Sempat
Melupakan Lima Piagam Penghargaan
Gurat
di wajahnya menyiratkan sepenggal perjalanan hidup yang panjang.
Dahinya yang mengkilap seperti tempat berkaca bagi sang waktu,
pengantar setiap nafas yang ia abdikan pada dunia. Namun setiap
pengabdian tersebut dijalani dengan ikhlas oleh Sudikryoto (65
tahun), mantan karyawan Unesa yang sudah mengabdikan diri selama
bertahun-tahun.
PANUTAN: Inilah Sudikaryoto saat ditemui di Masjid Baitul Makmur Unesa Lidah Wetan, Kamis (7/2/2013)
Ditemui
di teras masjid Baitul Makmur Unesa Lidah Wetan, Kamis (7/2/2013),
Sudikaryoto terlihat begitu asyik berbincang dengan Husni, ustad
Masjid Baitul Makmur. Tutur katanya yang hangat dan berwibawa membuat
tiap kata yang terucap mengalir begitu akrab. Menyesal rasanya tidak
turut berbincang dengan bapak lima anak tersebut. Usianya memang
sudah senja, namun semangatnya untuk bercerita masih menggebu-gebu,
apalagi itu menyangkut perjalanan hidupnya yang membanggakan di masa
lalu.
Waktu
itu tahun 1969. Setelah lulus dari STM, Sudikaryoto lantas bekerja di
Percetakan Unipress Unesa. Lima tahun bekerja, ia pun pindah ke
sebuah studio PPL sebagai pengontrol kamera, room
control, dan
setting
microteaching.
Keahlian mengoperasikan kamera didapatnya saat bergabung dengan Humas
Unesa.
“Lama
saya bekerja di studio. Saking lamanya, saya lupa sudah berapa tahun
mengabdi di sana,” tutur pria berkacamata itu.
Namun
di tengah-tengah masa bekerjanya, tak disangka ia rindu untuk
bersekolah kembali. Berbekal niat yang sudah bulat, Sudikaryoto
menempuh program sarjana muda melalui ikatan dinas dengan Unesa.
Mesin adalah jurusan yang ia pilih. Jadwal kuliah di sore hari tidak
membuat kuliahnya berbenturan dengan pekerjaan di studio. Namun semua
itu tidak berlangsung lama. Cuti kuliah kembali diambilnya selama
lima tahun untuk bekerja di bagian perlengkapan Unesa. Selama bekerja
di bagian perlengkapan itulah Sudikaryoto baru melanjutkan kuliahnya
yang tertunda.
Setelah
mengantongi gelar sarjana muda, Sudikaryoto lantas mendapatkan
kesempatan untuk mengajar di jurusan Teknologi Pendidikan Unesa.
Waktu itu ia mengajarkan satelit dan video.
“Tentu
ini sangatlah berlawanan dengan bidang yang saya ambil di perkuliahan
dulu. Mana mungkin seorang sarjana mesin terjun ke bidang satelit dan
video. Namun tugas tetaplah tugas. Semua harus dijalani dengan penuh
tanggungjawab,” ungkapnya mantap.
Namun
tanpa disangka-sangka, ilmu permesinan yang dipelajarinya dulu
akhirnya bermanfaat juga. Waktu itu Unesa mendapat kiriman mesin dari
Jakarta. Buruknya, tak satupun karyawan yang mampu mengoperasikan
mesin tersebut kecuali Sudikaryoto. Dengan keahliannya, Sudikaryoto
menyeting mesin tersebut dari nol
sampai bisa beroperasi. Hal ini membuat rektor di masa itu, Slamet
Cahyono, merasa berbangga hati pada anak buahnya. Kebermanfaatan
mesin tersebut membuat Unesa terpilih sebagai pembuat soal SPMB
(sekarang SNMPTN) untuk wilayah Indonesia bagian timur. Sebuah
prestasi tersendiri bagi Unesa pada waktu itu, tak terkecuali bagi
Sudikaryoto.
“Lima
tahun lamanya saya berada dalam tim inti pembuat soal-soal SPMB. Tak
dapat saya ungkapkan bagaimana gembiranya saya waktu itu, menjadi
orang pertama yang mampu menyeting mesin. Syukurlah, tindakan saya
dapat bermanfaat bagi orang lain,” tutur Sudikaryoto sambil
tersenyum.
Sekarang
setelah purnatugas, Sudikaryoto mendapat kepercayaan penuh dari
rektor Muchlas Samani untuk memimpin penghijauan kampus di wilayah
Lidah Wetan. Sudikaryoto beserta keempat anak buahnya bertugas
mengurusi pepohonan, mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan,
pemupukan, pengairan, dan lain-lain. Apalagi tanggal 23 Februari
nanti walikota Surabaya, Tri Rismaharini, akan datang ke kampus Lidah
untuk meninjau hutan kota di depan FIP.
“Orang-orang
dulu sering gagal jika menanam pohon di wilayah kampus Lidah.
Parahnya, mereka tidak mencari penyebabnya terlebih dahulu. Namun
setelah saya tanyakan pada petani di sekitar sini, ternyata masalah
utamanya adalah pada konstruksi tanah. Setelah dilakukan pengeboran,
saya mendapati cara pengatasannya, yaitu dengan mengganti lapisan
tanah sedalam 1 m3 dengan pupuk kompos. Setelah cara ini diuji,
ternyata sebagian besar pohon tidak terhambat pertumbuhannya,”
terang Sudikaryoto dengan lega.
Selain
diberi amanah untuk memimpin penghijauan kampus, Sudikaryoto juga
masih punya wewenang untuk keberlangsungan teknis Unesa. Wewenang
tersebut antara lain sebagai penyuplai air ke wilayah kampus Lidah
termasuk di Gedung PPG dan kolam renang, teknisi di asrama putrid
Unesa, serta pengurus sound
system di Masjid
Baitul Makmur.
“Saya
ditugaskan sebagai juru kunci tower air utama, mengatur jadwal kapan
air didistribusikan ke wilayah kampus Lidah. Sekarang tower air itu
sudah otomatis, dulu waktu masih memakai tenaga manusia kami bekerja
cukup berat. Di asrama putrid Unesa saya sering diminta untuk
mengawasi pompa dan menangani listrik. Sedangkan Masjid Baitul Makmur
ini saya gunakan untuk tempat mengabdi,” ungkapnya senang.
Saat
ditanya apakah ia merasa lelah dengan tugas-tugasnya tersebut,
Sudikaryoto menjawab mantap.
“Manusia
pasti merasakan lelah, namun saya menjalani tugas-tugas tersebut
dengan senang hati, ikhlas, dan tersenyum. Seperti di area sekitar
masjid ini, saya mencoba menanaminya dengan tanaman-tanaman herbal:
cabai, markisa, apel, mentimun, dan lain-lain. Benih tanamannya saya
ambil langsung dari Ponorogo, tempat kelahiran almarhum Ayah saya
dulu. Saya tidak memikirkan keuntungan dari hasil tanaman-tanaman
herbal itu. Saya hanya ingin bercocok tanam dengan senang,” terang
pria kelahiran Jombang, 15 November 1948 itu.
Berkat
kerja kerasnya selama ini, Sudikaryoto mampu membawa kelima anaknya
menuju puncak kesuksesan. Anak ketiganya adalah kepala Trans7
Surabaya, anak keempatnya adalah kepala Teknisi di Becekan Darmo,
sedangkan ketiga anaknya yang lain sudah mengajar di sekolah-sekolah.
Kadang anak-anaknya tersebut juga membantunya untuk bekerja di servis
elektronik yang ia buka di rumahnya. Jika waktu senggang, kakek empat
cucu itu melahap buku-buku pertanian dan agama untuk ia baca sejenak.
Ya, membaca adalah hobi utamanya.
Menanggapi
banyaknya tanggungjawab yang dipikul tersebut, Sudikaryoto tentu
tidak terhindar dari apresiasi. Namun pemilik lima piagam penghargaan
itu menjawab berbeda.
“Saya
memang punya lima piagam di rumah, tapi saya benar-benar lupa
penghargaan apa saja itu. Saya memang tidak suka dihargai, karena
bekerja dengan senang dan ikhlas sudah merupakan sebuah harga yang
mahal,” terang pria yang tinggal di Patemon Sidomulyo gang 2 nomor
24 Surabaya itu (San).
No comments:
Post a Comment