Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Itu kata-kata yang selalu
Bung Karno katakan. Saat ini kita telah memasuki bulan November di tahun 2012.
Hal pertama yang akan selalu kita kenang di bulan ini adalah sejarah lahirnya
negara kita tercinta ini yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan adalah bebas dari
keterikatan dan mampu berdiri sendiri. Manusia sebagai individu yang bebas dan
merdeka dapat berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya selama kebebasan itu
tidak merugikan orang lain. Kebebasan adalah harga diri manusia tetapi harus di
barengi dengan moral karena moral yang membedakan manusia dengan
hewan.
17
Agustus 1945 adalah titik awal bangsa Indonesia untuk meraih kebebasannya,
menuju bangsa yang maju dan mandiri, yang didapat dengan tidak mudah. Bangsa
kita harus menunggu selama tiga setengah Abad untuk dapat meraihnya. Peran para
pahlawan tentu memiliki peranan yang sangat besar diawal-awal kemerdekaan.
Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya
dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Tanpa perjuangan,
keberanian dan pengorbanan mereka tentu hal yang mustahil untuk kita bisa
sampai seperti sekarang ini. Karena itulah, untuk menghargai perjuangan,
keberanian, dan pengorbanan tersebut, maka mereka dianugrahi gelar Pahlawan
Kemerdekaan.
Indonesia
sudah merdeka selama 67 tahun, dan telah memasuki era modern. Tapi masih
mungkinkah untuk kita bisa menjadi seorang pahlawan? Di zaman modern seperti
saat ini seorang pahlawan tidak harus berperang menggunakan senjata, tetapi
cukup dengan berprestasi dalam bidang yang di tekuninya. Kita pun dapat menjadi
pahlawan bagi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita seperti
lingkungan tempat tinggal ataupun tempat kita bekerja.
Sebagai
contoh adalah Budi Purnomo, seorang pegawai tata usaha di Universitas Negeri
Surabaya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengantar surat. Pria yang biasa
dipanggil Budi ini bertugas mendata surat-surat yang masuk ke bagian tata
usaha, lalu mendistribusikannya ke fakultas-fakultas yang ada di Ketintang. Profesinya
tersebut ia jalani bersama seorang rekannya yang lain.
“Ada
dua petugas yang bertanggungjawab untuk mendistribusikan surat, saya dan Pak
Nardi. Bedanya, Pak Nardi mengantarkan surat ke luar Ketintang sementara saya
khusus di Ketintang saja,” begitu tuturnya.
TEKUN: Budi saat mendata
surat-surat di ruang tata usaha.
Pria
yang tinggal di Dusun Banjarpon, RT II/RW V Kelurahan Banjarbendo, Kecamatan
Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo ini bertugas mulai hari Senin sampai Jumat,
sementara Sabtu dan Minggu libur. Sebanyak dua kali dalam sehari ia harus
mengantarkan surat, mulai pukul 09.30—11.30 dan sore harinya mulai pukul
13.30—15.30. Tenggang waktu dari mulai pukul 11.30—13.30 ia gunakan untuk
istirahat di kantor. “Baru sore harinya saya bisa pulang ke Sidoarjo,”
tambahnya singkat.
Pria
lulusan Universitas Merdeka ini menamatkan pendidikan dasarnya di SD Negeri
Sidokare 2, lalu menempuh sekolah lanjutan di SMP Negeri Candi Sidoarjo dan
SMEA PGRI 2 Sidoarjo. Baru pada tahun 2006 ia lulus dari Universitas Merdeka
jurusan manajemen perkantoran. Saat ditanya sudah berapa lama ia di Unesa,
ternyata Budi telah mempunyai pengalaman kerja cukup lama.
“Tahun
1994—2000 saya menjadi tenaga honorer di percetakan Unipress Unesa. Tahun
2000—2009 pindah ke perpustakaan pusat sebagai tenaga administrasi, lalu tahun
2009—2011 pindah lagi ke Lembaga Penelitian, juga sebagai tenaga administrasi.
Tahun 2011, saya dipindahtugaskan ke bagian perlengkapan, baru di tahun 2012
ini saya menjadi pengantar surat,” ungkapnya sambil mengenang masa lalu.
Pria
yang mengantarkan surat dengan sepeda motor ini mengaku telah merasakan suka
duka dalam bertugas. Namun saat ditanya apa bentuk suka duka itu, Budi
menampik.
BERTUGAS: Beginilah Budi
saat mengantar surat dengan sepeda motornya.
“Semua
pekerjaan pasti ada suka dukanya, yang terpenting adalah tanggungjawab kita
terhadap tugas yang diberikan,” ucapnya pasti. Saat ditanya apa keinginan
terpendamnya, Budi menjawab singkat, “menjadi apa adanya.”
Di
akhir obrolan, Budi mencoba memaknai apa dan siapa pahlawan menurut “versi”nya.
Pahlawan baginya adalah ia yang mampu berkarya di segala bidang. Pahlawan
bukanlah orang pandai, namun ia yang mau mengerti rakyat.
“Saya
tidak mau menokohkan orang. Kembali ke diri sendiri dulu,” ungkap pria
kelahiran Sidoarjo, 8 Mei 41 tahun silam ini.
Jadi
kesimpulanya, untuk menjadi seorang pahlawan saat ini tidaklah harus dengan
berperang mengangkat senjata. Cukup dengan berprestasi dalam bidang yang kita
tekuni, kita pun dapat menjadi pahlawan bagi diri sendiri dan orang-orang di
sekitar kita. Bukan besar kecilnya yang kita lakukan, tetapi yang kita lakukan
itu bisa berdampak positif buat orang lain (San).
No comments:
Post a Comment