Background

Saturday, June 16, 2012

Sinopsis Drama
Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
Adaptasi Bebas dari Cerpen Seno Gumira Ajidarma
(Penulis Angkatan 2000)
Oleh : Gusmel Riyadh

Drama ini menceritakan tentang penduduk suatu kampung yang digegerkan oleh tingkah Zus, seorang wanita yang pada waktu mandi bisa membuat semua laki – laki penduduk itu mengintipnya. Saat mengintip itulah, para lelaki seperti lupa dengan keadaan di sekelilingnya. Mereka selalu mendengar bunyi resleting yang dibuka, bunyi gesekan kain – kain busana, bunyi karet celana dalam, dan bunyi sabun menggosok kulit yang dapat mereka tafsirkan sebebas – bebasnya. Namun bukan itu yang dinantikan para lelaki tersebut. Yang ditunggu adalah suara wanita itu. Dimulai dari dendang kecil, kemudian menjadi nyanyian yang mungkin tidak terlalu merdu, namun ternyata merangsang khayalan penuh gairah. Suara wanita itu serak – serak basah, sexy sekali. Agaknya nyanyian itu telah membuat mereka semakin betah untuk mengintip tiap hari.

Istri – istri pun geger. Mereka demo pada Pak RT untuk segera mengusir Zus dari kampung mereka. Karena tingkah Zus itu, suami – suami mereka menjadi dingin di ranjang.

Pak RT pun menjadi bingung. Ia tidak habis pikir mengapa suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga mempengaruhi kehidupan rumah tangga sepasang suami istri. Menurutnya itu bukan salah Zus, tetapi salah suami-suami itu sendiri yang membayangkan adegan – adegan erotis. Akhirnya dengan didampingi Pak Hansip, Pak RT pun membuktikan kebenaran berita tersebut. Tak disangka-sangka, Pak RT juga mengakui bahwa suara Zus memang sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang meyakinkan seperti kenyataan.

Jika keadaan tersebut didiamkan, masalah akan tambah pelik. Maka Pak RT pun memberitahu Zus tentang apa yang terjadi sebenarnya. Mendengar itu, Zus mengerti. Tak disangka - sangka, Zus malah pindah ke kondominium. Tapi namanya juga laki-laki, walaupun sudah pergi dari kampungnya, mereka tetap saja mengingat-ingat Zus. Akhirnya Pak RT memutuskan akan mendirikan fitness centre di kampungnya. Di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajb diikuti Ibu – Ibu supaya bisa membahagiakan suaminya.

Menurut saya, Gusmel Riyadh telah berhasil mengadaptasi cerpen ini menjadi sebuah sandiwara. Ia menggunakan alur maju dan juga alur mundur, seperti yang tampak pada halaman 1 dan 5. Ia juga membingkai sandiwara ini dengan cerita yang amat lucu. Hal ini tampak pada dialog – dialog berikut ini.

Adegan 3 PAK RT : “Apakah yang terjadi dengan kenyataan sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuat aku bingung, kenapa para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?”
HANSIP : “Ya namanya lelaki normal, Pak. Mungkin Bapak juga akan melakukan hal yang sama. (JEDA SEBENTAR, KEMUDIAN SETENGAH BERBISIK). Itu kalo bapak masih normal.
PAK RT : “Heh?! Apa kamu bilang.
HANSIP : “Eh, enggak Pak! Saya bilang perempuan itu kayak kuda binal!
••

Adegan 7
PAK RT : “Baiklah Bapak – Bapak Ibu – Ibu saya sudah memutuskan, akan mendirikan fitness centre di kampung ini. Di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajb diikuti Ibu – Ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya. pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda, Ade Rai, Viki Burki, dan Miyabi.
LAMPU PADAM. KEMUDIAN TERANG DI SUATU SUDUT, HANSIP MEMASANG TULISAN DILARANG MENYANYI DI KAMAR MANDI DI BAWAH TULISAN ‘PEMULUNG DILARANG MASUK’.


Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Selengkapnya...

Sinopsis Drama Lakon KOOR
Kidung Orang – Orang Rakus
Oleh Teater Lembaga

Drama ini menceritakan sebuah negara yang bernama Durjanasia, tetangga dekat Endonesa. Negara Durjanasia merupakan negara yang kacau – balau. Perut buncit adalah lambang kegagahan, kewibawaan, dan kesuksesan penduduknya. Jadi sudah sewajarnya kalau mereka mengarahkan semua tindakan - tindakan tanpa terkecuali, demi mempertahankan perut buncit mereka.

Tokoh utamanya adalah Purok, seorang terdakwa yang terbukti melakukan penggelapan uang sehingga Endonesa mengalami kerugian sebesar 15 trilyun. Saat bertamasya ke Durjanasia, ia malah melihat keadaan yang sama sekali berbeda dengan negerinya. Adab dan budaya curang sangat dijunjung tinggi di sini. Di Endonesa, kasus suap harus dihukum, tapi di Durjanasia suap menyuap harus dilakukan agar bisa bertahan hidup.

Menanggapi kekacauan di negeri itu, Purok selalu merespon dan mencoba mencegah orang – orang agar meninggalkan perbuatan kotornya. Akibat perbuatannya itu, Purok bermasalah dengan seorang petugas polisi bernama Korup. Ia menangkap Purok karena tidak ikut melakukan kecurangan di negerinya. Karena Purok berasal dari Indonesia, ia mengolok – olok Indonesia sebagai negara yang mempunyai mimpi selangit, namun gampang terhasut, bisanya cuma ngeluh, suka besar-besarin masalah, dan susah dimengerti. Karena sudah tau cara main negeri itu, Purok pun menyuap petugas polisi tersebut agar mau membebaskannya.

Menurut saya, drama ini menggambarkan keadaan di negeri kita sekarang. Anggap saja Purok sebagai Gayus Tambunan yang sedang plesir ke Singapura. Jalan ceritanya berusaha memberikan kritik pada Indonesia sebagai negara yang tidak henti – hentinya menanggung beban korupsi. Selalu saja ada nama baru yang muncul, kemudian hilang tanpa ada penanganan lebih lanjut. Drama ini diberi judul KOOR karena dalam adegannya ada kritik – kritik yang disuarakan lewat sebuah nyanyian. Kritikan terhadap Indonesia itu juga tampak dari dialog antara Purok dengan Kurop berikut.

KUROP
Darimana asal kamu?
PUROK
Endonesa.
KUROP
Oo…Endonesa. Tau, tau, tau. Pantes. Keliatan. Jelas!
PUROK
Apanya, pak?
KUROP
Gampang terhasut, bisanya cuma ngeluh, suka besar-besarin masalah, susah dimengerti!…Tapi saya kagum sama kamu dalam satu hal.
PUROK
Apa itu?
KUROP
Mimpinya selangit!
••

KUROP
Pulang! Daripada mati konyol?
PUROK
Mati konyol karena apa?
KUROP
Karena kamu kurus, Endonesa!

Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Selengkapnya...

Sinopsis Novel Aus
Putu Wijaya (Penulis Angkatan 1966)

Novel Aus ini kental sekali dengan budaya Bali. Setting cerita yang berlokasi di Tabanan, sebuah kota dengan keindahan alamnya yang indah. Letaknya di lereng Gunung Batukau dan berbatasan dengan Laut Selatan. Banyak objek pariwisata yang masih perawan. Di situ ada sumber air panas dan Tugu Pahlawan Margarana sebagai tempat peringatan pada puputan Margarana. Ada pantai Tanah Lot. Ada seni kekawin, seni patung, barong tek – tekan di Puri Kerambitan dan Arja Bon Bali yang banyak mengambil pemain dari Tabanan. Daerah Sangeh yang banyak keranya baru tergarap, begitu juga Tanah Lot. Di Bedugul dan lain – lainnya masih perlu dimanfaatkan secara maksimal. Kota Tabanan juga memiliki sebuah Taman Makam Pahlawan yang dihuni oleh lebih dari seribu pahlawan. Mustahil jika Tabanan tidak dapat menjadi sebuah kota yang makmur.

Namun yang terjadi di Desa Sanggulan malah sebaliknya. Ya, seperti itulah menurut pendapat I Gusti Wayan Melem, seorang pensiunan bupati yang pernah memerintah Tabanan. Sanggulan yang berada di batas kota Tabanan itu telah dicap oleh penduduk sebagai desa yang melarat. Gusti Melem pun menyesal mengapa ia tidak menggarapnya dulu. Untuk itulah, sebagai penebus kelalaiannya di masa lalu, Gusti Melem iseng mengunjungi Sanggulan. Namun dalam perjalanannya ke Sanggulan, tak ada satupun orang yang menyapanya seakan – akan ia tidak pernah menjabat sebagai Bupati. Gusti Melem benar – benar sakit hati.

Setelah sampai di Sanggulan, betapa kagetnya ia. Ternyata penduduk Sanggulan tidak sepenuhnya miskin. Mereka memanfaatkan kemiskinannya untuk menarik simpati dan belas kasihan dari penduduk luar Sanggulan. Gusti Melem pun kecewa.

Semenjak itulah, Gusti Melem selalu memikirkan dua peristiwa tersebut. Ia tidak hanya menyesal, tetapi mulai membenci orang. Karena kerasnya berpikir, ia pun jatuh sakit. Kata mantri Puger, Gusti Melem terkena serangan angin duduk. Handai taulan dan para kenalan pun datang menjenguk. Ada yang membawa makanan, ada pula yang membawa uang. Karena seringnya bertemu, mereka sering bertukar pikiran dengan Gusti Melem. Istri Gusti Melem diam – diam punya maksud lain. Ia ingin memperbanyak jumlah uang tersebut untuk memperbaiki perekonomian dan disumbangkan pada saudara – saudaranya yang tidak mampu. Untuk itulah, Gusti Melem selama bertahun – tahun ”dipaksa” untuk sakit. Orang – orang akhirnya menjulukinya Nak Sungkan (dalam bahasa Bali berarti orang sakit). Kesehatan Nak Sungkan sedikit membaik saat Pak Bupati menjenguk. Karena sering datang, Pak Bupati makin betah mengajak Nak Sungkan berembuk. Karena menurutnya segala pertimbangan Nak Sungkan adalah pertimbangan orang waras, positif, dan optimistik.

Suatu hari, seorang pegawai Kantor Bupati tiba – tiba “sakit”. Pak Bupati resah karena ia adalah pegawai kesayangannya. Pak Bupati pun menyumbang uang untuk sekedar membantu pengobatannya. Anehnya, keesokan harinya ia masuk kerja kembali. Beberapa waktu kemudian, terdengar kabar bahwa Pak Gubernur juga “sakit”. Padahal beberapa waktu yang lalu Pak Gubernur masih menanyakan pesanan tanah yang hendak dipakainya sebagai kebun percobaan cengkeh pribadi. Seperti pengalaman sebelumnya, Pak Bupati segera membeli sebidang tanah yang bagus untuk Pak Gubernur. Alhasil, Pak Gubernur kembali sehat.

Terakhir, ada sebuah kejadian menarik. Waktu itu Pak Bupati mengundang Mantri Puger untuk main ceki di rumahnya. Tapi karena tidak tahu, banyak orang mengira kalau Pak Bupati sedang sakit. Datanglah handai taulan dan para kenalan menjenguk sambil membawa makanan dan uang. Ternyata nasib Pak Bupati tidak ada bedanya dengan Nak Sungkan. Istri Pak Bupati juga memaksanya untuk “sakit”. Kejadian itu menjadi awal dari “sakit”nya Tabanan. Semua orang menderita “sakit”, sehingga mendatangkan simpati dari kalangan lokal bahkan internasional. Tabanan, termasuk pula Sanggulan pelan – pelan tumbuh. Jumlah orang sakit semakin berkurang setelah Nak Sungkan meninggal dunia.

Walau tidak tersurat, namun menurut saya novel ini menyiratkan cerita yang lucu. Bagaimana mungkin seseorang menganggap sakit sebagai anugerah. Tentunya bukan anugerah bagi si sakit, tapi bagi orang – orang terdekatnya. Yang paling lucu lagi tersirat pada halaman 141 yang menuliskan bahwa seluruh Tabanan sakit. Bagaimana mungkin satu kota mengalami sakit yang hampir bersamaan dan tidak diketahui apa penyebabnya. Untuk itulah, pembaca seperti diajak untuk menafsirkan sendiri maksud dari jalan ceritanya.

Dari segi novel, Putu Wijaya menyajikan kalimat – kalimat yang segar dan sering mengagetkan. Di dalamnya terdapat petuah dan nasihat yang dapat kita petik hikmahnya.
☁ Rupanya pintar saja tak cukup, untuk sampai pada bijaksana, masih diperlukan banyak langkah tambahan. (halaman 40)
☁ Hidup ini seperti teka – teki silang. Ada kotak – kotak masalah dengan jawabannya masing – masing yang tak bisa diganti dengan jawaban lain. (halaman 53)
☁ Saya kira tak ada bedaya juga disiplin mulai ditegakkan dengan segelas air teh. Dengan segelas air teh, sebuah disiplin telah dimulai tanpa dirasakan oleh orang yang bersangkutan. Biarlah mereka merasa itu hanya persoalan segelas teh saja. Saya sendiri yang tahu bahwa itu semuanya adalah awal sebuah disiplin. (halaman 74)
☁ Di dalam badan yang sehat terletak jiwa yang kuat. Dan dengan jiwa yang kuat segala cita – cita bisa dicapai. (halaman 104)
☁ Kebersihan lingkungan yang tidak didukung oleh kebersihan hati, sama saja dengan tempayan emas yang tidak berisi apa – apa sehingga praktis tidak berguna sama sekali, meskipun memang kelihatannya rupawan. (halaman 117)

Novel ini menurut saya tidak memiliki kekurangan yang berarti. Hanya saja Putu Wijaya tidak menjelaskan makna dari Bahasa Bali yang sering ia cantumkan dalam cerita. Hal ini membuat pembaca non Bali seperti saya, tidak mengerti.

Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Selengkapnya...

Sinopsis Novel Petir
Dewi Lestari (Penulis Angkatan 2000)

Novel ini menceritakan Elektra, seorang gadis keturunan cina berumur sekitar 20 tahun. Elektra merupakan anak dari seorang ahli elektronik bernama Wijaya yang memiliki tempat servis sendiri bernama Wijaya Elektronik. Ia memiliki kakak perempuan bernama Watti. Entah mengapa, Dedi, panggilan akrab ayahnya, seperti menjalin ikatan suci dengan listrik. Pernah Elektra menyentuhkan test-pen ke tubuh Dedi dan ajaibnya dapat menyala. Hal ini mulai terjadi saat ia tersetrum listrik tiga fasa dari kabel telanjang yang tersentuh olehnya. Ia pun pingsan, namun hebatnya dapat sadar kembali.

Elektra kecil sangat senang menonton kilatan petir. Ia sering menari-nari dibawah hujan saat petir manggelegar. Tidak beberapa lama kemudian, petir menyambar pucuk pohon asam di pojok rumah. Dan apakah itu tarian memanggil petir dari alam bawah sadar ? itu lah pertanyaan Elektra.

Namun tak disangka Dedi kena Stroke dan menginggal dengan seketika. Dan Elektra adalah orang yang paling shock. Setelah Dedi menginggal akhirnya Watti menikah dengan Kang Atam, dokter lulusan Universitas Pajajaran dan pindah ke Tembagapura. Hari-hari terasa sepi bagi Elektra, karena ia tinggal di rumah besarnya yang bernama Eleanor. Suatu ketika ia bertemu dengan teman SMA-nya yang memiliki warnet. Lalu ia diajarkan menggunkan internet. Dan ajaibnya ia seperti menemukan kehidupan baru semenjak kenal internet. Pada puncaknya ia sakit karena kelelahan dan tak dapat bengun dari tempat tidurnya selama beberapa hari. Lalu datanglah seorang wanita yang bernama Ibu Sati, ia adalah pemilik toko yang menjual perlengkapan pemujaan. Ibu Sati menyarankan Elektra untuk mendirikan usaha warnet.

Akhirnya Elektra bersama Kewoy (penjaga warnet temannya) dan Mpret si maniak komputer, menyulap Eleanor menjadi Warnet, Rental PS, Distro, Home theater dan warung nasi goreng yang penjualnya bernama Mas Yono. Setelah berdiskusi, akhirnya munculah sebuah nama ELEKTRA POP. Pada suatu ketika Elektra terserang penyakit aneh yang apabila ia ingin pergi ke dokter penyakit itu sembuh. Namun ketika ia duduk di belakang komputer penyakit itu kambuh lagi. Akhirnya 4 orang temannya berinisiatif untuk membawanya ke rumah sakit secara diam-diam. Namun saat mereka menyentuh tubuh Elektra, tiba – tiba tubuh Elektra mengeluarkan listrik sehingga membuat mereka terpental.

Akhirnya Ibu Sati datang dan memberi wejangan pada Elektra. Ibu Sati memberitahu kalau Elektra memiliki kemampuan yang luar biasa. Maka mulai saat itu Elektra dilatih agar bisa mengendalikan kekuatannya. Setelah dapat mengendalikan, Elektra mendirikan “Klinik Elektrik” di ruang rental PS-nya. Tak disangka banyak orang yang datang berobat. Konflik terjadi saat Mpret tidak setuju untuk membuat “Klinik Elektrik” di rental PS-nya tersebut. Beberapa waktu kemudian, datanglah sepupunya Mpret yaitu “BONG” dan selanjutnya tidak dijelaskan apa yang terjadi antara Bong dan Elektra serta Mpret.

Hal yang paling mengena saat saya membaca novel ini adalah nama tokoh – tokohnya yang berhubungan dengan bidang kelistrikan. Tokoh – tokoh tersebut misalnya Elektra dan Watti. Elektra lah yang menjadi tokoh utama dalam novel ini.

Pembaca dituntut untuk sedikit berpikir saat membaca novel yang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi ini. Dewi Lestari sangat pintar dalam menciptakan kata – kata penuh metafora, sehingga saya sering membacanya berulang – ulang untuk memahami dan membayangkan makna dari tulisannya. Kata pengantar yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting pun dibuat Dewi dengan bahasa yang tinggi pula. Dewi juga menulis novel ini dengan membuat alur maju yang tiba-tiba mundur sehingga pembaca makin penasaran untuk membaca halaman selanjutnya.

Mengenai jalan cerita, memang sulit diterima dengan akal sehat. Seseorang yang menyimpan kekuatan aneh seperti Elektra, sebelumnya hanya saya jumpai pada kartun anak – anak. Mungkin Dewi Lestari menginginkan para pembaca bermain dengan imajinasinya. Terkadang ada cerita yang hanya lewat dan tidak dijelaskan lagi, seperti Watti dan suaminya.Namun dari novel ini, saya bisa mendapat pengetahuan tentang bidang kelistrikan.

Ending cerita yang disuguhkan Dewi Lestari pun masih menyimpan konflik, sehingga saya bertanya – tanya tentang apa yang kemudian terjadi dengan ELEKTRA POP. Mungkin hal ini juga akan dirasakan oleh pembaca lain. Menurut saya, Inilah keunikannya, cerita yang tidak selesai.


Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Selengkapnya...

Sinopsis Novel
Pertemuan Dua Hati
Nh. Dini (Penulis Angkatan 1950 – 1960-an)

Dalam Novel ini, diceritakan perjuangan Bu Suci, seorang guru sekolah dasar di Kota Purwodadi yang sudah berpengalaman mengajar selama 10 tahun. Sebenarnya sejak kecil ia bercita – cita untuk menjadi seorang sekretaris karena sering melihat gadis atau wanita muda yang mengetik dan mengurus kantor. Namun setelah dewasa, barulah ia mengetahui betapa rumit menjadi sekretaris yang baik, sehingga ia mau mengikuti nasihat orang tuanya untuk masuk ke sekolah guru. Kepindahan kerja suaminya ke Kota Semarang sebagai pengawas bengkel dan ahli mesin, membuat Bu Suci dan ketiga anaknya juga harus memulai kehidupan baru kembali.

Di kota Semarang itulah, masalah demi masalah dilewati Bu Suci. Kehidupan sehari – hari yang serba pas – pasan membuat Bu Suci dan suaminya harus menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran sebaik mungkin. Beberapa waktu kemudian, anak sulungnya tiba – tiba mengeluh panas, lalu menderita batuk dan salesma. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa ia mengidap epilepsi.

Setelah diterima mengajar sementara di sebuah sekolah, Bu Suci harus menghadapi permasalahan anak sukar di kelasnya. Anak itu bernama Waskito, murid nakal yang sering membuat keonaran dengan memukuli teman – temannya tanpa sebab yang jelas. Setelah mencari keterangan dari kepala sekolah, Bu Suci mendapat kesimpulan bahwa Waskito kekurangan perhatian dari keluarganya.

Menurut cerita nenek Waskito pada guru – guru, ketika belum berumur satu setengah tahun, adiknya lahir. Langsung saja ibunya menumpahkan perhatian pada anak kedua. Bapaknya sering pergi ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Pulang sering membawa oleh – oleh bagus. Tapi bukan itu yang diinginkan Waskito. Ia menginginkan kedua orang tuanya menyisihkan waktu untuk lebih menyayanginya. Akhirnya Waskito tumbuh menjadi anak yang pemarah dan pemberontak. Untuk itulah, bapaknya menitipkan Waskito pada kakek dan neneknya. Sang nenek pun dengan senang hati mau merawat Waskito, karena menurutnya sumber masalah ada di menantunya, yaitu Ibu Waskito sendiri. Ibunya selalu memanjakan Waskito, melarangnya untuk melakukan pekerjaan berat. Sedangkan di rumah sang nenek, Waskito diberi tanggung jawab untuk menjalankan pekerjaan rumah yang ringan, dengan tujuan akan dapat merubah sifatnya. Dan benar saja, dengan kepercayaan yang diberikan neneknya, Waskito perlahan – lahan mulai tumbuh menjadi anak yang stabil. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ibu Waskito yang tidak menyukai mertuanya berhasil membujuk suaminya, meminta supaya anak mereka kembali ke rumah. Alasannya, kasihan anak itu bekerja keras di tempat kakeknya. Dan sejak kembali ke rumah, tabiat Waskito pun kembali ke asalnya, yaitu pemarah dan pemberontak.

Menanggapi kenakalan Waskito yang semakin menjadi - jadi, pihak kepala sekolah beserta guru - guru sudah berencana akan mengeluarkan Waskito dari sekolah. Namun sebagai pendidik, Bu Suci tidak sependapat dengan rencana tersebut. Ia malah terdorong untuk membantu Waskito keluar dari masalahnya. Bu Suci ikhlas membantu walaupun ia sendiri masih diliputi masalah tentang anak sulungnya yang belum sehat betul. Dengan berbagai pendekatan yang telah dilakukan, Bu Suci mengetahui bahwa Waskito sebenarnya adalah seorang anak yang baik dan cerdas. Kerja keras Bu Suci akhirnya membuahkan hasil. Tabiat Waskito yang pemarah dan pemberontak pun lama – lama bisa diubah.

Menurut saya, Nh. Dini memberikan jalan cerita yang meneladani. Seorang guru yang berusaha mengembalikan kepercayaan diri anak didiknya akibat didikan keluarga yang salah. Tokoh utamanya yang berprofesi sebagai guru telah memberi pengetahuan kepada saya bahwa tugas seorang guru tidak semata – mata hanya mengajar saja, tetapi juga harus peka terhadap kepribadian anak didiknya. Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda – beda, sehingga berbeda pula dalam menyelesaikan masalah. Kerja keras Bu Suci patut dijadikan teladan.

Bu Suci yang sejak kecil bercita - cita menjadi sekretaris ternyata tidak bisa mewujudkan impiannya itu karena orang tuanya menginginkan ia menjadi seorang guru. Namun Bu Suci menerimanya dengan lapang dada, bahkan hal itu memacunya untuk belajar menumbukan jiwa pendidik dalam dirinya. Kembali sebuah sikap yang patut dijadikan teladan.

Dari segi novel, saya kira sudah baik. bahasanya jelas dan mudah dimengerti. Namun Nh. Dini kurang membubuhkan dialog dalam novelnya. Dialog hanya dicantumkan seperlunya saja. Yang lain adalah berupa ulasan cerita yang panjang, sehingga membuat pembaca merasa bosan. Selain itu, akhir cerita tidak dijelaskan dengan jelas. Mengapa? Karena saya tidak mengetahui riwayat akhir dari ayah dan ibu Waskito, apakah masih tetap sebagai orang tua yang ceroboh dalam mendidik anak atau sudah menyadari kesalahan dari caranya mendidik Waskito.

Nasib Bu Suci selanjutnya juga tidak dijelaskan. Seperti cerita dalam novel, Bu Suci hanya mengajar sementara di sebuah sekolah selama 2 bulan. Tidak ada yang tahu dimana Bu Suci mengajar setelah 2 bulan tersebut.

Resensi oleh: Fauziah Arsanti
Untuk melengkapi tugas Sejarah Sastra
Selengkapnya...