indonesia. Di Malang jugalah Syamsul bertemu dengan seorang perempuan
yang kemudian ia nikahi.
“Di sana saya bertemu istri saya,
Rahma Yulia Isnaini yang pada waktu itu sedang kuliah di Politeknik Brawijaya
Malang jurusan Teknik Kimia. Karena saya sudah berkepala tiga, saya pun
mengajaknya menikah walaupun ia belum lulus. Saya menikah pada 4 Maret 1996.
Setahun sesudahnya, yaitu pada tanggal 25 Januari 1997 anak pertama kami lahir.
Kehadiran si kecil membuat saya memutuskan untuk memboyong keluarga pulang ke Surabaya.
Itu terjadi setahun setelah anak kami lahir, yaitu sekitar bulan Februari 1998
yang juga bertepatan dengan selesainya S2 saya,” beber Syamsul.
Sebagai lulusan teknik Kimia yang
bekerja di perusahaan, Rahma terpaksa harus berangkat pagi pulang sore. Itu
membuat kewajibannya sebagai ibu rumah tangga terbengkalai. Karena itu, Rahma
memutuskan untuk menransfer ilmu kimia murninya ke pendidikan, tepatnya di IKIP
Surabaya. Berturut-turut, yaitu tanggal 7 Oktober 2003 dan 9 Juli 2006, anak
kedua dan ketiga lahir. Syamsul ingat betul, pada kelahiran anak kedua istrinya
tersebut sedang mengambil data untuk skripsi.
Kembalinya Syamsul ke Surabaya membuat
keinginannya untuk melanjutkan S3 di IKIP Malang terhambat. Apalagi sejak
kelahiran anak kedua dan ketiga, ia bertambah berat untuk meninggalkan keluarga
di Surabaya. Karena itu, Syamsul memilih untuk melanjutkan S3nya di IKIP
Surabaya. Waktu itu tahun 2003, IKIP Surabaya yang sudah berganti nama menjadi
Unesa itu baru pertama kali membuka S3. Syamsul termasuk angkatan pertama yang
menempuh S3 di Unesa bersama Dr. Mintowati, M.Pd. dan Dr. Budinuryanta Yohanes,
M.Pd. yang sekarang juga menjadi dosen di jurusan. Setelah mengantongi gelar
doktornya pada tahun 2010, di tahun 2013 ini Syamsul diangkat menjadi ketua
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia menggantikan Dr. Suyatno, M.Pd.
Aktif
di Muhammadiyah
Sejak tahun 2010, Syamsul sudah aktif
di majelis Muhammadiyah. Di tingkat wilayah, saat ini ia menjabat sebagai ketua
Lembaga Seni Budaya dan Olahraga hingga tahun 2015. Sementara di tingkat
cabang/kecamatan, ia menjadi anggota majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen) pimpinan cabang Sepanjang dan Karangpilang.
“Saya menjadi anggota Dikdasmen Sepanjang
karena anak kedua dan ketiga saya bersekolah di SD Muhammadiyah Sepanjang. Anak
pertama saya yang sekarang sudah kelas 2 SMA di Al-Falah Ketintang, sebelumnya
bersekolah di SMP Muhammadiyah 6 Kemlaten sehingga saya juga tercatat sebagai
anggota Dikdasmen Karangpilang,” jelas Syamsul.
Menanggapi keterlibatannya dengan majelis
Muhammadiyah, Syamsul mengungkapkan bahwa semua itu bermula pada tahun 2001
lalu, saat ia tergabung menjadi Tim Teknis Direksi Pembinaan SMP tentang Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang dikoordinatori oleh almarhum Prof. Dr. Leo Idra
Ardiana, M.Pd., Prof. Dr. Kisyani Laksono, M.Hum., dan Prof. Dr. Bambang
Yulianto, M.Pd. Tiga tahun kemudian, pengalaman di bidang kurikulum itu membuat
Syamsul diundang sebagai pemateri pada seminar pendidikan inovatif di sebuah
sekolah Muhammadiyah di Surabaya. Saat presentasi, Syamsul “berduet” dengan
ketua komite, Prof. Imam Robandi yang baru pulang dari Jepang.
“Saya merasa cocok saat presentasi
bersama Prof. Imam. Saya berupaya memperlihatkan kepada khalayak tentang
rancangan kurikulum baru yang baik. Namun rancangan kurikulum yang saya
tawarkan ternyata sudah diterapkan di Jepang,” aku Syamsul.
Semenjak presentasi tersebut, hubungan
Syamsul dengan Imam Robandi semakin dekat. Pada tahun 2006, Imam mengabari
Syamsul bahwa ia telah ditunjuk sebagai ketua Dikdasmen. Karena itu, Imam
meminta Syamsul untuk membantunya di bidang kurikulum selama kurang lebih empat
tahun.
Kiprah Syamsul di Muhammadiyah semakin
nyata saat pada tahun 2008—2012 ia diminta Muhammadiyah Jatim untuk bertugas di
bidang akademik sebagai Pembantu Rektor I di Universitas Muhammadiyah Surabaya
(UMS).
“Waktu itu rektor UMS meminta saya
untuk menghidupkan kembali prodi yang sudah banyak mati. Tentu itu merupakan sebuah
tanggungjawab besar,” ungkapnya.
Kesibukan Syamsul di tiga bidang
sekaligus awalnya tidak membuatnya kelabakan. Namun pada tahun 2012 lalu,
Syamsul merasa tidak lagi pandai memanajemen waktu. Apalagi usia yang semakin
senja tentu berpengaruh pada perkembangan fisiknya.
“Sebelum tahun 2008, antara Unesa
dengan Majelis Muhammadiyah sebenarnya sinkron-sinkron saja. Kegiatan-kegiatan
majelis lebih banyak diadakan pada sore dan hari-hari libur. Tapi sejak
bertugas di UMS saya merasa bersalah dengan Unesa karena sering meninggalkan
rapat ataupun absen memberi kuliah. Apalagi antara UMS dengan Unesa bidangnya
sama, yaitu pendidikan sehingga tidak mungkin dapat berbagi,” ungkap Syamsul.
Karena itu, sebagai rasa terima
kasihnya pada Unesa, mulai tahun 2012 Syamsul menghentikan aktivitasnya di UMS
dan memutuskan untuk istiqomah saja di Unesa sebagai ketua jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia.
Mengelola
TPQ dan TK
Setelah menjadi orang besar seperti
sekarang, Syamsul tidak melupakan janjinya pada sang kakek untuk kembali
mendidik anak-anak. Di Surabaya, Syamsul beserta keluarga tinggal di Perum
Patria, Desa Bambe, Kecamatan Driyorejo, Gresik. Sejak awal, motivasi Syamsul
mendidik anak-anak adalah untuk mendekatkan mereka pada nilai-nilai luhur.
Karena itu, Syamsul beserta istri mengembangkan sebuah TPQ di lingkungan tempat
tinggal mereka. Awalnya, Syamsul masih meminjam mushola sebagai tempat
pelaksanaan TPQ. Baru pada tahun 2006, mushola tersebut sudah permanen menjadi
lokasi TPQ Akhsana Mulia, begitu Syamsul memberi nama.
“Pengajar di TPQ adalah istri saya,
tetangga, dan keponakan. Kadang jika ada waktu, saya juga turut mengajar di
sana. TPQ kami buka setiap hari,” ujar Syamsul.
Selain mengembangkan TPQ, di tahun
2013 ini Syamsul juga mengembangkan Taman Kanak-kanak. TK Aba Bustanul Athfal
nomor 45 Gresik itu berada di depan Masjid Al-Furqon, Perum Bukit Bambe,
Gresik.
“Di depan masjid itu dulunya ada
sebuah tanah kosong. Begitu ada tanah yang dapat dimanfaatkan, ranting
Muhammadiyah mengajak saya untuk mendirikan TK di sana,” imbuhnya.
Bersama sang istri, Syamsul terus
berupaya untuk mengembangkan cita-cita masa lalu yang sempat pupus, yaitu
mendidik anak-anak untuk dekat pada nilai-nilai luhur. Saat ini, sang istri
menjadi pengajar di SMK Muhammadiyah Kemlaten, sekaligus kepala sekolah di TK
yang ia kelola bersama sang suami. Pagi sampai siang ia mengajar di SMK, lantas
sore harinya bergegas mengajar di TPQ.
Di akhir perbincangan, Syamsul mempunyai
beberapa harapan, baik itu harapan sebagai pendidik maupun secara pribadi. Sebagai
pendidik, Syamsul terus berupaya untuk mengimplementasikan tridarma perguruan
tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Dalam bidang pendidikan sudah tak perlu ditanya lagi. Di bidang penelitian,
saat ini Syamsul tengah mengerjakan penelitian dari Dikti bertajuk Hibah
Kompetensi yang siap ditandingkan di tingkat internasional. Sementara di bidang
pengabdian, Syamsul bersama rekan-rekan dosen di jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia telah menyisihkan sebuah ruang kelas yang digunakan sebagai pusat
pembelajaran. Ruangan yang cukup luas itu dipakai sebagai tempat bertemunya
guru-guru, paling tidak bisa merambah Jawa Timur. Tim dosen akan memberikan pelayanan
berupa informasi yang berguna bagi dunia pendidikan.
“Bagi siapa pun yang membutuhkan
informasi tentang dunia pendidikan, datanglah ke pusat pembelajaran, kami akan
membantu. Saya menyebutnya sebagai layanan purna jual, karena selain memberikan
informasi, kami juga ingin menyebarluaskan produk kami. Produk tersebut adalah
majalah Widyawara, sebuah majalah milik jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
yang berkiprah di dunia pendidikan, bahasa, seni, dan budaya. Kami berharap
majalah tersebut dapat menjadi majalah nasional yang memberi sumbangan pada
perkembangan pendidikan di Indonesia,” terang Syamsul sambil memamerkan Majalah
Widyawara.
Secara pribadi, Syamsul beserta anak
istrinya hanya ingin bertauhid lurus dan berakhlak bagus. Ketika diberi amanah,
ia berusaha untuk maksimal walaupun perjalanan hidupnya terlihat begitu ruwet.
“Yang selama ini menginspirasi saya
adalah Surat Al-Insyirah ayat 4, karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan,” tandas dosen yang sudah melahirkan lima buku itu (San).
goood
ReplyDeleteAssalamualaikum, Selamat dan sukses kakak kelasku SPGN KEDIRI, saya adalah adik kelas panjenengan yang juga mewarisi jadi Ketua OSIS di SPG tercinta. Sekarang aku juga mengabdikan diri sebagai guru di SDN GUNUNGANYAR 273 Surabaya.
ReplyDeleteMasih inget nggak ya Mas Dr.Samsul Sodiq, M.Pd dengan aku.