Background

Thursday, February 7, 2013

Mendengar Cerita Sudikaryoto, Mantan Karyawan Unesa

Sempat Melupakan Lima Piagam Penghargaan

Gurat di wajahnya menyiratkan sepenggal perjalanan hidup yang panjang. Dahinya yang mengkilap seperti tempat berkaca bagi sang waktu, pengantar setiap nafas yang ia abdikan pada dunia. Namun setiap pengabdian tersebut dijalani dengan ikhlas oleh Sudikryoto (65 tahun), mantan karyawan Unesa yang sudah mengabdikan diri selama bertahun-tahun. 

PANUTAN: Inilah Sudikaryoto saat ditemui di Masjid Baitul Makmur Unesa Lidah Wetan, Kamis (7/2/2013)

Ditemui di teras masjid Baitul Makmur Unesa Lidah Wetan, Kamis (7/2/2013), Sudikaryoto terlihat begitu asyik berbincang dengan Husni, ustad Masjid Baitul Makmur. Tutur katanya yang hangat dan berwibawa membuat tiap kata yang terucap mengalir begitu akrab. Menyesal rasanya tidak turut berbincang dengan bapak lima anak tersebut. Usianya memang sudah senja, namun semangatnya untuk bercerita masih menggebu-gebu, apalagi itu menyangkut perjalanan hidupnya yang membanggakan di masa lalu.

Waktu itu tahun 1969. Setelah lulus dari STM, Sudikaryoto lantas bekerja di Percetakan Unipress Unesa. Lima tahun bekerja, ia pun pindah ke sebuah studio PPL sebagai pengontrol kamera, room control, dan setting microteaching. Keahlian mengoperasikan kamera didapatnya saat bergabung dengan Humas Unesa.
Lama saya bekerja di studio. Saking lamanya, saya lupa sudah berapa tahun mengabdi di sana,” tutur pria berkacamata itu.
Namun di tengah-tengah masa bekerjanya, tak disangka ia rindu untuk bersekolah kembali. Berbekal niat yang sudah bulat, Sudikaryoto menempuh program sarjana muda melalui ikatan dinas dengan Unesa. Mesin adalah jurusan yang ia pilih. Jadwal kuliah di sore hari tidak membuat kuliahnya berbenturan dengan pekerjaan di studio. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Cuti kuliah kembali diambilnya selama lima tahun untuk bekerja di bagian perlengkapan Unesa. Selama bekerja di bagian perlengkapan itulah Sudikaryoto baru melanjutkan kuliahnya yang tertunda.
Setelah mengantongi gelar sarjana muda, Sudikaryoto lantas mendapatkan kesempatan untuk mengajar di jurusan Teknologi Pendidikan Unesa. Waktu itu ia mengajarkan satelit dan video.
Tentu ini sangatlah berlawanan dengan bidang yang saya ambil di perkuliahan dulu. Mana mungkin seorang sarjana mesin terjun ke bidang satelit dan video. Namun tugas tetaplah tugas. Semua harus dijalani dengan penuh tanggungjawab,” ungkapnya mantap.
Namun tanpa disangka-sangka, ilmu permesinan yang dipelajarinya dulu akhirnya bermanfaat juga. Waktu itu Unesa mendapat kiriman mesin dari Jakarta. Buruknya, tak satupun karyawan yang mampu mengoperasikan mesin tersebut kecuali Sudikaryoto. Dengan keahliannya, Sudikaryoto menyeting mesin tersebut dari nol sampai bisa beroperasi. Hal ini membuat rektor di masa itu, Slamet Cahyono, merasa berbangga hati pada anak buahnya. Kebermanfaatan mesin tersebut membuat Unesa terpilih sebagai pembuat soal SPMB (sekarang SNMPTN) untuk wilayah Indonesia bagian timur. Sebuah prestasi tersendiri bagi Unesa pada waktu itu, tak terkecuali bagi Sudikaryoto.
Lima tahun lamanya saya berada dalam tim inti pembuat soal-soal SPMB. Tak dapat saya ungkapkan bagaimana gembiranya saya waktu itu, menjadi orang pertama yang mampu menyeting mesin. Syukurlah, tindakan saya dapat bermanfaat bagi orang lain,” tutur Sudikaryoto sambil tersenyum.
Sekarang setelah purnatugas, Sudikaryoto mendapat kepercayaan penuh dari rektor Muchlas Samani untuk memimpin penghijauan kampus di wilayah Lidah Wetan. Sudikaryoto beserta keempat anak buahnya bertugas mengurusi pepohonan, mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, pemupukan, pengairan, dan lain-lain. Apalagi tanggal 23 Februari nanti walikota Surabaya, Tri Rismaharini, akan datang ke kampus Lidah untuk meninjau hutan kota di depan FIP.
Orang-orang dulu sering gagal jika menanam pohon di wilayah kampus Lidah. Parahnya, mereka tidak mencari penyebabnya terlebih dahulu. Namun setelah saya tanyakan pada petani di sekitar sini, ternyata masalah utamanya adalah pada konstruksi tanah. Setelah dilakukan pengeboran, saya mendapati cara pengatasannya, yaitu dengan mengganti lapisan tanah sedalam 1 m3 dengan pupuk kompos. Setelah cara ini diuji, ternyata sebagian besar pohon tidak terhambat pertumbuhannya,” terang Sudikaryoto dengan lega.
Selain diberi amanah untuk memimpin penghijauan kampus, Sudikaryoto juga masih punya wewenang untuk keberlangsungan teknis Unesa. Wewenang tersebut antara lain sebagai penyuplai air ke wilayah kampus Lidah termasuk di Gedung PPG dan kolam renang, teknisi di asrama putrid Unesa, serta pengurus sound system di Masjid Baitul Makmur.
Saya ditugaskan sebagai juru kunci tower air utama, mengatur jadwal kapan air didistribusikan ke wilayah kampus Lidah. Sekarang tower air itu sudah otomatis, dulu waktu masih memakai tenaga manusia kami bekerja cukup berat. Di asrama putrid Unesa saya sering diminta untuk mengawasi pompa dan menangani listrik. Sedangkan Masjid Baitul Makmur ini saya gunakan untuk tempat mengabdi,” ungkapnya senang.
Saat ditanya apakah ia merasa lelah dengan tugas-tugasnya tersebut, Sudikaryoto menjawab mantap.
Manusia pasti merasakan lelah, namun saya menjalani tugas-tugas tersebut dengan senang hati, ikhlas, dan tersenyum. Seperti di area sekitar masjid ini, saya mencoba menanaminya dengan tanaman-tanaman herbal: cabai, markisa, apel, mentimun, dan lain-lain. Benih tanamannya saya ambil langsung dari Ponorogo, tempat kelahiran almarhum Ayah saya dulu. Saya tidak memikirkan keuntungan dari hasil tanaman-tanaman herbal itu. Saya hanya ingin bercocok tanam dengan senang,” terang pria kelahiran Jombang, 15 November 1948 itu.
Berkat kerja kerasnya selama ini, Sudikaryoto mampu membawa kelima anaknya menuju puncak kesuksesan. Anak ketiganya adalah kepala Trans7 Surabaya, anak keempatnya adalah kepala Teknisi di Becekan Darmo, sedangkan ketiga anaknya yang lain sudah mengajar di sekolah-sekolah. Kadang anak-anaknya tersebut juga membantunya untuk bekerja di servis elektronik yang ia buka di rumahnya. Jika waktu senggang, kakek empat cucu itu melahap buku-buku pertanian dan agama untuk ia baca sejenak. Ya, membaca adalah hobi utamanya.
Menanggapi banyaknya tanggungjawab yang dipikul tersebut, Sudikaryoto tentu tidak terhindar dari apresiasi. Namun pemilik lima piagam penghargaan itu menjawab berbeda.
Saya memang punya lima piagam di rumah, tapi saya benar-benar lupa penghargaan apa saja itu. Saya memang tidak suka dihargai, karena bekerja dengan senang dan ikhlas sudah merupakan sebuah harga yang mahal,” terang pria yang tinggal di Patemon Sidomulyo gang 2 nomor 24 Surabaya itu (San).
 
 

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment