Background

Friday, November 16, 2012

Budi Purnomo: Potret Pahlawan Masa Kini

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya. Itu kata-kata yang selalu Bung Karno katakan. Saat ini kita telah memasuki bulan November di tahun 2012. Hal pertama yang akan selalu kita kenang di bulan ini adalah sejarah lahirnya negara kita tercinta ini yaitu kemerdekaan. Kemerdekaan adalah bebas dari keterikatan dan mampu berdiri sendiri. Manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka dapat berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya selama kebebasan itu tidak merugikan orang lain. Kebebasan adalah harga diri manusia tetapi harus di barengi dengan moral karena moral yang membedakan manusia dengan hewan.
17 Agustus 1945 adalah titik awal bangsa Indonesia untuk meraih kebebasannya, menuju bangsa yang maju dan mandiri, yang didapat dengan tidak mudah. Bangsa kita harus menunggu selama tiga setengah Abad untuk dapat meraihnya. Peran para pahlawan tentu memiliki peranan yang sangat besar diawal-awal kemerdekaan. Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Tanpa perjuangan, keberanian dan pengorbanan mereka tentu hal yang mustahil untuk kita bisa sampai seperti sekarang ini. Karena itulah, untuk menghargai perjuangan, keberanian, dan pengorbanan tersebut, maka mereka dianugrahi gelar Pahlawan Kemerdekaan.
Indonesia sudah merdeka selama 67 tahun, dan telah memasuki era modern. Tapi masih mungkinkah untuk kita bisa menjadi seorang pahlawan? Di zaman modern seperti saat ini seorang pahlawan tidak harus berperang menggunakan senjata, tetapi cukup dengan berprestasi dalam bidang yang di tekuninya. Kita pun dapat menjadi pahlawan bagi diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita seperti lingkungan tempat tinggal ataupun tempat kita bekerja.
Sebagai contoh adalah Budi Purnomo, seorang pegawai tata usaha di Universitas Negeri Surabaya yang sehari-harinya bekerja sebagai pengantar surat. Pria yang biasa dipanggil Budi ini bertugas mendata surat-surat yang masuk ke bagian tata usaha, lalu mendistribusikannya ke fakultas-fakultas yang ada di Ketintang. Profesinya tersebut ia jalani bersama seorang rekannya yang lain.

“Ada dua petugas yang bertanggungjawab untuk mendistribusikan surat, saya dan Pak Nardi. Bedanya, Pak Nardi mengantarkan surat ke luar Ketintang sementara saya khusus di Ketintang saja,” begitu tuturnya.

TEKUN: Budi saat mendata surat-surat di ruang tata usaha.

Pria yang tinggal di Dusun Banjarpon, RT II/RW V Kelurahan Banjarbendo, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo ini bertugas mulai hari Senin sampai Jumat, sementara Sabtu dan Minggu libur. Sebanyak dua kali dalam sehari ia harus mengantarkan surat, mulai pukul 09.30—11.30 dan sore harinya mulai pukul 13.30—15.30. Tenggang waktu dari mulai pukul 11.30—13.30 ia gunakan untuk istirahat di kantor. “Baru sore harinya saya bisa pulang ke Sidoarjo,” tambahnya singkat.
Pria lulusan Universitas Merdeka ini menamatkan pendidikan dasarnya di SD Negeri Sidokare 2, lalu menempuh sekolah lanjutan di SMP Negeri Candi Sidoarjo dan SMEA PGRI 2 Sidoarjo. Baru pada tahun 2006 ia lulus dari Universitas Merdeka jurusan manajemen perkantoran. Saat ditanya sudah berapa lama ia di Unesa, ternyata Budi telah mempunyai pengalaman kerja cukup lama.
“Tahun 1994—2000 saya menjadi tenaga honorer di percetakan Unipress Unesa. Tahun 2000—2009 pindah ke perpustakaan pusat sebagai tenaga administrasi, lalu tahun 2009—2011 pindah lagi ke Lembaga Penelitian, juga sebagai tenaga administrasi. Tahun 2011, saya dipindahtugaskan ke bagian perlengkapan, baru di tahun 2012 ini saya menjadi pengantar surat,” ungkapnya sambil mengenang masa lalu.
Pria yang mengantarkan surat dengan sepeda motor ini mengaku telah merasakan suka duka dalam bertugas. Namun saat ditanya apa bentuk suka duka itu, Budi menampik.

BERTUGAS: Beginilah Budi saat mengantar surat dengan sepeda motornya.

“Semua pekerjaan pasti ada suka dukanya, yang terpenting adalah tanggungjawab kita terhadap tugas yang diberikan,” ucapnya pasti. Saat ditanya apa keinginan terpendamnya, Budi menjawab singkat, “menjadi apa adanya.”
Di akhir obrolan, Budi mencoba memaknai apa dan siapa pahlawan menurut “versi”nya. Pahlawan baginya adalah ia yang mampu berkarya di segala bidang. Pahlawan bukanlah orang pandai, namun ia yang mau mengerti rakyat.
“Saya tidak mau menokohkan orang. Kembali ke diri sendiri dulu,” ungkap pria kelahiran Sidoarjo, 8 Mei 41 tahun silam ini.
Jadi kesimpulanya, untuk menjadi seorang pahlawan saat ini tidaklah harus dengan berperang mengangkat senjata. Cukup dengan berprestasi dalam bidang yang kita tekuni, kita pun dapat menjadi pahlawan bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita. Bukan besar kecilnya yang kita lakukan, tetapi yang kita lakukan itu bisa berdampak positif buat orang lain (San).



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

No comments:

Post a Comment